''Pak Habibie, Mengapa Anda Pintar?''

Penulis (kiri) berjabat tangan dengan BJ Habibie. (Foto: Dok CoWasjp.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O  l e h: Roso Daras

-----------------------------

SUATU pagi, mbak Oemi, sekretaris redaksi Jawa Pos memanggil, dan menyodorkan gagang telepon. Saya pun bertanya, “Dari siapa, mbak?” Sekenanya saja dia menjawab, “Pacarmu!” Sambil meraba-raba tentang siapa gerangan penelepon di ujung kabel sana, saya beruluk kata, “Hallooo... “, belum lanjut ke pertanyaan standar “dengan siapa ini?” suara di ujung sana sudah menimpal, “Ros... sinio... ada pak Habibie.” 

Ah... itu suara Peggy Limanseto, tidak salah lagi, PR Manager Hotel Hyatt Bumi Surabaya. Ya, nama hotel terbaik di Surabaya memang masih itu. Ini kejadian tahun 1985. Dia PR yang baik, menurutku. Sebagai hotel tempat menginap tamu-tamu dari pusat, Peggy sadar betul, banyak “sumber berita” check-in-check-out. Dan yang pasti, dia bukan pacarku....

Bergegas saya sedia meluncur ke Hyatt. Di tengah tangga turun, pak bos –Dahlan Iskan biasa dipanggil— ucluk-ucluk naik. “Mau ke mana Ros?!” Lekas saya menukas, “Hyatt, ada pak Habibie!”

Saya terus menuruni tangga, dia pun terus menaiki tangga. Belum habis anak tangga kupijak, pak bos teriak, “Ros... titip pertanyaan!” Saya berhenti, sosok Dis –inisial tulisannya—jelas tak lagi bisa kulihat, tapi kaki ini sungguh enggan untuk naik menghampiri.

“Apa?” bertanya dengan setelan volume yang aku tinggikan. Nada tak kalah tinggi menjawab dari atas sana, kukira ia ada di bibir tangga atas, tak jauh dari meja resepsionis tempat mbak Oemi mangkal, “Tanyakan, kenapa dia pintar?!” 

Sepeda motor Honda GL-Max kreditan yang masih gres –belum lama turun dari dealer— kustarter, meninggalkan markas Kembang Jepun menuju Hyatt Bumi di Jl Basuki Rahmat. Sepanjang perjalanan, kulesakkan betul titipan pertanyaan pak bos di batok kepala. Rancangan topik wawancara seputar PT PAL, tempat keesokan harinya BJ Habibie beracara, jadi buyar.

Lupakan topik PT PAL, fokus pada pengambangan atas pertanyaan titipan “Pak Habibie, kenapa Anda pintar?” Hapal betul saya perangai pak bos. Kalau hasil tulisan tidak berkisar di soal kejeniusan Habibie, maka akan dianggap sampah. Itu artinya hanya akan menyisakan pilihan yang tidak enak... telinga sakit mendengar omelan, atau balik lagi ke narasumber untuk menggali lebih dalam.

Pendek kalimat, bayangan yang tidak enak sontak hilang, demi melihat Peggy yang cantik lagi berkulit putih, serta aroma harum yang segera menyeruak melebarkan rongga dada. “Pak Habibie di kamar berapa?” itu pertanyaan pokok. Tanya-jawab sebelumnya, tidak penting, tapi bukan pula off the record. Sumpah, deh....

Pelan tombol bel kupencet. Tidak lama, pintu dibuka. Dor...dor..dor.... Bukan tembakan. Tapi kalimat pengenalan diri, penyampaian maksud dan tujuan, yang diberondongkan secara cepat. Maka, duduklah kami berhadap-hadapan. 

Meledak tawa Habibie saat saya lempar pertanyaan yang ada di judul tulisan ini. Sebentar... izinkan saya mendeskripsikan tawa Habibie. Begini. Anda pasti bisa dengan mudah membedakan orang Indonesia berbahasa asing dengan pelafalan kata atau pronunciation yang baik dan orang Indonesia yang berbahasa Inggris medok. Cobalah, bayangkan dulu.... Mendengar orang ngomong Inggris dengan pronunciation yang baik, di telinga juga enak kan? Nah, ledakan tawa Habibie ini seenak kita mendengar orang ngomong Inggris dengan pronunciation yang baik. Berderai-derai... sedikit lebih soft dari tergelak-gelak.

Saya nyengir saja sambil menatap orang dengan postur pendek pemilik IQ 200 itu. Usai derai tawa terakhir, dengan mimik khas –mulut agak dimajukan, mata mendelik— dia pun menjawab pertanyaan yang telah menyegarkannya. Dia menjawab dengan sangat ilmiah. Dia menyebut tentang bangunan otak yang cenderung berukuran lebih besar dibanding otak kebanyakan. Dia menyebut soal lemak, omega-3, asupan gizi, dan ... ah... maaf, lupa. Panjanglah... Ukurannya, kalau sekadar untuk mengisi rubrik “Foto-B”, lebih dari cukup. Bahkan jika redaktur memintanya sebagai bahan tulisan box (features), tidak akan kurang.

ilustras-roso-darasx4voC.jpg

Sekali lagi saya mendengar tawa Habibie dengan “pronunciation” yang baik itu, ketika ia menangkap pertanyaan lain, “Apa ada hubungannya dengan postur tubuh Anda yang pendek?”

Sekali lagi... usai derai tawa yang terakhir, ia dengan mimik serupa tadi, menjawab dengan sangat ilmiah. Dan panjang. Ia bicara soal anomali. Soal kecenderungan tubuh tinggi cenderung lebih cerdas dibanding tubuh pendek, sementara kecenderungan itu tidak berlaku bagi dia. Dia bicara soal genetika.

Bicara soal pola makan, pola tidur,... pola ibadah, dan... ah... maaf sudah puluhan tahun lalu. Maaf jika tidak bisa mengingat dengan baik. ***

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda