Sentuhan Jokowi Solo Jadi Kota Kuliner

Penulis (kiri) bersama budayawan Budi Djarot dan Cucu serta Cicit Legendaris Sepak Bola Nasional Drg Endang Witarsa, Tessa Witarsa Abadi dan Jasmine Joe Witarsa. (Foto: cowasjp.com)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Cak Amu

--------------------------------


ANDA masih nggrundel dengan Presiden Joko Widodo? Sah sah saja. Anda juga males ngomongin kepemimpinan tokoh berjuluk  Jokowi itu? Gak ada yang nglarang. Bebas saja! Wong presiden kita yang satu ini memang super cuwek dengan yang gitu-gitu.

Jokowi paling cuma bilang,”Kerja, kerja, kerja.” Orang yang suka menggunjing itu males bekerja. Tidak banyak karya. Hasilnya tetap gitu gitu aja he he he. Iyaa toh..

Kepolosan sikapnya  inilah yang membuat sosok negarawan yang amat sederhana itu menjadi idola masyarakat. Terutama wong-wong Jowo yang tinggal di tanah kelahirannya. Solo! 

Betapa tidak! Di kota inilah telah lahir seorang “Presiden Pertama” dari kalangan proletar. Bukan anak seorang politisi ulung, bangsawan, negarawan ataupun konglomerat. Jokowi hanya sosok manusia yang mendapat karunia untuk memimpin bangsa besar yang multi segalanya itu.

Ia berangkat dari kota yang dikenal radikal segalanya. Mulai agamis sampai kultur budaya dan politiknya. Dan, bapak dua anak ini sama sekali tidak menyentuh persoalan tersebut sebagai kendaraan politiknya.

Jokowi lebih suka menyentuh kaum proletar yang kesehariannya menjadi pedagang pinggir jalan. Baginya perekonomian kerakyaatan lebih penting dari  pada membangun mal-mal yang super mewah. Selama menjadi Walikota Solo dia lebih memusatkan perhatian pada tata kelola para PKL. 

Warisan kebijakannya itu erasa begitu kental ketika saya menyaksikan pertandingan sepak bola amal Chariy Game di Solo, Kamis 4 Februari. Saya terpesona dengan pembangunan Terminal Tirtonadi yang terasa bagai tinggal di bandara yang bersih dan nyaman.

Begitu pula saat menikmati kayuhan Pak Becak keliling kota. Sudut pandang saya yang kemana-mana tak melihat pemandangan yang membuat orang mencibir.  Kota Solo sudah banyak perubahan. 

Perubahan keasrian kota dan tata letak PKL-nya luar biasa rapi. Ketimbang kota-kota besar yang baru saja saya singgahi. Terutama di Medan, Padang, Bandung, Semarang, Pekan Baru dan bahkan kampong saya sendiri: Surabaya.

Sejak menjadi walikota, Jokowi memang terus memperkenalkan konsep relokasi pedagang kaki lima tanpa kekerasan. Hingga dalam waktu satu bulan, Jokowi sudah menertibkan pedagang kaki lima liar yang belum tertangani. Termasuk yang dilakukannya di sepanjang Jalan Veteran.

jasmine6aPpL.jpg

Jasmine Joe cicit Legenda sepak bola nasional Drg Endang Witarsa saat menikmati live band di salah satu pusat kuliner Solo. (Foto: cowasjp.com)

Tak kurang dari 130 PKL kini ditempatkan di Pasar Notoharjo Semanggi. Tak sekadar merelokasi, di lokasi baru ini para pedagang diberi kebebasan tak memberikan retribusi kepada Pemkot Solo selama enam bulan ke depan.

"Bisa dibuat pasar untuk PKL, bahkan bisa dibuat mal untuk PKL," tutur Jokowi saat itu. Dalam enam bulan itu, para pedagang diberi kesempatan mencari modal sebelum dipungut retribusi.

Penerapan konsep ini juga dibawa Jokowisaat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tapi saya belum melihat perkembangan sukses tidaknya, karena belum lama memimpin DKI, Jokowi sudah menjadi presiden. Namun, yang perlu dicatat bahwa, dia telah berhasil  menjadikan para PKL hidup tenang dan nyaman di awal kepemimpinanya pada 2005.

Keberadaan PKL, menurut Jokowi merupakan aset cukup besar bagi negara. Tak sedikit rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup menjadi pedagang kaki lima. Karena itu PKL harus diberikan ruang cukup untuk mengais rezeki.

Dan, janji Jokowi itu bukan isapan jempol. Tidak salah kalau Pak Becak yang mengantar saya ke Fave Hotel tempat menginapnya Tim Garuda Merah dan Putih menggelari sebagai “Walikota Kuliner”. “Riyen kulo sering nganter tamu cari tukang pijit. Sak niki sing laris kulinere Mas,” Pak Becak asal Maospati Jawa Timur ini terkekeh. 

Selama 20 tahun tinggal di Solo, Pak Becak menyebut bisnis pijit dan esek-esek mulai ditinggalkan para pelancong. Setiap menemui penumpang dia selalu diminta mengantar temapt wisata jajanan. Itu yang membuatnya harus hafal keinginan tamu-tamu dari luar kota yang tinggal di hotel melati atau baru tutun dari bus.

Bukan hanya para pendatang, warga setempat juga sudah mulai menyukai budaya nongkrong ini. Terbukti banyak kendaraan berplat nomor AD parker rapi di area yang sudah disediakan.

Angkringan yang terkenal dari Jogja itu sudah menjamur di kota radikalis ini. Bahkan, café-café dadakan ada di mana-mana.

Tempat-tempat nongkrong itu saling berlomba menu makanan dan design interiornya. Nggak usah bingung jika tidak puas dengan guide Pak Becak yang minim referensi. Cukup buka hape dan searching via Si Mbah Google pasti menemukan tempat refreshing yang nyaman.

makan-duren1W2LY.jpg

Budayawan Budi Djarot (kiri) bersama cicit legendaris sepak bola nasional Endang Witars, Jasmine Joe (tengah)  dampingi ibunya Tessa Witarsa Abadi (kanan). (Foto: cowasjp.com)

Saat saya membuka Berjelajah.com langsung banyak tempat nongkrong di Solo yang enak serta murah sesuai kocek kita. Nama tongkrongannya macam macam dan lucu-lucu. 

Bahkan, brandingnya sangat menggoda. Ada Gladag Langan Bagon atau yang sering disebut dengan Galabo. Tempat nongkrong yang buka malam hari ini berada di sebelah timur bundaran Gladag di Jalan Mayor Sunaryo.

Café Tiga Tjeret juga menyediakan nuasa angkringan khas Jogja.  Bukannya sampai jam sepuluh pagi sampai jam satu dini hari. Sajian makanannya tak beda jauh dengan angkringan di seluruh kota yang basis bisnisnya waralaba itu. Murah meriah hingga tempat nongkrong yang terletak di Jl. Ronggowarsito No. 97 ini  paling disukai anak muda.

Juga ada Wedangan Omah Lawas. Di tempat ini kita bisa menikmati hidangan beraroma tinggal di rumah lama. Ada ruangan khusus untuk untuk lesehan yang dilengkapi teve kuno dan radio lama.

Hanya sisi luar di halaman depan diwarnai nuansa café masa kini. Jam operasionalnya sore hingga dini hari. Semua menunya tidak mahal dan terjangkau untuk mahasiswa.

Hanya di Café Zoom yang jaraknya tidak jauh dari Stadion Manahana, yang agak lumayan harganya. Café ini lebih menonjolkan mimunan berkelas menengah ke atas. Berbagai Es Krem ada di sini, Juga minuman cocktail kesukaan lidah orang orang modern tersaji lengkap.

Café ini sengaja dibangun untuk mengimbangi popularitas Es Krem Tentrem. Cuma tempat nonkrong legendaries sejak 1952 ini, tak berani buka malam. Sehingga Café Zoom lebih disukai keluarga atau muda mudi yang lagi kasmaran. Soalnya café ini buka hingga dini hari. 

“Di sini lebih nyaman. Selain lampunya eksotik, alunan music yang tersaji juga tidak terlalu bising,” aku Jasmine Joe, cicit prmain sepak bola Legendaris Drg Endang Witarsa yang karib disapa JeJe ini. “Cocok juga buat anak muda dan orang tua yang suka lagu lagu oldis,” timpal budayan internasional Budi Djarot adik kandung Slamet Raharjo dan Eros Djarot, yang semeja dengan kami.

Budi mengakui Jokowi memang hebat. Semua tempat kulinr di Solo tidak bernafaskan maksiat. Semua bersih dari aktivitas hidung belang dan wanita nakal. Bahkan, ada bekas lokalisasi yang menjadi tempat nongkrong nyaman karena ada live musiknya.

 “Lepas suka atau tidak suka, Jokowi telah membuat Solo berubah. Berubah dari image kota esek-esek menjadi kota super gesek (maksudnya gesek ATM) ha ha..,” tawa Budi yang mentraktir kami sejak dari makan di ceker ayam di Warung Gudheg Bu Mary hingga Ice Cream Zoom.
By Pesantren Jurnalis 

ILSUTRASI-AMUruLy9.jpg

Foto dan Ilustrasi: cowasjp.com/ghedebug

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda