Tanpa Mega

Megawati Soekarnoputri apakah mau merelakan posisi ketua umum PDIP untuk Jokowi? (FOTO: kompaspedia.kompas.id)

COWASJP.COMMEGAWATI pernah mengalami: partainya memenangkan Pemilu tapi yang jadi presiden Gus Dur. Jateng rusuh. Bali bakar-bakar. 

Itu yang kini dialami Imran Khan. Caleg yang ia dukung memenangi pemilu di Pakistan, tapi yang akan jadi perdana menteri justru Shehbaz Sharif dari partai PLM-N. 

Megawati masih lumayan: jadi wapres –posisi yang membuatnyi jadi presiden paro periode.  Imran Khan jauh lebih buruk: justru mendekam di penjara untuk banyak perkara. 

Ketika Pilpres tidak lagi lewat MPR justru Megawati tidak pernah terpilih. Tapi dia berhasil menempatkan petugas partainya, Jokowi, menjadi presiden. Dua periode. 

Megawati gagal menjadikan putrinyi sebagai pewaris istana. Sang petugas berhasil membuat putra sulungnya sebagai wakil presiden.

Megawati kini berusia 77 tahun. Jokowi masih 62 tahun. Jokowi bisa membuktikan: tanpa Megawati berhasil memenangkan pilpres. Justru ketika melawan Megawati –lewat Ganjar-Mahfud. Kini Jokowi bisa tepuk dada: apakah benar tanpa Megawati ia bukan siapa-siapa.

Jangan-jangan Jokowi hanya ingin menunjukkan itu. Selebihnya ia tetap kader PDI-Perjuangan. 

Di usia 62 tahun Jokowi tidak mungkin pensiun. Bisa cepat mati. Tidak mungkin juga kembali jadi pengusaha mebel. Harga kayu semakin mahal. 

Maka begitu banyak yang berharap Jokowi tampil memimpin PDI-Perjuangan di masa depan. 

Tentu tergantung sikap Megawati: apakah mau merelakan posisi ketua umum untuk Jokowi yang dianggap pengkhianat.

Megawati marah. Tentu saja. Tapi marahnyi tidak sampai meledak: Jokowi tidak dipecat dari anggota partai. Para menteri yang berasal dari PDI-Perjuangan juga tidak diizinkan mengundurkan diri secara demonstratif. 

Saat dikalahkan SBY di tahun 2004 usia Megawati baru 57 tahun. Setelah 20 tahun pun Megawati belum bisa melupakan kekalahan itu –atau proses kekalahannyi. Belum mau menyapa SBY.

Kini di usia 77 tahun, mungkin Megawati tidak semarah itu kepada Jokowi. Kalau dia akan menyimpan kemarahan itu juga selama 20 tahun, berarti sampai usia 97 tahun pun Megawati masih akan marah ke Jokowi.

Drama Jokowi mengalahkan Megawati di Pilpres 2024 akan dicatat sebagai peristiwa politik terbesar. Ternyata hanya orang PDI-Perjuangan yang bisa mengalahkan PDI-Perjuangan. 

Di lain pihak belum tentu juga Jokowi mau menjadi ketua umum PDI-Perjuangan. Anak keduanya, Kaesang Pangarep, telanjur menjadi ketua umum PSI. Masak ayah menyaingi partai yang dipimpin anaknya. Kecuali sang anak mundur dengan alasan gagal membawa partai masuk parlemen.

Suara PSI sebenarnya naik drastis. Hampir dua kali lipat –sayangnya dari 1,4 persen. 

Saya lihat caleg-caleg PSI kurang punya daya tarik pribadi. Kalau pun orang mau mencoblos PSI mereka tidak tahu mau pilih siapa. 

PSI jelas salah dalam strategi menyusun daftar calon. Kaesang tidak sempat mengubah: tidak ada waktu lagi.

Kini kian jelas bahwa caleg-lah yang membuat suara partai naik. Caleg-lah yang sebenarnya bekerja. Bukan mesin partai. Caleg memang bekerja untuk diri mereka sendiri –tapi partai dapat dampaknya. 

Bukti itu kian meneguhkan bahwa interest pribadi lebih menentukan dari interest partai.

Membela partai dapat apa. Membela diri sendiri dapat kursi.(*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Edisi 15 Februari 2024: Nomor Dua

Lagarenze 1301

"Pa, kemarin nyoblos nomor berapa?" "Nomor 2. Emang kenapa, Ma?" "Aduuuh, Papa ini.... Masih umur 40 sudah pikun." "Lho, ada apa?" "Kemarin itu Papa harusnya nyoblos yang nomor 3. Malam ini nyoblos saya yang nomor 1." "Wahhh, maaf, Ma. Papa lupa...." *bini tiga

djokoLodang

--o-- Di sebuah padepokan. Sang Guru sangat dihormati dan disegani. Ketenarannya meluas sampai jauh melewati perbatasan propinsi, sehingga banyak yang datang meminta nasihatnya. Suatu hari, datanglah Aloui. "Aloui, apa masalahmu?" "Salam hormat bagi Guru. Aku mohon nasihat Guru, bagaimana mengatasi keadaan di rumah ku. Istriku sangat takut kepadaku. Sering kali itu membuatku kikuk. Dulu dia tidak begitu." "Begini Aloui. Masalah mu agak lain. Perlu penanganan khusus. Aku harap kau bisa sedikit bersabar. Datang lah lagi nanti sore, ... di ruangan pribadiku." Murid-murid sang guru tercengang. Tidak biasanya sang Guru memberikan waktu khusus bagi seseorang. Di ruang pribadi beliau, lagi. "Ada apa, ya," pikir Aloui. Sore harinya, Aloui menemui sang Guru di ruang pribadi beliau. Begitu masuk, sang Guru memberi isyarat agar segera menutup pintu. "Begini Aloui, aku harap kau jujur. Bisa berterus terang. Beritahukan apa rahasiamu?" "Rahasia apa, Guru?" "Apa yang kau lakukan, sehingga istrimu bisa takut padamu? Aku akan mencobanya." --0--

alasroban

Setelah sekian lama tak bisa login akhirnya bisa login lagi. Misteri wanita,... Rara Jonggrang, Syarat untuk mendapat cintanya, Bandung Bondowoso harus membuat seribu candi dalam semalam. Entah berapa insinyur sipil yang di kerangkan Bandung. Berat nian ! Dayang Sumbi, Syarat untuk mendapat cintanya, Sangkuriang harus membuat kapal sebesar kapal induk dalam semalam. Bahkan sampe sekarang belum ada galangan kapal di dunia ini yang mampu membuatnya dalam semalam, apalagi PT PAL. Namun sangkuriang membuatnya. Berat nian ! Titiek Soeharto, Syarat rujuknya tak semua laki-laki di dunia ini mampu melakukanya. Harus jadi presiden. Itulah mengapa Prabowo tak menyerah meski kalah berkali-kali di pilpres sebelumnya. Wkwkwkwk,....

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

GARA-GARA NOMOR DUA.. Iya. Gara-gara "nomor dua", saya jadi ingat Pemilu jaman Orba. Dulu, partai pesertanya hanya tiga. Kecuali yang pertama, masih ada sepuluh. Jumlah partai yang hanya tiga. Itu persis jumlah paslon saat ini. Dulu, Golkar selalu dapat nomor urut dua Gak tau bagaimana caranya.. Yang unik adalah cara "sosialisasinya". Partai lain, namanya "kampanye". Khusus Golkar, namanya "santi aji".. Peserta santi aji: pegawai BUMN, BUMD dan pegawai negeri. Saat santi aji itu, acaranya selalu: 1). Disampaikan keberhasilan pemerintah. 2). Dihadirkan wakil dari BAKN. Saat itu, BAKN adalah "malaikat pencabut nyawanya" pegawai negeri. 3). Dipesankan, saat pemilu agar: A). Tidak usah liat kanan kiri. B). Coblos saja yang di "tengah". Langsung acara selesai..!! ### Yang di tengah itu, tiada lain: ya nomor dua..

sales official

Tulisan disway paling buruk yg pernah sy baca.. Puncak dari kegemasan saya terhadap disway.. ternyata dirimu jurnalis yg ga objektif, main aman, dan cenderung partisan.. Dimaklum sih krn anda juga kan sebagai pengusaha yg harus mengamankan bisnis nya.. Dalam tulisan ini, hanya membahas puja puji dan malu malu dan membenarkan yg dilakukan oleh jokowi cs, dalam proses membantu 02 menang.. Tidak ada nalar kritis dan mendalam terhadap pemilu di tulisan 02 ini.. Selamat abah, dirimu udh uzur harus main aman dan NETRAL.. #uhukuhuk

Mirza Mirwan

MUHASABAH (2) Dan elektabilitas Ganjar-Mahfud kian anjlog setelah belakangan Ahok suka bekoar bahwa "sebenarnya Jokowi itu tidak bisa bekerja", bahwa yang memenjarakannya gegara al-Maidah dulu itu Jokowi, dan omongan ngaco lainnya. Sontak elektabilitas Ganjar-Mahfud yang semula di atas 30% anlog ke kisaran 20%. Dan dari berbagai lembaga penyelenggara hitung cepat kemarin itu perolehan Ganjar-Mahfud hanya 15-16% saja. Kalah jauh dari pasangan AMIN yang di awal masa kampanye elektabilitasnya jauh di bawah Ganjar-Mahfud. Hasil hitung cepat bukanlah hasil resmi versi KPU. Tetapi dari beberapa pilpres sebelumnya hasil resmi versi KPU tak berselisih jauh dari hasil hitung cepat. Hasil resmi versi KPU baru akan kita ketahui setelah KPU melakukan penghitungan manual secara berjenjang mulai hari ini sampai 20 Maret nanti. Kalau ada gugatan dari paslon 01 dan 03, hasilnya baru diumumkan setelah ada putusan MK. Pilpres sudah lewat. Kalau ada yang kecewa karena paslon yang dipilihnya kalah, itu wajar. Tetapi harus diingat, kehendak Tuhan pastilah yang terbaik untuk kita, bangsa dan negara ini.

Juve Zhang

Pemilu di Pakistan perang ideologi murni antara berbagai aliran....beras....duit ...gak ngaruh....beda sama disini....murni pertarungan beras....amplop...dst dll.....gak ngaruh anda ber busa busa akan buat sejahtera kan rakyat....karena rakyat daru dulu banyak yg bisa sejahtera....akhirnya rakyat putus asa....siapa saja yg kirim beras ber gambar siapa pun itu yg di coblos....kemiskinan yg abadi....di negara ini membuat mereka putus harapan....sudah ganti beberapa pemimpin hidup masih susah....ini realita...akhirnya mereka gak percaya lagi sam janji kampanye....baca pun mungkin gak sempat....jika isi perut gak ada yg jamin buat apa??‽. Realita pahit di kehidupan rakyat sekarang......di timpa bencana covid hidup makin berat....yg nampak di depan mata ada kiriman beras plus photo seseorang....inilah air di tengah gurun pasir....wkkwk

herry isnurdono

Pilpres sudah usai. Bagi pendukung pemenang tidak perlu jumawa. Para pendukung yg belum berhasil, legowo. Kegagalan adakah sukses yg tertunda. Prabowo maju 4 kali utk jadi Capres/Capres. Baru jadi, setelah menggandeng anaknya Jokowi. Ingat 80 % kepuasan rakyat thd kinerja Jokowi. Rakyat yg menang. Rakyat telah menghukum orang yg menghujat dan menjelek-jelekkan Jokowi. Juga penggagal Piala Dunia U20. Saatnya kembali bersatu. Kembali ke kehidupan normal. Tetap kerja, utk makan dst. Para Ketum partai akan kembali ke koalisi pemerintahan. Bagi2 kursi Menteri. Cak Imin dan PKB tetap bergabung ke pemenang. Tidak ada sejarah PKB jadi Oposisi. Nasdem sami mawo. Tidak percaya. Sampai sekarang PKB dan Nasdem masih didalam Kabinet Jokowi. Para bohir bingung. Balik modal buyar. Tugas rakyat selesai. Dengan mencoblos suara di pilpres/pemilu. Tidak perlu pintar dan minum Tolak Angin. Tidak perlu jadi Ilmuwan, Akademisi , dan Intelektual. Rakyat butuh makan, kehidupan normal, sembako murah. Susu dan makan gratis. Tidak percaya. 60 % rakyat memilih PS & GR. Ayo lihat kedepan. Maju bersama. Hapus semua tulisan di sosmed waktu pilpres. Jejak digitalmu akan menjadi aibmu. Tabik.

Gregorius Indiarto

Pilpres '24, yang bertarung Anis vs Prabowo vs Ganjar. Dan Anda sudah tahu, pemenangnya adalah Joko w.

Wilwa

Filosofi yang saya yakini adalah di dunia ini tak ada yang SEMPURNA tapi justru karena itulah kita sebagai manusia hadir untuk BEKERJA membuatnya MENDEKATI SEMPURNA. Analoginya sama seperti teknologi komunikasi yang makin lama makin mendekati sempurna. Awalnya hanya telepon alias suara saja. Lalu muncul televisi yang ada visualnya. Lalu terakhir adalah smartphone yang mana sangat praktis, lebih praktis dari komputer atau laptop untuk komunikasi audio video. Ke depan entah apa lagi yang lebih sempurna dari smartphone. Tapi yakinlah semua itu hanya mentok pada MENDEKATI SEMPURNA. Tak akan pernah bisa 100 persen SEMPURNA. Apapun di dunia ini tak ada yang SEMPURNA. Paling pol MENDEKATI SEMPURNA. Dan itulah peluang atau kesempatan manusia untuk bekerja, berkreasi, berinovasi menyempurnakannya secara bertahap dan terus menerus

Wilwa

@Juve. Monas? Hmmmm. Kalau Anda maksud sebagai kelompok yang menginginkan sistem politik dan sistem ekonomi ala kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah maka menurut sejarah tidak terbukti hampir tak ada yang sukses dalam menyejahterakan rakyat. Ada yang sangat sukses misalnya di era Harun Al Rasyid. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah Harun sukses justru ketika menerapkan sistem ekonomi liberal dan politik otoriter seperti Tiongkok saat ini. Itu analisis saya pribadi. Saya meyakini tak ada sistem politik dan sistem ekonomi yang SEMPURNA. Demokrasi punya kelemahannya dan otoritarianisme juga punya kelemahan. Demokrasi yang kebablasan hanya menghasilkan anarkisme. Otoriteranisme macam Kim Jong Un Korut hanya menghasilkan manusia-manusia robotik yang dikendalikan Sang Diktator. Sistem ekonomi yang kapitalistik hanya akan membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Sistem ekonomi komunistik ala Soviet akan mematikan kreativitas, inovasi, semangat bekerja rakyatnya. Yang harus dicari setiap nation/bangsa-negara adalah keseimbangan, balance, antara dua kutub/polar itu. Dan sikap prudential atau kehati-hatian sangat diperlukan.

Liáng - βιολί ζήτα

selingan Orkestrasi pabaliut itu telah usai !! Hingar-bingar masa kampanye pemilihan umum 2024 ibarat sebuah Orkestrasi yang terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya "music score, arrangement, maupun Conductor". Begitu banyak pemainnya, pun nada-nada yang dimainkannya begitu banyak yang terasa sangat sumbang, tidaklah dikenal di dalam Orkestrasi Musik yang sesungguhnya penuh dengan keindahan. Pabaliut teu puguh !! Tetapi ada satu hal yang pasti : "tidak ada pertunjukan apapun yang tidak akan usai" !! Orkestrasi "pabaliut teu puguh" itu, kini telah usai !! Dan, Orkestrasi itu kini sudah menemukan bentuknya sendiri. Sudah hampir dapat dipastikan akan ada "Conductor-nya". Ada cukup waktu untuk "mempersiapkan" segala sesuatu dengan baik untuk "pertunjukan" yang sesungguhnya. Pertunjukan dengan durasi yang teramat panjang selama 5 tahun ke depan. Apakah Anda akan menjadi bagian dari pertunjukan Orkestrasi yang penuh dengan keindahan itu ?? Ataukah hanya menjadi penonton ?? Sesungguhnya, penonton yang baik sudah pasti tidak akan merecoki pertunjukan Orkestrasi itu. Apalagi sudah merecoki-nya ketika persiapannya pun masih berlangsung. Berikanlah "kesempatan" kepada Sang Conductor untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Toh "Sang Conductor" adalah pilihan mayoritas Rakyat Indonesia.

Ketut Bagiarta

Bahwa pilpres sudah berlalu, apa pun hasilnya, itu merupakan pilihan 'rakyat'. Bahwa prosesnya disertai tindakan 'kotor', ini semestinya menjadi bahan evaluasi untuk pemilu berikutnya. Pemilu 2024 ini hendaknya menjadi titik awal bagi semua komponen masyarakat utk menyiapkan perbaikan ke depan, utamanya terkait peraturan perundang2an parpol dan pemilu. Berharap pd 'wakil rakyat' sepertinya masih ibarat berdiang di abu dingin. Para akademisi mestinya start dari sekarang sehingga nanti tak ada lagi, setidaknya bisa diminimalisir, adanya dirty vote.

Lagarenze 1301

Nomor dua. Tapi, selalu jadi yang utama. Waktu. Perhatian. Kasih sayang. Isi dompet juga selalu ke yang nomor dua. Tas. Sepatu. Perhiasan. Pakaian. Skincare. Kalau sudah ada yang kedua, yang pertama mulai diabaikan. *risiko nambah.

Hari Purwanto

Gimana menurut Klean, suka gak suka, we have to admit that Mr. Jokowi is one of great poitician of all time in Indonesia. Dia gak pernah sekalipun kalah pemilu, mulai dari Solo sampai ke 2024 ini gak bisa dipungkiri Win-rate nya 100%. Khusus di 2024 ini pertempurannya dengan PDIP jadi yang paling menarik (kebetulan kok ya sama fenomenanya dengan SBY yang rada "dinistakan" oleh Mak Mega). Gimana bisa markas Banteng bisa diobrak abrik begini? Khususnya di Bali, gak pernah ada dalam sejarah capres PDIP kalah disini, dan hasil dari Pemilu kali ini menjadi bukti kedigdayaan Jokowi. This is not the end of his leadership era.

Lagarenze 1301

Nyoblos sudah selesai kemarin. Tapi IIMS 2024 baru mulai hari ini. Indonesia International Motor Show atau IIMS 2024 digelar 10 hari, 15-25 Februari, di Jakarta International Expo, Kemayoran. Kalau selama musim pemilu kepala mumet dengan seliweran janji-janji politik, sekarang mari berjanji kepada diri sendiri: kapan mau beli mobil yang dipamerkan di IIMS. Banyak mobil baru yang ditampilkan. Dengan harga khusus selama pameran. Dan tentunya prioritas pengiriman. Yang menarik tentulah mobil listrik. Yang paling ringan harganya tapi paling jauh jarak tempuhnya. Lebih jauh dari rata-rata mobil listrik saat ini yang 400 sampai 500 km. Kalau belum punya duit, bisa juga cuci mata saja. Sembari mengagumi kemajuan teknologi, lalu membandingkan dengan mobil yang dipakai sehari-hari. Betapa sudah ketinggalan. Daripada terkenang-kenang hasil quick count kemarin, yang bagi sebagian orang tidak sesuai ekspektasi, mari melihat mobil-mobil keren yang dijaga oleh gadis-gadis dengan "5i". Kalau beruntung, bisa foto bersama di samping mobil. Mungkin di IIMS 2024 ini cuma bisa window shopping. Siapa tahu, setelahnya rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka, lalu cukup duit buat beli mobil terbaru. Tapi, IIMS sudah berakhir? Tenang, masih ada lagi pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show atau GIIAS 2034 yang dijadwalkan 18-28 Juli 2024 di Indonesia Convention Exhibition (ICE)z BSD City.*

Mbah Mars

Pagi ini Bolkin menjadi wasit. Menuk dan Srinthil cakar-cakaran. Seru sekali. Bolkin: "Sudah... sudah ! kalian itu ngapain ? Beda pilihan itu biasa. Persaudaraan harus diutamakan. Menuk dan Srinthil tak disangka bersamaan berteriak: "Kamu jangan ikut campur, awas!" Bolkin: "Rakyat kecil seperti kita ini sama saja nasibnya. Siapapun presidennya. Jangan bodoh kalian" Sekali lagi Menuk dan Srinthil tak diberi komando teriak bersama, "Diam Bolkin !" Bolkin: "Pilihan beda itu dijamin Undang-undang negara. Jangan cakar-cakaran begitu" Menuk menyahut duluan, "Kami ini kelahi bukan karena beda pilihan, bego!" Srinthil:"Kami jambak-jambakan justru karena pilihannya sama" Bolkin jadi bingung. Apa sebenarnya yang terjadi ? Menuk dan Srinthil berteriak bersama: "Kami sama-sama memilih Kang Paijan jadi suami"

Mbah Mars

Tentang dugaan para caleg hanya memikirkan nasib sendiri memang benar adanya. Di banyak TPS, suara untuk calon presiden tidak berkorelasi dengan suara caleg pengusungnya. Capres No 1 kalah, tetapi caleg PKS menang mutlak. Capres no 2 kalah, tetapi caleg PDIP menang mutlak. Bertiup rumor bahwa sang caleg memang sering mengatakan "Yang penting pilih saya. Yang lain monggo" Di desa-desa dekat saya, modus money politicnya sekarang berubah. Para caleg tidak lagi bagi-bagi amplop untuk person tetapi bagi-bagi semacam jlagrak deklit untuk acara-acara kampung. Masing-masing RT akan mendapatkannya setelah ada komitmen untuk memilih sang caleg. Money politic semacam ini agaknya ditempuh untuk menjawab fatwa haramnya suap menyuap. "Ini kan untuk kepentingan umum. kepentingan bersama", begitu kira-kira jalan pikir si caleg. Dalam bahasa agama mungkin itu yang disebut khilah.

Wilwa

Saya hanya bisa berharap ibu Megawati yang partainya selalu saya pilih bisa menyadari arogansinya terhadap Jokowi. Dan Semoga Jokowi menjadi ketua umum PDIP berikutnya bila PDIP sebagai benteng terakhir ideologi sosialisme Sukarno ingin tetap berjaya di NKRI ini. Saya kecewa berat dengan kekalahan Ganjar tapi saya harus bisa menerimanya dan move on. Tidak menarasikan kecurangan hanya karena kalah. Tidak mencontoh Trump. Yang kalau kalah langsung menuduh pihak yang menang curang. Itu hanya merusak demokrasi.

Rihlatul Ulfa

Anda sudah lihat pj2 gubernur, walikota/bupati track recordnya seperti apa? anda tahu pj gubernur Jawa Barat Bey Machmudin sebelumnya menjabat sebagai apa? juga tentang track record Heru Budi dan pj gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana. Apa wewenang dan potensi kecurangan kepala daerah. 1. memobilisasi birokrasi 2. izin lokasi kampanye 3. memberikan sanksi atau membiarkan kepala desa yang tidak netral. dan kemungkinan-kemungkinan diatas tadi memberikan kita contoh kasus deklarasi desa bersatu, asosiasi desa pada sadarnya meliputi 81 juta suara jumlah DPT yang ada direpublik ini. Wewenang dan potensi kecuranga kepala desa 1. data pemilih 2. penggunaan dana desa 3. data penerima bansos, PKH, BLT 4. wewenang alokasi bansos. kalau kita runut dari awal, ini bisa jadi dugaan bagian awal bagaimana manuver mendagri dan pemerintah, secara sistematis, terorganisir dan masif. tentu tidak semuanya terlibat, tapi ada kemungkina kearah sana. semoga penjelasan saya ini cukup jelas ya Wilwa.

DeniK

kadang saya heran . kalau hasil hitung cepat sangat akurat . buat apa ada pemilu ( pemilihan Umum ) . cukup pemilihan acak . efesien dan efektif , tidak perlu dana triliyunan

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

ADA PARTAI YANG SAAT KAMPANYE PASANG SPANDUK.. Kami menang. BPJS gratis. Sebenarnya yang pingin gratis BPJS itu banyak. Tapi rupanya yang mau nyoblos partainya tidak banyak. Rupanya mereka berharap ada "ORANG LAIN" mencoblos partai itu. Tapi gak mau mencoblosnya sendiri. Mungkin alasannya karena beda ideologi. ### Saat partai itu kala, bahkan tidak mencapai "treshold parlemen", yang MENYESALI juga BANYAK.

Leong Putu

Memang benar honor KPPS di pemilu kali ini lebih besar dari pemilu 2019 lalu, saat ini honor anggota KPPS sebesar satu juta seratus rb dan satu juta dua ratus untuk ketua KPPSnya. Honor sejumlah itu, bukan untuk satu hari kerja tapi untuk satu kalender kerja atau satu rangkaian pemilu. Biasanya 30 hari kerja. Selama masa itu KPPS wajib mengikuti sejumlah agenda seperti : Bimtek dakam rangka sosialisasi peraturan kepemiluan. Dan masih banyak lagi, termasuk mendirikan TPS juga merupakan tanggung jawab KPPS. Biasanya H-1 menjelang pemungutan suara. Biasanya dikerjakan hingga larut malam. Tentu yang pernah menjadi anggota KPPS yang lebih pas untuk mejelaskan itu semua. Terkait dengan honor yang satu juta seratus itu, tidak semua anggota KPPS bisa menikmatinya secara penuh, mungkin hanya ibu² , remaja putri dan para jomblo saja yang bisa menikmatinya, sementara bapack-bapack banyak yang tidak dapat. Terlebih bapack-bapack anggota ISTI.

Mbah Mars

Si ibu lalu menyebut nama-nama: John Muliyanto, John Putu, John Amat, John Lagarenze, John Sutisna, John Luwanto, John Liam dan John Indiarto. Xixixixixi. Kabuuuuuuurrrrrrrrr.

Lagarenze 1301

Santai sejenak. Seorang perempuan pergi ke kantor jaminan sosial setempat. Petugas menanyakan beberapa pertanyaan latar belakang kepadanya. "Berapa banyak anak yang kamu punya?" "Saya punya 8 anak laki-laki," katanya. "Oke, siapa nama anak pertama?" "John." "Siapa nama yang kedua?" "John." Petugas bertanya, "Keduanya bernama John?" "Ya." "Oke, siapa nama yang ketiga?" "John." Dan seterusnya: anak laki-laki keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan semuanya bernama John. Petugas bertanya apakah tidak membingungkan, karena mereka semua bernama John. "Tidak," kata perempuan itu, "malah membuatnya lebih mudah." "Saat waktu makan malam tiba, saya hanya berkata, 'masuklah John, ini waktunya makan malam!' Dan, mereka semua masuk." "Saat waktunya tidur, saya hanya berkata, 'waktunya tidur John!' Dan, mereka semua pergi tidur." Petugas mengatakan, "Itu masuk akal, tapi bagaimana jika Anda ingin berbicara dengan salah satu dari mereka secara pribadi?" "Gampang," kata perempuan itu, "saya panggil saja masing-masing dengan nama belakang ayahnya."

Liáng - βιολί ζήτα

CHDI "..... maka pemerintah seperti mayat yang berjalan." Kalau istilah "mayat berjalan" yang dimaksud Abah D.I. mengacu kepada Cotard's Syndrome, saya pikir tidak tepat, terlalu jauh untuk dikaitkan (diasosiasikan) antara istilah di dunia Perpolitikan dengan istilah Neurologis. Entah, kalau memang ada istilah serupa tetapi dengan pengertian yang lebih umum. Istilah "mayat berjalan" atau Cotard's Syndrome - seringkali disebut juga Walking Corpse Syndrome atau Cotard's Delusion, mengacu pada "kondisi Neuropsychiatric langka di mana pasien menyangkal keberadaan tubuhnya sendiri hingga mengalami delusi keabadian". Sebagian ilmuwan lainnya meyakini bahwa Cotard's Syndrome termasuk dalam "kegilaan". Cotard's Syndrome teramat-sangat jarang sekali terjadi, sejauh ini hanya sekitar 200an kasus yang diketahui di seluruh dunia.

Lagarenze 1301

Saya mengapresiasi KPU yang membuat sistem real count hasil pemilihan presiden, yang sedemikian rupa sehingga dalam publikasinya pergerakan suara tidak melonjak sana-sini atau tidak saling menyalip sana-sini. Bayangkan kalau saja real count hanya merekap data masuk tanpa menggunakan algoritma. Bisa jadi saat data masuk 30%, paslon 01 unggul telak atas 02 dan 03. Atau, paslon 03 unggul telak atas 02 dan 01. Pasti akan menimbulkan keributan jika hasil akhirnya ternyata paslon 02 yang menang dengan angka telak di atas 55%, sedangkan 01 hanya di atas 20% dan 03 di bawah 20%. Orang-orang yang tidak menggunakan akal sehat akan melabrak KPU dengan tuduhan curang. Saya kira, algoritma yang sama juga digunakan oleh lembaga survei sehingga publish hasil quick count sejak data masuk 30% sudah memperlihatkan kestabilan. Tidak ada lonjakan drastis suara paslon. Paling bergeser 1 sampai 2 persen. Terima kasih kepada ilmu pengetahuan. Setidaknya, algoritma yang digunakan tersebut mengurangi kemungkinan terjadinya chaos. Real count, sama halnya dengan quick count, bukanlah hasil resmi pilpres. Hasil resmi tetap mengacu pada rapat pleno rekapitulasi yang digelar KPU dengan berdasar pada perhitungan suara secara manual dan berjenjang. Apakah akan ada perbedaan hasil quick count dan real count? Menurut saya, ada tapi tipis. Demikian pula dengan hasil rekapitulasi manual KPU. Akan ada sedikit koreksi, tapi tidak akan mengubah hasil akhir. IMHO.*

Ponsel Pro

Kisah nyata, di kutip dari X. "Di sebuah kampung, ada seorang kades yang kerjanya bener, ikhlas, gak ada pungli, selalu mendengar keluhan warga, eh periode berikutnya kalah sama yang bagi-bagi duit cuma gocap ... Sekarang warganya pada nyesel, soalnya kalo mau ngurus apa-apa dimintain duit." Kisah di atas adalah contoh nyata dari peribaha berikut: "Penyesalan itu datang belakangan, kalau datang duluan namanya kepagian."

Lagarenze 1301

Hari-hari ini menjadi titik krusial dalam percaturan politik negara ini. Hari-hari di mana bargaining, di atas permukaan atau di bawah permukaan, sudah mulai berjalan. Tak perlu menunggu penetapan KPU atas hasil pilpres. Masih lama, 20 Maret 2024. Masih sebulan lebih. Tidak perlu juga menunggu pengajuan gugatan ke MK, yang menurut UU paling lambat tiga hari setelah penetapan KPU dan diproses oleh MK paling lama 14 hari. Yakinlah, kalau hari-hari ini ketiga tim paslon masih terlihat tegang, itu hanya di permukaan. Di bawah, tidak terlihat di permukaan, komunikasi sudah berjalan. Pemerintahan berikutnya tidak akan lepas dari politik dagang sapi. Bukan dengan paslon yang kalah. Tapi, dengan partai-partai. Partai tidak lagi mengejar kemenangan. Sudah lewat. Yang perlu dikejar sekarang adalah kekuasaan. Dengan masuk kabinet. Apalagi, Prabowo-Gibran begitu terbuka untuk merangkul semua kekuatan. Dari tim paslon 1 atau tim paslon 3. Dari partai-partai pengusungnya. Politik dagang sapi, sapinya harus gemuk. Blantiknya harus pintar menghitung. Agar pemerintah kuat, tidak boncos di DPR.*

Alex Ping

Saya dulunya juga pengagum Ganjar pak, sampai di satu titik dia mengakui dia bangga sebagai petugas partai. Bahkan berani saat gubernur berani melawan perintah presiden yang jelas2 atasannya demi sang ketum. Menurut saya itulah titik balik dari seorang Ganjar. Masa iya seorang presiden harus tunduk kepada ketum seperti bambang pacul. Terlepas dari apapun yang Om Juve keluhkan saya yakin hal itulah yang memicu rangkaian peristiwa diatas.

Hari Purwanto

Di sela-sela rehat rapat guru besar suatu perguruan tinggi, terjadi tanya jawab dua orang guru besar. Prof Hariman : Prof tolong sebutkan dengan mudah 5 politisi paling hebat se tanah air Prof Anuman : 1. Sukarno; 2. Hatta; 3. Syahrir....anuuu siapa lagi yah? Prof Hariman : halaaah....kelamaan Prof Anuman : trus siapa dong? Prof Hariman : 1. Jokowi; 2. Jokowi ; 3. Jokowi; 4. Jokowi ; 5. tetep aja Jokowi.....

Lagarenze 1301

Kemenangan besar Prabowo-Gibran diwarnai oleh fenomena Mayor Teddy, sang ajudan. Kegilaan kaum perempuan, mulai dari ABG hingga emak-emak, terhadap Teddy berpengaruh secara langsung dengan kesukaan terhadap Prabowo-Gibran. Lihatlah acara Prabowo-Gibran di Istora Senayan, tadi malam. Begitu riuh ketika nama Teddy disebut. Dan lebih riuh lagi ketika wajahnya di-zoom in di layar lebar. Beberapa hari lalu begitu banyak perempuan yang mengupload reaksi sedih dan kecewa ketika Teddy menggendong seorang gadis yang pingsan di acara kampanye. "Apa saya harus pura-pura pingsan juga, ya, agar digendong calon imamku," tulis netizen. Lalu tadi malam, ketika Teddy menggendong Gibran, emak-emak pada emosi. Maunya dia yang digendong, ha-ha-ha.*

Liam Then

Entah apa yang membuat orang berambisi menjadi presiden. Itu pekerjaan terepot menguras energi mental dan fisik. Bayangkan anda seorang presiden. Berapa orang yang harus anda tangani laporannya tiap hari. Berapa jadwal kegiatan yang harus anda ikuti tiap hari. Tingkat kepentingannya semua itu bisa membuat anda merasa hidup ini bukan milik anda lagi. Dalam kampanye kita diberi ilusi ,apa-apa terasa gampang, mau apa bisa, mau apa jadi. Tapi sungguhlah susah jadi seorang presiden. Ini benar-benar hanya untuk orang pilihan. Kasep kurang kontrol pada apa-apa yang digawe bawahan, bisa sebabkan kerugian materi besar. Rugi yang lebih besar lagi, sebenarnya adalah waktu. Uang bisa dicari, tapi waktu yang hilang, akibat program bawahan yang mandek, didalam masa kepemerintahan yang pendek. Itu dobel ruginya. 5 tahun dalam satu masa kepemerintahan sungguhlah pendek. Jembatan sepanjang 200-an meter saja di kota saya, saat ini sudah hampir dua tahun, masih belum nampak bisa digunakan. Inilah gambaran nyata, bahwa sebenarnya masa 5 tahun satu rezim kepemerintahan itu, sungguh-sungguh sikit rasanya. Belum lagi tunggu mesin panas, tunggu formasi menteri bawahan ajeg, belum lagi kalau ada reshuffle. Sungguh jadi presiden itu pekerjaan yang paling repot. Banyak janji, banyak harapan, ini tanggung jawab sudah kayak titian rambut belah 7. Silap dikit, efeknya besar. Sebenarnya pekerjaan ini adalah pekerjaan terepot. Kayaknya lebih enak rebahan, sambil nggacor di CHDI.

Handoko Luwanto

∇201↓u➜Lagarenze 1301 2j "Saya mengapresia..." △202↑R→M.Zainal Arifin 2j "Bila curang nya ..." ∇212↓R→ⓘⓨⓐ ⓝⓞⓚ 2j "algoritma skrg m..." K̢̙̪a̠̦͚p̡̫̘a͖̠̪k͎̞͔ S̢͙a͕͇̫k̟̟̫t̢̠̪i͕͚̼ N̢̞̘a̫̺g͖͇̪a̠̦ G͔̠̺e̡̠͍n͎̫̫i͚͖̼ 2̠͖͙1̢̻̠2̙͖̝ △213↓R→Afa 2j "Betul..." △214↓R→M.Zainal Arifin 1j "KPPS bisa tak cu..." △215↓R→M.Zainal Arifin 1j "Ralat: curang. M..." △216↑R→iya nok 1j "kl input data ka..."

Gregorius Indiarto

Jika benar, keterpilihan Gibran sebagai Wapres adalah takdir, Gibran harus tetap berterimakasih pada Sang Paman, karena perantara takdir itu melalui Sang Paman.

doni wj

Nguda rasa 1 Jago saya kalah. Telak pula. Tadinya ada dorongan untuk mempertanyakan. Apakah ada kecurangan? Seperti yg didengung2kan oleh banyak orang. Dan banyak pihak. Benarkah kecurangan itu fakta? Ataukah hasil olah pikir yg berkembang berdasar premis2 dan asumsi? Yakni dugaan yg semula dipercaya banyak orang. Intelektual, pesohor, para ahli dari berbagai bidang. Bahkan guru2 besar. Lalu belakangan diyakini sebagai sebuah fakta yg diketahui bersama. Kalau demikian halnya, bukankah realitas itu tak lain hanyalah buah dari opini dan olah pikir, namun kurang berpijak pada realita? Lalu saya menengok ke pesaing terdekat. Yg sama2 punya image bukan kepanjangan tangan rezim yg sedang berkuasa. Yg diusung bukan oleh partai peringkat 2, 3, atau bahkan pemenang pemilu lalu. Kalo situasinya adalah sama2 menghadapi kecurangan. Bagaimana bisa mereka masih bisa melaju di angka 26 persenan? Sedangkan jagoan saya cuma dapet 16? Saya jadi inget perkataan pedas mentor marketing saya. Yg relevan bila dihadapkan pada sebuah kontestasi pemilihan: "Bukan mereka yg tidak tertarik. Dirimulah yg tidak menarik". Saya jadi teringat pelajaran Pemilu 1999. Saat itu partai jagoan saya terkenal sebagai pelopor, pendobrak, dan pembaharu. Banyak eksponen reformasi berkumpul di situ. Intelektual2 kritis yg suaranya sering diliput berbagai media masa. Pendeknya, partai itu yg paling mewakili semangat era reformasi. Setelah pemilu terjadi, mak plekenyik.. 10 persen tak sampai..

doni wj

Nguda rasa 2 Dari situ kepala saya bagai diguyur dg air dingin. Bahwa logika dan fakta pemilu itu tidak sama dengan popularisme media. Apalagi medsos. Ada kelompok pemilih yg jauh dari hingar bingar dan jangkauan media. Yg sehari2 akrab dengan bajak dan lumpur di sawah. Yg memulung di sepanjang jalan. Yg mengarungi samudera di pelosok negeri. Atau tinggal di pucuk gunung. Yg perut keroncongannya tak akan ada yg mendengar. Deritanya gagal panen tak ada yg melihat. Tangisan anaknya yg kurang gizi juga tidak menjadi viral. Jangankan medsos, yg punya potensi komunikasi multi arah. Yg searah macam radio pun bisa jadi tak terjangkau. Yg bisa menyaksikan nyala lampu listrik pun bisa jadi keajaiban sekali seumur hidup. Bagaimana bisa dibandingkan dg generasi kini, yg listrik mati 3 jam saja bisa menuntut mundur dirut PLN hingga menteri. Mereka yg baru melihat satu film saja sudah malas pergi ke TPS. Dibandingkan mereka2 yg bersemangat mudik, atau mendayung sampan seharian, atau turun naik bukit dan ngarai, "hanya sekedar" agar bisa nyoblos. Dalam realm kita, sungguh bagai dewa dan semut membandingkan influencer yg 1 videonya bisa ditonton puluhan hingga ratusan juta orang dg mereka. Namun dalam konteks pemilu, nilai suara mereka sama. Seberapa populer suara seorang influencer dan jurkam meraup suara voters? 10? 20 juta? Seberapa banyak yg bisa dikover oleh dan menjangkau media mainstream maupun medsos? Jumlah yg berhak memilih itu lebih dari 200 juta jiwa..

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda