Sinopsis Buku tentang Tiga Capres RI 2024 (13)

Rosi: Mengapa Mas Goen Baru Marah Sekarang kepada Presiden Jokowi?

Goenawan Mohamad (kiri) dan Rosianna Silalahi host talk show Kompas TV. (FOTO: Tangkap Layar YouTube Kompas TV)

COWASJP.COMWawancara Rosianna Silalahi dengan Goenawan Mohamad (GM) belum rampung. Inilah lanjutan wawancaranya. Juga kisah-kisah lain tentang Capres 02: Prabowo Subianto:

***

KALAU begitu, saya perlu mengklarifikasi apakah kritikan keras Mas Goen  pada Jokowi tu karena Mas Goen punya preferensi capres berbeda dengan capres yang didukung Jokowi saat ini?

GM: Saya belum menilai (seraya tersenyum). Belum menentukan pilihan.  Ah..

(Rosi memotong jawaban GM) Adakah sentimen seperti itu. Itu yang terasa kenapa Mas Goen sekarang tidak bersama Jokowi misalnya? Atau merasa marah kepada pak Jokowi karena sedang berbeda pilihan capres. Bagaimana klarifikasi seorang Goenawan  Mohamad?

GM: Saya tidak ada hubungannya dengan itu ya. Kemarahan saya, mungkin  juga kemarahan banyak orang adalah tidak adilnya cara Gibran, anak presiden naik ke atas (jadi cawapres). Bukan karena Gibrannya, bukan karena umurnya. Tapi, karena tidak fair. Dan, ketika ini merusak sistem di kehakiman di tingkat Mahkamah Konstitusi, itu berbahaya sekali. Karena nanti, ketika kita membutuhkan MK sebagai wasit yang tidak memihak, orang tidak percaya. Dan, itu berbahaya sekali bagi suatu konflik. Tidak mustahil itu akan terjadi.

Jadi, poinnya adalah ketika keputusan MK kemarin?

GM: Ya. 

Karena saya tahu ketika Mas Goen mencuit 17 Oktober 2023 lalu : ‘Yang kita dapatkan dari tontonan MK Gibran adalah kekuasaan buat penguasa yang bodoh dan takabur’?. 

GM: Ya dong. Bahaya kalau orang mulai percaya bahwa hukum itu adalah hukum dari yang berkuasa. Meski itu ada benarnya. Tapi, ketika orang tak melihat hukum yang adil, maka masing masing akan mengambil hukumnya sendiri. Dan, kalau itu terjadi, apa yang kita bayangkan  dalam masyarakat?

Siapa sebenarnya yang Mas Goen referensikan sebagai penguasa yang bodoh dan takabur itu?

GM: Semua penguasa yang tidak tahu, termasuk hakim konstitusi, dan termasuk Pak Jokowi. 

Kalau Anda percaya seorang Jokowi yang memberi harapan di tahun 2014, all out memberi dukungan. Tapi ketika memilih anaknya, atau merestui putranya untuk menjadi cawapres, sangat mengecewakan. 

GM: Kalau Pak Jokowi saya percaya ya. Tapi kalau kemudian misalnya dia korupsi, saya tidak akan mengikuti dia. Jadi, memihak dan mendukung pemimpin itu harus ada reserve, seperti saya katakan. Karena kekuasaan itu mudah menyesatkan. Saya pernah punya kuasa kecilk kecilan. Saya beri contoh nanti bisa dicek pada teman teman di Tempo. Saya pemimpin redaksi (Tempo saat itu). Hanya soal kecil. Saat masuk kantor, saya lihat ada satu lukisan miring. ‘Ini lukisan kok miring’ tanya saya. Seluruh kantor bergerak untuk membetulkan seluruh lukisan. Saya kan tidak mengatakan, tidak untuk diperbaiki. Jangan jangan lebih baik kalau lukisan itu miring. Bahaya sekali kekuasaan kalau lidah, ludah kita menjadi api. Nah, maka saya pelan pelan ingin berhenti dari majalah Tempo saat itu dari Pimred. Ketika saya umur 40 tahun sudah saya siapkan (pengganti Pimred), karena saya melihat di majalah The Economist  (Inggris) menurut saya majalah terbagus di dunia, umur 40 tahun sudah berhenti dari pimred. Waktu saya mulai bersama teman teman menyiapkan orang orang seperti Bambang Harymurti, Jopie Hidayat, dan beberapa teman lain untuk suatu ketika dijadikan pimred.

Begini Mas Goen, yang ingin saya pastikan seorang Mas Goen. Bagaimana harapan yang diberikan kepada seorang Jokowi, dan itu Anda percaya, dan hanya dalam sekejap Anda mengkritiknya dengan keras. Kekecewaann Anda itu sebenarnya di mananya?. Anda percaya seorang Jokowi,  mengapa Anda tidak percaya bahwa pilihannya kepada anaknya (Gibran) menjadi wakil presiden  adalah juga yang terbaik? Yang melanjutkan pembangunan infrastruktur untuk menjaga tetap ada Jokowi. Kalau ayahnya baik mengapa tidak memberikan kepercayaan kepada  anaknya yang juga baik?

GM: Itu kepercayaan yang buta. Kepercayaan saya tidak buta. Seperti saya katakan tadi, seandainya Pak Jokowi saat itu mencuri misalnya, kan saya tidak mengatakan bahwa  untuk kepentingan bangsa. Meski pun dia mengklaim itu benar. Ada syarat syarat seseorang dipercayai. Kalau tidak maka jadi membuta total. Fatal. Bahkan kepada teman, saudara, anak  sendiri kita punya cara cara sendiri. Apalagi kepada seorang presiden. Jabatan publik yang besar sekali tanggungjawabnya.  

Sebenarnya di periode kedua Jokowi ini, Mas Goen, sudah banyak kritikan. Tapi itu tidak didengar dengan baik . Suara kritis di kampus justru dibungkam. Juga suara para aktivis tentang pembuatan UU di omnibus law misalnya. Mas Goen dianggap diam selama ini? 

GM: Soal UU Omnibus law saya tidak selamanya menentang. Saya tidak tahu betul detailnya. Saya tidak bisa mengatakan apriori, karena saya belum  pelajari bahwa ini salah. Soal suara mahasiswa dibungkam, lalu ada seorang mahasiswa bersuara keras bahwa sekarang lebih buruk daripada jaman Soeharto? Anak ini mengerti tidak! Bagaimana kebebasan suara di jaman Soeharto? Sekarang dengan segala cacatnya belum setingkat itu. Buktinya saya bicara di sini. Keluar saya tidak akan ditangkap. Kalau ditangkap ya alhamdulillah jadi terkenal. Tapi, tidak demikian. 

Jadi, sebaik baiknya perkara itu ada di tengah. Itu kata nabi. Janganlah kita maki maki. 

Menurut Mas Goen ini saat yang tepat untuk menyelesaikan puncak cadangan dan dukungan kepercayaan itu?

GM: Untuk saatnya berbicara keras. Saya tidak berbicara keras karena saya tidak tahu.

 Ini sekaligus menjadi jawaban, karena banyak yang mengatakan selama ini Mas Goen ke mana? Ada begitu banyak persoalan persoalan demokrasi di Indonesia, tapi Mas Goen tetap membela Presiden Jokowi. Apakah di sini Mas Goen mengatakan tidak semua masalah diketahui Mas Goen sehingga tidak langsung serta merta mengatakan sesuatu atau mencuitkan sesuatu. Tetapi ketika putusan MK ini  meloloskan putra presiden di sini lah seorang Goenawan Mohamad terusik, kecewa dan merasa dibodohi?

GM: Itu yang saya rasakan.  Kan saya tidak memperhatikan seluruh kebijakan Jokowi. Terutama karena saya tidak aktif terlibat dalam jurnalisme lagi. Saya hanya menulis, melukis kan tidak bisa diharapkan dari saya untuk memonitor terus. Memangnya saya parlemen. 

Satu pertanyaan saya sebelum beralih ke bagian berikutnya, apakah mas Goen mau mengakui bahwa selama ini, selama sembilan tahun kepercayaan Mas Goen terhadap Presiden Jokowi, membabi buta?

GM: Tidak! Tidak!  Tidak bisa (GM sambil menggeleng gelengkan kepalanya) Ah..pemimpin  pusat  kalau dia salah, saya tahu dia salah saya akan.. .  kalau dia salah dan saya tidak tahu salah kan tidak bisa dikatakan membabi buta. Tapi, ya bisa saja karena tidak tahu. Kita ini kan terbatas, menghakimi seseorang itu harus cukup adil, dan cukup fakta untuk menghakimi. Ketika masalah ini di Mahkamah Konstitusi secara moral menggugah hati. Apalagi, orang kan selalu berkata bahwa politik itu tidak ada hubungannya dengan moral. Machiavelli mengatakan demikian. Tapi politik itu kan bersama orang lain, politik bukan nyanyi sendiri. Mengajak orang lain karena ada unsur kejujuran dan kepercayaan, dan masalah moral karena ada nilai nilai moral yang harus ditaati dan ditakuti. Sehingga tidak saling curiga dan saling memusuhi. Itulah politik itu. 

Itu yang menjadi prinsip seorang Goenawan Mohamad  untuk membela dan memberi dukungan ke Pak Jokowi. Ada perasaan sangka baik saat itu?

GM: Iya. Demokrasi itu mengandung prasangka baik. Begini ada seorang theology Amerika  yang mengatakan, kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi. Tidak mustahil. Mungkin. Tapi, kecenderungan manusia untuk tidak adil menyebabkan demokrasi runtuh. Kita melihat pada mulanya kepercayaan. Kalau kepercayaan tidak ada lagi, ya kita harus menggunakan hak hak kita untuk menuntut. Dan itulah demokrasi bekerja juga. Demokrasi tanpa kepercayaan sebagai mana masyarakat tanpa   kepercayaan, susah. Yang disebut modal sosial. 

Kalau dipersentase kepercayaan Anda  kepada Presiden Jokowi yang Anda dukung berapa persen sekarang?

GM: Mungkin 30 persen. 

Boleh diceritakan suasana hati Mas Goen saat menulis surat yang begitu keras tentang merasa dibodohi kecewa dan sedih terhadap Presiden Jokowi? 

GM: Ah..ya sangat berat sekali. Ah…bukan karena saya memuja Jokowi tapi karena mengharapkan sebenarnya Indonesia punya pemimpin yang bisa diandalkan kata katanya. Negeri ini kan banyak traumanya dan saya mengalami yang tidak dialami teman yang lebih muda. Pergantian politik 1965 yang sangat berdarah. Kebetulan saya di luar negeri. Terus perlawanan kami terhadap Soeharto, kasus penculikan, kemudian gejolak gejolak yang lain, kerusuhan rasial, kekerasan kekerasan lain terhadap minoritas. Banyak sekali trauma. Dan itu perlu suatu dasar  kepercayaan bersama supaya jangan terulang. 

Ketika Pak Jokowi nggak bisa saya pegang lagi, dan saya tidak melihat ada pemimpin yang lain dan sampai sekarang belum melihat, saya sedih. Saya ini dari kecil disuruh berharap (suara GM mulai tercekat). Tanah air itu kan aset, tapi juga amanah. Nasib kita kan… Kita tidak ditakdirkan untuk jadi orang Mansjuria. Kita ditakdirkan jadi orang Indonesia. Itu bukan permintaan kita. Tapi, juga amanah karena  kita ingin selamat. (Suara Mas Goen bergetar tercekat. Lirih. Sesenggukan. Menangis).

Kenapa Mas Goen sepertinya patah hati?

‘Patah hati terhadap apa?’ tanya balik mas Goen dengan muka sedikit sembab.

Patah hati terhadap Jokowi? Patah hati terhadap harapan yang selama ini (digantungkan ke Jokowi)? 

GM: Begini ya terakhir. Terakhir, Eri Riyana (kolega Mas Goen) dipanggil menghadap Jokowi.

bahari3.jpgRocky Gerung. (DESAIN GRAFIS: tempo.co)

Mewakili Mas Goen  ya karena Mas Goen sedang berada di Bali?

GM: Mewakili dirinya dan.. Lalu dia ketemu Jokowi lewat Abdi. Dan, Pak Jokowi tanya, apa yang harus saya kerjakan? Gembira kan kita mendengar. Lalu Eri bilang: ‘ Kalau nanti MK memutuskan atau akan memutuskan bahwa Gibran lolos, bapak beritahu Gibran jangan maju. Karena harus kembali Solo dan kembali ke PDIP. Pak Jokowi bilang:  ‘ Iya. Catat Mas Pratik (Praktikno Menseskab),’ pinta Jokowi.  

Jadi, lega sekali. Eri kan juga orang yang percaya pada Jokowi meski soal KPK ia lebih keras daripada saya.  Ah..tapi setelah itu tidak ada pernyataan. Karena itu dusta ya..Lalu siapa  yang kita percayai lagi. KPK tidak bisa dipercaya lagi. Mahkamah Konstitusi tidak bisa dipercaya lagi. Presiden yang kita sayangi (Jokowi) tidak bisa dipercaya lagi. Lalu siapa? Itu krisis yang serius. Krisis serius lagi nanti kalau terjadi konflik. Kan pilpres lima tahun  yang lalu  konflik. Tapi, ada wasit yang dipercaya. Sekarang bisakah kita percaya pada wasit yang dipilih oleh pemerintah. Kalau tidak ada wasit sepak bola, pemain bertengkar, berkelahi. Apalagi ini (pilpres). Apakah tidak  rusak.  Kita tidak mau hal ini jadi penyebab generasi muda menganggap bahwa berpolitik itu hanya tipu menipu. Bukan pengabdian. 

Ada dua macam politik. Politik yang diperjuangkan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan sebagainya. Dan, politik setelah Soeharto ketika partai politik bisa diintimidasi, dibeli dan tunduk pada penguasa. Yang sekarang diteruskan dalam bentuk oligarki. Yang disebut wani piro. Semua bisa dibeli. Nah, politik yang kembali ke masa lalu. Politik sebagai pengabdian dan tugas itu  yang hilang. 

Tidakkah Mas Goen juga merasakan bahwa harapan itu terlalu ideal. Dalam politik tidak ada yang ideal dan tidak ada yang absolut? Pada gilirannya kita harus memilih di antara pilihan pilihan yang terbatas? 

GM:  Betul. Tapi begini ya. Betul tidak ada yang absolut di dunia  ini. Tapi, harus ada yang diperjuangkan ke arah yang absolut itu. Cita cita yang ideal, prestasi yang ideal itu ibarat kaki langit. Horison. Kita menuju ke sana tapi kelihatan dia mundur.   Tapi, tidak berarti kita tidak maju ke sana. Lalu kita tidak mengatakan, sudahlah kita tidak pakai nilai, kita tipu menipu terus. Apa yang terjadi?   Apa yang akan terjadi? Kalau ada rakyat yang tidak mau jujur kepada miliknya. 

Bukankah kekaguman Anda kepada Presiden Jokowi karena dia jujur, sederhana, mementingkan bangsa dan negara. Berani. Presiden Jokowi sendiri mengatakan, pemimpin ke depan harus punya nyali, berani melanjutkan program pembangunan. Hilirisasi dan sebagainya. Bukankah untuk kepentingan lebih besar ini Mas Goen, juga mengorbankan bapernya Mas Goen? 

GM: Saya tidak baper. Kalau saya baper akan teriak teriak. 

Tapi, tidakkah perlu untuk kepentingan yang lebih besar. Ada perasaan pendukung yang dikorbankan?

GM: Saya selama ini diam menahan diri untuk kepentingan yang lebih besar. Jangan jangan secara institusi seperti misalnya, KPK. Kan kita minta KPK diperkuat. Sudah janji. Tidak terjadi. Beberapa teman sudah patah arang lah. Saya tidak! Karena kemudian ada perkembangan lain ya. Mudah mudahan. Nah, kembali ke masalah moral, saya cenderung percaya pada orang. Kalau saya ditipu ya ditipu. Tapi, kecenderunganya tidak bisa bilang begitu saja. Capek kalau kita paranoid terus menerus. Masyarakat yang mencurigai satu sama lain hanya masyarakat  yang sakit. 

Saya melihat di antara semua twit-nya Mas Goen, saya melihat statement Mas Goen  keras sekali. Saya mau membacakannya: "Bersangka baik kepada seseorang itu bisa salah. Bisa naïf bahkan bisa bodoh. Orang yang kita sangka baik bisa culas. Bisa khianat. Maka, ketenteraman yang baik adalah modal dasar. Hidup saling curiga maka terkutuklah orang yang mencederai kepercayaan dan sangka baik. Orang yang culas’. Keras sekali Mas Goen?

GM: Orang yang mengutuk kepercayaan sebagai dasar dasar masyarakat ya kutukan itu apalagi dari manusia  seperti saya. Nggak ada. Kalau kutukan dari Tuhan  celaka. Tapi, saya harus mengutuk karena yang rusak itu dasar lo. Misalnya, di dalam satu rumah kita tidak betah pada saudara saudara kita. Bagaimana? Ketika kita percaya misalnya, pada teman kantor lah. Ketika kita percaya teman dan mereka mengkhianati dan  semua rusak karena ketidak percayaan lagi pada orang baik. Itu kan jahat. Percaya bahwa manusia baik itu rasa terimakasih pada Tuhan.

Kalau begitu saya mau tanya sekali lagi Mas Goen. Kenapa tidak memberikan kepercayaan sekali lagi kepada Jokowi yang merestui  anaknya (Gibran) sebagai wakil presiden sebagai jalan kebaikan untuk Indonesia ? 

GM: Kalau anaknya (Gibran) qualified. Terbukti qualified. Kalau anaknya melalui jalan kompetisi yang terbuka. Kalau kemudian anaknya berprestasi seperti yang diharapkan. Silakan! Saya nggak keberatan. Tapi, Gibran dengan segala hormat, atau tidak hormat kan Pak Jokowi pernah mengatakan, baru dua tahun (jadi walikota Solo). Ada rekamannya. Nah, mengapa sekarang lain? Itu saya bingung. Dan, jangan jangan Pak Jokowi juga bingung. Mungkin, menjelang akhir jabatannya dia (Jokowi) agak kehilangan bisikan hati yang sehat. 

Anda melihat pak Jokowi sudah berubah?

GM: Saya kan tidak tahu dari dalamnya. Saya melihat police (kebijakan)-nya tidak bisa disetujui. 

Police-yang mana menurut mas Goen?

GM: Mendorong Gibran (jadi cawapres)

Dan, meloloskan di MK?

GM: Ya

Mereka percaya bahwa presiden ikut meloloskannya?

GM: Kalau tidak, dia akan memenuhi janjinya pada Eri Riyana.

Bahwa meski MK meloloskannya, Pak Jokowi tetap tidak mengajukan Gibran sebagai cawapres Prabowo?

(GM hanya manthuk manthuk. Tanda mengiyakan atau setuju statement Rosi).

Tapi, bagaimanakah kalau ini pilihan pilihan terbatas. Tidak ideal tapi baik untuk kepentingan yang lebih besar? 

GM: Kalau untuk kepentingan lebih besar harus rela mengorbankan diri. Kalau mengorbankan diri,  maka mengorbankan anaknya. Kalau tidak, bagaimana  kita percaya bahwa ini untuk kepentingan yang lebih besar. Mungkin Pak Jokowi tidak percaya pada siapa pun kecuali Gibran. Sehingga dia taruh di kekuasaan yang akan datang. Tapi, masak nggak ada. Kalau saya, ini lepas dari pilpres. Kalau saya memilih antara Gibran dan Mahfud ya saya akan pilih Mahfud. 

Kok sepertinya anti anak muda?

GM: Bukan anti anak muda. Tapi kredibilitas. Banyak anak muda, salah satunya namanya juga Gibran merintis bisnis dari kecil hingga go internasional. Tapi, Gibran yang satu ini bukan anak Jokowi, tapi Gibran yang lain, anak miskin yang kemudian naik (sukses). 

Gibran Huzaifah, pendiri perusahaan rintisan di bidang akuakultur, eFishery kini memiliki harta mencapai Rp 1,59 triliun. Namun, siapa sangka Gibran ternyata pernah hidup sangat susah.

Dan, dia tangguh. Banyak yang lain. Misalnya Emil Dardak (menjabat Wagub Jatim). Katanya bagus. Kenapa bukan dia (cawapresnya). 

Artinya kalau pun batas minimal usia cawapres diturunkan kenapa hanya untuk Gibran. Kan bisa untuk yang lain? 

(GM hanya manthuk mathuk tanda mengiyakan)

Jadi ketidaksepakatan, kesedihan seorang Goenawan Mohamad ketika Ketua MK intervensi untuk meloloskan keponakan sendiri (Gibran) dan kemudian tetap menjadikan putra Pak Jokowi (Gibran)  menjadi cawapres. Itulah pangkal kesedihan seorang Goenawan Mohamad?

GM: Ini ketika makin jelas dia (Jokowi) tidak memenuhi janji seperti janjinya pada Eri Riyana. 

Mas Goen setuju bahwa relawan pendukung punya kontribusi terhadap pengkultus individuan Presiden Jokowi?

GM: Kata kultus individu harus kita pergunakan hati hati. Apa yang dialami Jokowi sekarang berbeda dengan kultus individu di Korea Utara.  Atau Mao Zedong menjelang revolusi kebudayaan China tahun 1960-an. Bahkan berbeda dengan jaman Bung Karno. Bung karno diberi gelar Agung, ini, itu  Agung. Tapi, Jokowi kan tidak sampai segitu. Dan, tidak ada mobilisasi  dari atas untuk demikian. Tidak ada poster gambar  di mana mana. Memang bagi saya agak menarik ya.. fenomena ini. Ini pernah saya pikirkan mengapa Jokowi bisa memanggil, mendatangkan orang kalau dia datang. Berkerumun. Nah, ini yang menyedihkan. Bahwa rakyat begitu merindukan seorang pemimpin yang baik. Jadi bukan kultus, tapi harapan. Kultus itu salah, tapi harapan tidak salah. Nah, kalau kita lihat rakyat di desa desa yang datang berkerumun ketika ada yang mau ketemu sampai nangis nangis itu kan bukan dosa. Yang terjadi bukan itu sebenarnya. Jadi yang terjadi adalah sentralisasi kekuasaan pada person dia (Jokowi) dan itu berhubungan dengan atmosfir politik kita yang bisa dibeli. 

Apakah ini sejalan dengan yang Mas Goen cuitkan, jangan jangan Jokowisme, Joko wani piro-isme?  

GM: Bukan. Ada orang mengatakan, berlaku Jokowisme. Saya ndak tahu itu apa? Tapi, yang saya tahu berlaku sekarang wani piro- isme. Jangan jangan Jokowisme sudah berkembang menjadi wani Piro-isme. Jadi, mungkin pemusatan kekuasaan pada diri Pak Jokowi itu terjadi karena kesetiaan, dukungan yang bisa dibeli dengan segala macam . Masukan dalam koalisi, lalu uang, belum lagi jabatan yang lain. Itu yang terjadi sekarang dan menyebabkan saya sedih sekali karena politik menjadi jual beli.

Mas Goen seorang budayawan, seniman, politikus yang bagian turunan budayawan karena di situ sesungguhnya nalar kritis, berfikir bebas. Mas Goen pernah membidangi Partai PAN yang identik partai reformasi. Tapi, akhirnya Mas Goen kecewa juga. Mas Goen juga ikut menseleksi caleg caleg dari PSI, ikut mempromosikan PSI sebagai partai anak muda yang diidentikkan dengan DNA partai yang progresif. Kecewa juga?

GM: Iya. Begini ya. Mungkin nasib saya gagal di situ. Senang melukis. Kalau gagal,  gagal sendiri. Jangan jangan memang belum datang adanya perbaikan. PAN itu didirikan dengan harapan dua. Membangun partai politik ketika partai politik tadinya dikekang Soeharto, sehingga menghindarkan diri dari campur tangan militer dalam kekuasaan. Mungkin perlu saya ceritakan ketika kita melawan Soeharto dari bawah tanah, di luar tanah pesan yang berkumandang jangan ulangi kesalahan tahun 1966. 

Tahun 1966 adalah ketika aktivis berkelindan dengan militer. Nah, ini aktivis yang ditelan, digunakan. Kan aktivis itu percaya betul pada militer. Saya nggak di sini (di luar negeri). Ada teman baik baik  percaya pada militer akhirnya digunakan. Yang kedua: partai politik yang maju, platform PAN itu pluralis. Bahkan menghancurkan  sentralisasi. Jadi, progresif sekali. Tapi, kemudian saya kira dibajak karena kalah  pilpres oleh PDIP. Maka, Amien Rais berfikir dua kali. Amien Rais mulanya saya kira sepaham dengan saya. Dengan kami, bukan hanya dengan saya. Yang membikin platform PAN itu banyak orang. Lebih muda dari saya. Tapi, kemudian (PAN) berubah. Lalu pelan pelan berubah sama sekali. Amien Rais makin lama makin aneh. Ya sudah good bye. PSI memang saya harapkan dan menjadi.. dan, saya masih punya harapan tipis ya. Paling tidak dia (PSI) baik dalam bidang  muatan lokal. Tapi, kalau sudah masuk parlemen mulai dengan tawar menawar kekuasaan nanti di dalam bagaimana? Apa tidak mengulangi apa yang sudah terjadi. Saya tidak menentang Kaesang masuk (Ketua Umum PSI). Tapi kan harus melalui jalan yang benar. Kader kek, latihan kek.. kalau partai mau kuat, pimpinannya harus latihan, militan. Berbenturan  dengan program. Tapi, kalau dicangkokkan di sana, untung Kaesang orang yang lucu. Saya senang. Tapi, menurut saya itu salah. Menempatkan Kaesang sebagai anak presiden. Kalau Kaesang bukan anak presiden  harus melalui pengkaderan. Apalagi partai ini (PSI) berdasarkan kesadaran. 

Mas Goen ada PSI, ada Presiden Jokowi  yang membuat Anda kecewa dan sedih. Seorang Goenawan Mohamad akan kapok nggak sih?

GM: Harusnya? Tapi, sebetulnya begini. Dulu saya sudah kapok. Ketika mau ada pilpres saya bilang sudah lah saya nggak mau milih lagi.  Saya mau melukis, menulis. Menulis  novel. Saya menikmati belajar filsafat lagi.  Betul betul mulanya saya mau mengundurkan diri. Saya pergi ke Ubud. Bekerja di studio yang menarik di sana (Ubud). Namanya Studio Dasto di Campuan. Saya belajar printing, restografi dan sebagainya. Tapi, tiba tiba ada gejala yang menakutkan yaitu Mahkamah Konstitusi. Saya bilang pada diri  dan teman teman, memangnya saya tega negeri yang dihuni anak saya, cucu saya mengalami kekacauan. Memangnya saya tega negeri rusak (suara Mas Goen kembali tercekat. Air matanya pun meleleh lagi. Dengan terbata bata Mas Goen melanjutkan statement-nya) . Bapak saya kan mati ditembak Belanda dengan harapan. Saya hafal makanya, saya harus ikut  lari lagi. Tapi, saya tidak bisa ikut sepenuhnya karena umur saya sudah 80 tahun lebih. Kalau ikut demontrasi sudah nggak pantas lah. (Mas Goen menyeka air matanya yang meleleh membasahi hidungnya dengan tangan kirinya). Sudah nggak kuat lagi. Syaraf kejepit dan sebagainya.

Jadi apakah saya akan kapok? Ingin kapok. Dan, mudah mudahan saya nggak perlu lagi begini lagi. Dan saya pastikan sepuluh tahun lagi saya nggak akan begini lagi. Sepuluh tahun lagi saya kan nggak di sini lagi (baca meninggal) Mungkin di Amerika (seraya tertawa lepas)

Panjang umur Mas Goen?

GM: Insya Allah.

Mas Goen sesungguhnya kesedihan Mas Goen itu jadi sebuah harapan dan dirasakan Mas Goen dan banyak orang lain seperti dikhianati dan ini  bisa menjadi apatisme bagi politik ke depan. Politik harapan dan nanti dapat cibiran? 

(GM menyela: Sama saja)

Mas Goen dalam tulisannya tetap mengatakan: saya cemas tapi saya  punya harap. Memangnya masih punya harapan mas Goen?

GM: Begini.  Saya ini punya pedoman orang yang optimis dan pesimis itu sama. Angkuh, tahu masa depan kayak apa? Saya ini lebih suka mengutip seorang penyair China:  ..Dia mengatakan, harapan itu seperti jalan di hutan. Hutan lebat. Tidak ada jalan. Tapi, ketika orang menempuh berkali kali. Banyak kali akan terbuka jalan. Jadi harapan itu tidak boleh dianggap ada dari sana dengan sendirinya, harus dikreasikan dengan sama sama. Mungkin    tidak akan tercapai sepenuhnya, karena manusia membuat sejarah. Tapi sering tidak sesuai dengan yang dikehendakinya. Kondisi kondisi warisan sejarah akan membentuk masa kini. Tapi, tetap harus dijalani. Generasi saya , generasi almarhum Arif Budiman mitos fisuf yang diperkenalkan oleh Albert Camus. Ibarat manusia  dihukum secara mendaki membawa batu besar. Ketika sampai di puncak batu itu berguling lagi. Dia turun lagi mengangkut lagi. Hukuman. Tapi, kemudian bisa berdamai atau sesuatu yang bisa dicintainya. Akhir yang semacam ini bukan nista. Kalau pun gagal nilainya berharga. Kalau pun kita kalah dan hancur tetap memperjuangkan yang mulia. . Itu berharga. 

Tidak ada yang sia sia dari sebuah perjuangan. Diambil baiknya?

GM: Insya Alah.

Terima kasih Mas Goen?

 GM: Maaf ngomongnya kadang kadang  sepertinya ada air (Mas Goen memegangi mulutnya). Garing (kering) di mulut. 

Saya sendiri bisa merasakan. Sesungguhnya Mas Goen bukan hanya marah  tapi lebih pada sedih. Karena saya tahu setelah Mas Goen mengkritik Pak Jokowi mereka pun hem.. Ini lah harga yang harus dibayar dari seorang pendukung yang fanatik. Tapi, dari pembicaraan ini mas Goen mengatakan, tidak ada salah dari prasangka yang baik?

GM: Ya (lirih)

Jahat lah mereka yang menyalahgunakan prasangka baik itu?

GM: Tepat sekali Rosi. Terima kasih.

Jangan merasa bersalah Mas Goen?

GM: Saya merasa bersalah kalau membiarkan hal yang berbahaya bagi generasi yang akan datang. (Mas Goen kembali menyeka air matanya) 

Masih ada harapan?

GM: Ya. dibikin. 

Terimakasih Mas Goen. Ini pengalaman bersejarah bagi penonton TV karena ini kali pertama seorang GM tampil di talk show TV. Artinya ada sesuatu yang harus disampaikan pada masyarakat Indonesia. Sekali lagi terimakasih mas Goen.

SURAT GM, SOEHARTO DAN JOKOWI YANG ISTIMEWAKAN ANAK

SEBELUM talk show di Kompas TV, sesuatu yang tidak pernah dilakukan Goenawan Mohamad selama ini menulis surat terbuka berisi kekecewaanya terhadap Presiden Jokowi. Mengapa meloloskan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres di pilpres 2024? 

Padahal GM, sapaan Goenawan Mohamad, aktivis pendukung Jokowi sudah mengingatkan untuk tidak melakukan itu. Mengapa? Karena akan merusak sendi hukum paling mendasar, dengan ‘meng-intervensi’  MK untuk meloloskan putranya Gibran. 

Ditambah Jokowi abai atas masukan, peringatan para loyalisnya termasuk GM.

Kekecewaan GM terhadap Presiden Jokowi itu dituangkan dalam tulisan agak panjang dan beredar antargrup WA. Berikut tulisan Goenawan Mohamad yang viral itu:

***

BANYAK sekali pertanyaan, benarkah saya yang menulis sebuah statement tentang pemerintahan Presiden Jokowi — tulisannya ditandatangani “Gunawan Muhammad”.

Itu bukan nama saya. Nama saya “Goenawan Mohamad”.  Dalam paspor ada tambahan “Susatyo”.

Tapi saya memang pendukung Jokowi. Bukan hanya pendukung yang pasif. Saya misalnya ikut berkampanye sampai malam di Sukabumi, ikut mengorganisir rapat umum di Jakarta, menulis teks digital maupun bukan, menyelenggarakan tujuh malam musik dan pertunjukan di Komunitas Salihara bersama banyak sekali seniman, bahkan ikut menyumbangkan dana.

Saya tak pernah lupa, di umur yang tak lagi muda, berjalan kaki siang hari bersama rombongan pedagang kaki lima pendukung Jokowi, dari Dukuh Atas sampai di depan Istana Merdeka, buat menyambut terpilihnya Jokowi lagi di tahun 2015.

Kini di tahun 2023, kepresidenan Jokowi akan berakhir — dan saya bangga, sebagaîmana  banyak orang, pemerintahan ini tampak akan berakhir dengan gemilang.  

Negeri aman, ekonomi tumbuh, banyak fasilitas dibangun untuk rakyat.

Saya berdoa agar rasa bangga itu berlanjut, agar Indonesia, negeri dengan sejarah yang berbekas luka ini, memiliki pemimpin tauladan: jujur, bekerja keras, dekat dengan rakyat, jauh dari mengejar harta dan kuasa untuk diri dan keluarganya.  

Dalam sebuah interview tahun 2022 di Tokyo saya mengatakan, Jokowi presiden terbaik dalam sejarah Indonesia sampai sekarang.

Tapi di tahun 2023, saya diingatkan kearifan klasik, bahwa seorang pemimpin yang dipuja dan dipuji adalah seorang manusia yang digoda. Kekuasaan dan pujian itu madat (candu) bagi orang yang di atas tahta, dan orang gampang mencandu kepadanya.

Dan dengan sedih saya menyaksikan bahwa Jokowi juga terkena madat itu.  Ia tak mudah lagi dikritik: ia tak mendengarkan saran-saran akal sehat. Misalnya agar membangun ibukota baru tanpa tergesa-gesa. Ide baik itu akan berantakan jika tak direalisasikan dengan seksama.  

Yang terakhir, Presiden Jokowi — sebagaimana saya temukan sedikit demi sedikit — melakukan apa yang dilakukan Suharto: memberi perlakuan istimewa bagi anak-anaknya. 

Semula saya dan banyak orang pernah kagum, juga terharu, melihat Gibran dan Kaesang bekerja sebagai pengusaha biasa (jual martabak dan pisang goreng), bukan dengan memonopoli bidang bisnis besar seperti anak-anak Soeharto.

Tapi ketika dengan mudahnya — tanpa kompetisi terbuka, tanpa prosedur yang benar — putra-putra Jokowi naik ke kursi kekuasaan, saya mulai ragu dan meneliti.  

Ternyata Jokowi, presiden saya, presiden yang dicintai rakyat, telah memberi mereka keistimewaan secara tak adil.  

Saya terhenyak. Saya kecewa dan sedih.

Puncaknya hari-hari ini. Dengan tipu muslihat dan dana yang bermilyar-milyar, jalan Gibran untuk jadi wakil presiden disiapkan.  

Gibran mungkin walikota yang baik, tapi ia tak tertandingi karena memang tak pernah ada pertandingan. Ia bukan juara sejati. Dan yang lebih buruk lagi, rasa keadilan dilecehkan, aturan yang disepakati dikhianati. 

Saya sedih melihat itu semua.  Demokrasi dimulai dengan sangka baik — tentang yang memilih dan yang dipilih — dan mengandung kepercayaan kepada sesama. Kini sangka baik itu retak, mungkin rusak parah, karena orang yang kita percayai ternyata culas. 

Padahal sangka baik — meskipun mungkin naif — adalah modal sosial untuk membangun kebersamaan bangsa.

Saya sadar, saya dan banyak orang lain seperti saya, tak berdaya melawan. Kami tak punya tentara, polisi dan birokrasi untuk menggertak, tak punya uang trilyunan untuk menyuap. 

Tapi saya tidak akan hanya diam; saya akan bersalah kepada negeri kita yang satu-satunya ini jika saya hanya diam.  

Dengan catatan: dalam umur lanjut ini, saya sadar batas. Tanpa ingin lumpuh.

Saya masih berbahagia bahwa di masa ketika nilai-nilai disingkirkan, saya masih bisa menulis dan melukis — kegiatan di mana apa yang baik selalu mengimbau agar diraih dan yang palsu dibuang. 

Dan saya masih punya teman-teman yang tetap setia kepada prinsip, tak mau ikut mempraktekkan politik yang tanpa nilai-nilai.

Saya masih mendengar mereka yang menggertakkan geraham berkata: “Cukup! Hentikan!”

Mereka yang tahu apa yang bakal hancur, bakal direnggutkan dari generasi Indonesia yang akan datang.

Saya cemas. Tapi saya punya harap.

PERINGATAN DINI ROCKY GERUNG

Beragam tanggapan atas tangisan Goenawan Mohamad yang kecewa pada sikap Presiden Jokowi yang mendukung Gibran, putra sulungnya dengan ‘menghalalkan segala cara’ menjadi cawapres mendampingi capres Prabowo di pilpres 2024. 

Tangis GM sapaan Goenawan Mohamad  pecah saat talk show di Kompas TV yang tayang 3 Nopember 2023. 

Tapi, tak sedikit yang menyinyiri tangisan GM hanya sebagai gimmick belaka. Bahkan dinilai sangat telat karena GM baru ‘siuman’ setelah sembilan tahun jadi pendukung fanatik Jokowi. 

Pengamat politik Rocky Gerung menilai  tangisan Goenawan Mohamad itu terlambat sembilan tahun. Bahkan sejak lama Rocky sudah mengingatkan GM dan gengnya tentang praktik politik Jokowi yang dinilainya mencederai demokrasi.

Namun, sikapnya tersebut mendapat penentangan keras dari Goenawan Mohamad dan beberapa pendukung Jokowi lainnya.

“Saya sembilan tahun di-bully orang yang kemarin menangis itu, bareng geng-gengnya. Sekarang mungkin dia sudah bertobat. Tapi lebih baik terlambat daripada telat,” sindir Rocky Gerung saat menjadi pembicara di Universitas Paramadina, Jakarta, seperti dikutip Solopos.com dari kanal Youtube Rocky Gerung Official, Selasa (7/11/2023).

Ditambahkan Rocky, seharusnya sikap publik saat ini bukan menangis seperti dipertontonkan Goenawan Mohamad. Harusnya marah! 

Marah karena menurutnya, Jokowi dengan kekuasaannya terang-terangan mempertontonkan tindakan mengakali konstitusi agar anaknya bisa menjadi cawapres.

“Sembilan tahun diem lalu tiba-tiba menangis di depan TV, apa nggak bego tuh. Ngapain nangis, artinya dari awal dia gak bisa mendeteksi selama sembilan tahun membeli kucing dalam karung,” kritik Rocky Gerung terhadap GM. 

MAKSUD TERTENTU?

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perhimpunan Advokat Pro Demokrasi (PAPD) Agus Rihat Manalu menilai, tangisan pria yang akrab disapa GM itu punya maksud tertentu.

Menurut dia, tangisan GM tak lebih hanya "gimmick" politik belaka. Pasalnya, GM terkenal selalu menggiring opini publik di setiap tahun pemilu.

Dia menyebutkan, GM pernah menyampaikan pandangan negatif alias menjelekkan Prabowo di Pilpres 2014 dan 2019. Sebaliknya, pernah memuji Jokowi setinggi langit, bahwa Jokowi adalah presiden terbaik.

"Dulu sebut Jokowi sebagai presiden terbaik sepanjang sejarah Indonesia, sekarang masuk tahun pemilu sikapnya berubah," kata Agus Rihat kepada wartawan, Sabtu (4/11/2023).

Objektivitas tangisan GM, menurut Agus, jadi tanda tanya besar. Mengapa? Karena sebelumnya budayawan itu terkesan jadi tim sukses Ganjar Pranowo.

GM puja puji Ganjar saat acara kuliah kebangsaan yang digelar Fisip Universitas Indonesia. Sebaliknya, saat Ganjar mendatangi Art Jog di Museum Nasional Yogyakarta, calon presiden PDIP itu balik memuji karya-karya GM yang turut dipamerkan.

"Tangisan Goenawan Mohamad ya gimmick politik, untuk serang jabatannya,” pungkas Agus.

Terpisah, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai Goenawan terlambat sedih. Karena dia sebagai pendukung Jokowi selama ini diam ketika pemerintah menerbitkan peraturan yang tak berpihak pada rakyat dan demokrasi.

"GM diam saat rakyat Wadas, Seruyan, Rempang, digilas. Diam ketika KPK pada akhirnya digunting, atau ketika Jokowi dan rezimnya mengesahkan IKN, memaksakan Presidential Threshold 20 persen," tulis Rachlan di platform media sosial X, Selasa (17/10/2023).

"GM baru 'sedih' dan merasa ditipu ketika Gibran didesas-desuskan akan jadi cawapres Prabowo," imbuhnya.

Bagi Rachland, kesedihan yang diungkapkan Goenawan sudah terlambat. Pasalnya, sedih yang dia ungkapkan adalah akibat dari pembiaran seorang pemuja dari apapun yang dilakukan sosok yang dipuja.

"Padahal itu cuma puncak dari akumulasi kekuasaan politik yang selama ini dia biarkan." 

(Goenawan Mohamad/Net - Goenawan Mohamad tempo.co) 

***

KILAS BALIK HUBUNGAN PANAS GM vs PRABOWO

MENGAPA  Goenawan Mohamad atau biasa disapa GM selalu ‘berhadap hadapan’ dengan Prabowo Subianto?  

Setiap kali Prabowo maju sebagai kandidat cawapres maupun capres, GM selalu berada di kubu seberang alias mendukung pasangan lawan Prabowo.

Jejak GM itu terlihat pada pemilihan presiden 2009, GM ikut mendukung Boediono sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono. ‘’Bukan pilihan ideal, namun Pak Goen menilai mereka lebih aman daripada pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Pak Goen tak percaya pada Prabowo, jenderal yang bertanggungjawab terhadap penculikan aktivis 1997-1998,’’ kata Andreas Darsono, salah satu sahabat GM dalam esai dimuat dalam antologi Goenawan Mohamad diluncurkan 25 Juli 2011, guna menyambut ulang tahun ke-70 Goenawan pada 29 Juli 2011.

Pada pilpres  2014 GM kembali berseberangan dengan Prabowo. GM terang terangan mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla melawan pasangan  Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang kala itu menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Bahkan secara  dramatis GM sebagai salah satu tokoh pendiri PAN di awal reformasi bersama Amien Rais dkk pada (14/5/2014) mengundurkan diri dari partai berlambang matahari itu. Goenawan, akrab dipanggil GM, menilai partai tersebut semakin terseret oportunisme setelah ketua umumnya, Hatta Rajasa, menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.

"Selama ini, meskipun dengan kekecewaan, saya tetap menjadi anggota PAN dan membayar secara teratur iuran keanggotaan. Tetapi kali ini saya tidak punya harapan lagi. Saya menyatakan berhenti dari keanggotaan partai," kata Goenawan, Rabu, 14 Mei 2014.

Menurut Goenawan, dia dan teman-temannya mendirikan PAN pada awal reformasi. Tujuannya agar ada partai yang menyumbang perbaikan semangat dan mutu kepartaian yang rusak oleh rezim Orde Baru. 

PAN, kata dia, didirikan mengawal gerakan pro-demokrasi melawan kekuasaan otoriter.

"Semenjak Soeharto jatuh, kami ingin membangun sebuah partai yang punya platform politik yang jelas untuk diperjuangkan ke arah demokrasi yang lebih luas, kebhinekaan yang lebih hidup, dan kesejahteraan yang lebih merata," katanya.

PAN didirikan 23 Agustus 1998 oleh aktivis gerakan pro-demokrasi yang ikut menumbangkan rezim Orde Baru. Para pendiri itu antara lain Amien Rais, Goenawan Mohamad, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, Faisal Basri, A.M. Fatwa, Zoemrotin, serta Alvin Lie Ling Piao.

Dukungan GM ke Jokowi tidak pasif tapi aktif. Bahkan GM menyediakan padepokan Komunitas Salihara untuk pesta bertitel rangkaian acara "7 Hari untuk Kemenangan Rakyat" dalam rangka  mengawal hasil hitung resmi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum pada Senin, 22 Juli 2014.

Acara itu akan menampilkan tujuh vokalis Indonesia, yaitu Nina Tamam, Dira Sugandi, Lea Simanjuntak, Bonita, Monita Tahalea, Sashi Gandrum, dan Bernadeta Astari. Pada hari-hari sebelumnya telah muncul tujuh penulis, tujuh gitaris, tujuh rapper, tujuh pianis, dan tujuh stand-up comedian.

Acara dimulai pukul 20.30 WIB dan dihadiri puluhan artis dan musisi Indonesia. Tak hanya menampilkan seni musik, terdapat juga seni rupa berupa mural yang malam itu digambar oleh Shagini Ratnawulan. 

Kemeriahan juga tampak tatkala para penonton yang hadir di Teater Salihara bersama-sama mendengarkan keputusan KPU yang menetapkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Sontak seluruh yang hadir bersorak gembira atas hasil kemenangan yang telah diraih oleh pasangan Jokowi –Jusuf Kalla yang sempat hadir di acara itu.

Pada pilpres 2019 GM makin fanatik terhadap jagonya, Jokowi, yang kala itu berpasangan dengan Ma’ruf Amin melawan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno. Jokowi akhirnya menang lagi. 

Selama sembilan tahun GM mendukung total, membabi buta terhadap Jokowi. GM tak bersuara, meski Jokowi banyak membuat keputusan kontroversi. Seperti ikut melemahkan KPK dengan tidak mengambil sikap atas revisi UU KPK yang mengebiri kewenangan KPK sebagai komisi antirasuah independen.

GM baru siuman, tersadar setelah Gibran Rakabuming Raka anak sulung Jokowi melenggang jadi cawapres Prabowo melalui keputusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap cacat hukum.  

Kini, GM berbalik mengecam Jokowi. Merasa dibodohi. Bahkan GM mengaku sedih dan menangis saat diwawancarai Rosi Silalahi di Kompas TV (2/11/2023). Tapi, tak sedikit pihak yang menilai tangisan GM hanya gimmick politik di tahun politik. Memanfaatkan momentum keputusan MK yang memberi karpet merah Gibran melenggang jadi cawapres Prabowo.  

GM menilai Jokowi ingin berkuasa tiga periode lewat anaknya Gibran yang dicangkokkan ke Prabowo.

Tapi, banyak juga yang menilai kemarahan GM kepada Jokowi karena mendukung Prabowo di pilpres 2024. Sudah jadi rahasia umum antara GM-Prabowo tidak pernah akur.

DIPICU NIAT PRABOWO AMBIL ALIH TEMPO

LIMA hari pasca Tempo dibredel 21 Juni 1984, terjadi manuver di belakang layar, baik oleh pemerintah maupun orang Tempo. Goenawan Mohamad (GM) mendengar ada tawaran untuk ‘’menyelamatkan’’ Tempo. Tawaran itu datang dari Kolonel Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto.

Tawaran itu berawal di Hotel Hilton ketika GM dan istrinya menghadiri pesta pernikahan. Teman teman GM di Tempo juga hadir dalam resepsi itu. Antara lain, Fikri Jufri dan Susanto Pudjomartono yang kemudian dikenal sebagai Pimred The Jakarta Post.

Setelah resepsi itu mereka memutuskan makan malam di Restoran Taman Sari. Dalam perjalanan keluar mereka bertemu Pemimpin Umum Tempo Eric Samola, yang baru saja selesai rapat di Lagoon Tower, bagian lain Hotel Hilton.

Rapat diprakarsai Hashim Djojohadikusumo atas permintaan saudara lelakinya: Kolonel Prabowo Subianto. 

Hasyim mengundang Eric Samola, Harjoko Trisnadi dan Wakil Direktur Tempo Mahtum Mastoem untuk mendengarkan tawaran Prabowo.

Setelah pertemuan yang tidak sengaja di lobi Hotel Hilton, mereka mengadakan pertemuan tengah malam di rumah GM. Semua Direktur PT Grafiti Pers hadir di dalam pertemuan kedua itu, kecuali Fikri Jufri. 

‘’Kami pura pura pulang ke rumah masing masing, tetapi kemudian saling menelpon satu sama lain ,’’ kata GM. 

‘’Kami tidak ingin membuat Fikri panik.’’

Tawaran Hasyim,  Tempo bisa terbit kembali disertai beberapa syarat.  Kata GM, ’’Tempo bisa terbit lagi di dalam nama yang sama, yang biasanya tidak pernah terjadi. Tetapi ada dua syarat. Pertama, mereka punya hak untuk menentukan siapa orang yang duduk dalam dewan redaksi, dan kedua diberi kesempatan sebagai pihak pertama yang membeli saham Tempo jika dijual.’’

‘’Jelas mereka tidak mengerti hukum pers,’’ kata GM. ‘’Mereka ingin mengontrol Tempo,’’ kata GM seperti dikutip dalam buku ‘’Wars Within, Pergualatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru’’ karya Janet Steele.

Hashim memberi tenggat waktu sampai pukul 08.00 esok harinya, dan subuh pukul 04.00 pagi mereka sudah memberi jawaban. 

Keputusannya; tawaran itu mereka tolak.

Apakah terjadi debat dalam diskusi itu?

‘’Tidak!’’  kata GM. ’’Saya tegas sekali saat itu. Saya sadar. Saya harus melawan pemerintah.’’

Tapi, mengapa Eric Samola, Wakil Ciputra dalam dewan direksi Tempo ikut menolak tawaran itu?  

GM mengaku tidak mengerti. ‘’Mengejutkan sekali,’’ kata GM. ‘’Bagi saya, malam itu Eric adalah pahlawan.’’

Prabowo tidak menyerah. Menurut GM, setelah pertemuan dengan Hashim gagal, Prabowo memberikan tawaran secara rahasia kepada Direktur Tempo Yusril Djalinus. Idenya, Yusril akan menggantikan Fikri Jufri sebagai Pimred di majalah baru. Tapi, Yusril menolak dibeli. ‘’Ia orang yang punya integritas,’’ ujar GM.

Amran Nasution, mantan penanggungjawab rubrik nasional Tempo yang dikenal dekat Prabowo, menjadi bidan upaya kedua pembelian Tempo. 

Menurut Agus Basri, mantan Redpel Tempo, di tengah tengah negosiasi, Prabowo memanggil Amran dan membatalkan semua tawaran. 

Kenapa? 

‘’Karena Pak Harto tidak boleh, nanti dianggap keluarga Cendana ikut campur masalah Tempo. Nanti orang menuduh keluarga Cendana mengambil alih Tempo.’’

Taktik pemerintah berubah. Kini, Bob Hasan teman dekat Soeharto yang bermain. Tak lama kemudian lahirlah majalah Gatra. Di mana banyak orang eks Tempo bergabung ke majalah yang didirikan Bob Hasan bersama Ciputra itu.(BERSAMBUNG)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda