Wiranto Alami Kekacauan Terminologis

Foto dan ilstrasi: CoWasJP.com

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Djoko Edhi Soetjipto

-----------------------------------------

DUKUNGAN Wiranto untuk Ahok harus dibayar mahal oleh Hanura. Hingga kemarin, sudah tiga petingginya mengundurkan diri. 

Menyimak dari pidato Jenderal Wiranto, pilihannya kepada Ahok adalah berdasarkan hati nurani rakyat. Sesuai dengan nama partai itu sendiri, Hanura. Mestinya tak ada masalah. Rupanya Voluntee General Voluntee De Tu (hati nurani rakyat), ditafsirkan sangat liberal, lebih liberal daripada penafsiran pembuatnya, Thomas Hobbes. Sebab, Hobbes sendiri menafsirkannya dalam kerangka monarki konstitusional dan hak azasi manusia (HAM). 

Dalam bukunya "Trearity", voluntee generale juga terbatas. Digiring menjadi hak rakyat untuk memberontak, hanya ketika HAM sudah tidak terlindungi. Voluntee generale dalam konstitusi juga terbatas, yaitu sebatas tujuan hukum Inggris (British Law) mengabdi kepada raja. 

Kalau Voluntee generale untuk mengabdi kepada Gubernur Ahok jadi aneh. Mestinya kepada konstitusi. Grundsnorm dan gronslag Pancasila dan UUD 45 atau UUD 2002 yang sudah jebol itu. Sebagai Jenderal, saya yakin Pak Wiranto sangat paham tentang itu. Sebab, di zaman Orba, semua Pati (perwira tinggi) wajib lulus hal tersebut.

Nama Hanura sendiri diturun dari terminologi bahasa Arab. Yang bikin nama itu ialah Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan. Dalam suatu diskusi di Wahdatul Ummah tahun 2007 yang dipimpin Agus Miftah, di mana saya dan Fuad Bawazier menjadi pembicara, istilah Hanura dibedah. Awalnya berangkat dari pernyataan Bawazier bahwa "negara ini rusak akibat pemimpin tidak mengikuti hati nurani rakyat!". Hal itu tak didebat, yang difalsifikasi adalah istilah hati nuraninya yang mengambil dari Islam. 

Pada terminologi Islam, terdapat dua kata yang secara etimologi, epistimologi, aksiologis berbeda. Yang pertama adalah frasa fuad berarti hati nurani, yang kedua qolbu artinya juga hati nurani. Mengambil kata fuad, dari nama Fuad Bawazier. Bukan qolbu. Bawazier sendiri tidak mampu menjelaskan lebih lanjut, sehingga menurut saya penafsiran frasa fuad pada Hanura belum selesai. 

WIRANTObeELW.jpg

Foto: konfrontasi

Frasa Fuad dan Qolbu ini pada Islam adalah perjalanan panjang sejarah. Sepanjang Muktazilah, orang mencari hati nurani, di mana Allah bersemayam. Metodologi pencarian Allah itu adalah pencarian rasionalitas. Allah harus benar-benar ada sesuai dengan realitas. Allah kemudian ditemukan dalam identifikasi kebenaran (Al Haq). Al Haq itu lalu bersemayam di hati nurani.

Pada poros radikal di kutub diametralnya adalah akal pikir. Sampailah fase terakhir muktazilah, doktrinnya: Ana  Haq!. Sejak itu, seseorang sudah bersatu dengan Allah dengan kebenaran tunggal. Menggunakan bahasa Jawa lebih mudah: manunggaling kawula Gusti (manunggal dengan Tuhan). 

Akan halnya metodologi Muktazilah tadi, beroleh perlawanan dari mazhab akal pikir. Imam Al Mathuridi merumuskan prosedural tentang Allah, yang kini dikenal sebagai "Sifat 20", dan dianut oleh Nahdlatul Ulama. Sedangkan bantahan secara filsafat (falsifikasi) datang dari Imam Al Ghozali.

Ia menuangkannya dalam buku "Tahafutul Falasifah" atau Kesesatan Kaum Sufi. Lalu dilanjutkan oleh sejumlah buku "Tahfutul Tahafut" atau Kesesatan Hati Nurani. Kritik Imam Ghozali itu yang membuat namanya besar, membentuk mazhab Al Hadits kemudian hari. Ia telah meluruskan hati nurani yang bengkok dengan pikiran yang jernih.

Beberapa hari lalu, saya menulis  di artikel bahwa aspirasi terhadap Ahok terbagi dua. Yaitu aspirasi Kelas Menengah -- minus Jenderal Wiranto -- yang anti Ahok, sedang Kelas Bawah pro Ahok. Peran Kelas Menengah sepanjang masa, baik secara teori kelas dari Karl Marx, maupun teori Kelas Menengah Max Weber, adalah yang paling menentukan.

Sehingga,, yang dimaksud Voluntee Generale adalah Kelas Menengah. Kelas Menengah adalah kumpulan manusia berpikir, analitik, dan jika dalam bahasa Bung Karno disebut "penyambung lidah rakyat".

wiranto-satuyMbKi.jpg

Foto: tempo

Voluntee Generale, bukanlah kehendak rakyat tanpa pikiran, tanpa frame filsafat, tanpa sistem nilai, dan berada di ruang hampa. Dalam konteks itu, dalam keadaaan wajar, Kelas Menengah adalah think tank dari apa yang disebut rakyat, paham apa yang tengah terjadi di negara ini. Kelas Menengah adalah kelompok paling kritis, kumpulan manusia yang dalam istilah Pesantren "Weruh sak durunge winarah", dalam bahasa Indonesia Visioner.

Mereka paham apa yang akan terjadi ke depan. Kelas Menengah tadi berpendapat membangun kepemimpinan berdasarkan 5 kriteria: (i) tidak high risk, (ii) tidak mengancam nasionalisme, negara bangsa, nation state, (iii) tidak mencoba memasang warga negara Timur Asing, (iv) memperkuat eksistensi warga negara pribumi, (v) memenuhi aspek-aspek manajemen. 

Terus terang, saya gagal mengidentifikasi apa yang dimaksud Jenderal Wiranto sebagai hati nurani rakyat pada kasus Ahok. Agaknya, ketiga petinggi Hanura yang mengundurkan diri itu, sama dengan saya. **

Baca Berita lainnya di CoWasJP.com. Klik Di Sini

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda