Sinopsis Buku tentang Tiga Capres RI (8)

Apakah Jokowi Akan Senasib dengan Arifin Panigoro Dkk?

Pasang surut hubungan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah Jokowi akan senasib dengan Arifin Panigoro Dkk? (FOTO: ANTARA/ Puspa Perwitasari - cnnindonesia.com)

COWASJP.COM – Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan 2005-2010, Pramono Anung bercerita sosok Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sangat menjunjung tinggi marwah konstitusi. 

Itu selalu diajarkan kepada kader-kadernya saat berada di dalam maupun di luar pemerintahan. "Di luar kekuasaan ataupun di dalam kekuasaan Bu Mega selalu mengajarkan taat terhadap konstitusi," ujar Pramono dalam acara "Sikap Hidup Merawat Pertiwi", Minggu (23/1/2022). 

Pramono mencontohkan salah satu peristiwa ketika kader PDI Perjuangan akan melakukan interupsi saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pidato kenegaraan. 

Menurut dia, Megawati tak segan-segan memecat kader yang akan memotong pidato seorang presiden. Sebab, Mega sangat menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi dalam bernegara. 

"Bahkan pernah kejadian di tahun 2005-2006, teman-teman itu akan melakukan interupsi di sidang 17 Agustus-an, pada saat presiden menyampaikan nota keuangan," papar Pramono. 

Mendengar hal itu, Ibu Mega marah sekali, dan memberikan perintah, ‘Siapapun yang melakukan interupsi kepada presiden (baca SBY) saya akan pecat saat itu juga'," ancam Mega saat itu. 

Menurut Sekretaris Kabinet Presiden Joko Widodo ini, Megawati juga sangat menghargai perbedaan pendapat. Namun, bagi putri proklamator itu, perbedaan pendapat tetap harus taat, patuh dan tunduk pada konstitusi. Lebih jauh, Pramono mengklaim bahwa PDI Perjuangan memiliki sikap jelas sebagai partai politik. 

Menurut dia, sebagai partai besar yang pernah mengalami posisi di dalam maupun di luar pemerintahan, partainya selalu memiliki sikap tegas untuk kemajuan negara. 

"Kita partai yang kelaminnya jelas, mau jadi oposisi, oposisi betulan, ya mau jadi bagian dari pemerintah ya kita support betulan," ucapnya. 

MEGA ITU JENAKA

Alkisah, kata sutradara terkenal Garin Nugroho, ketika merayakan ulang tahunnya ke 75 di Semarang, Jateng, Mega naik becak. Sang pengemudi becak, berperawakan pendek dan kurus. Sementara becak di Semarang besar dan tinggi. 

Ketika mengayuh becak, kaki tukang becak hanya bisa menyentuh pedal pengayuh. Sementara suasana hiruk pikuk massa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan menyambut Mega dengan pekik “merdeka”. Pekikan begitu membahana. 
Bapak tukang becak yang simpatisan PDI Perjuangan ikut mengacungkan tangan ke atas seraya berteriak “merdeka, merdeka”, berganti tangan kanan dan kiri, melepaskan kemudi sambil terus mengayuh becaknya. 

Alhasil, becak yang ditumpangi Megawati berjalan zig zag, serong ke kanan dan ke kiri, seperti becak mabuk. Megawati minta sang pengemudi becak tidak usah mengacungkan tangannya dan melepaskan kemudi becaknya. 

Tapi si tukang becak malah menegur dan menasehati Megawati tentang semangat kemerdekaan ala Bung Karno, sambil terus mengayuh becaknya. Tak lupa dia terus  mengacung-acungkan tangan ke atas dan berteriak “merdeka, merdeka”. 

Becak terus melaju serong kanan-kiri. Megawati panik dan ketakutan. Hal ini dikisahkan kepada Garin ketika Megawati menjabat Wakil Presiden RI. Ini sisi humanis Mega. Garin menulis “Megawati itu lucu”, justru untuk mencoba dengan sederhana mengurai kekuatan Megawati. “Yakni sejak kecil Megawati di Istana Kepresidenan dalam menghadapi berbagai konflik yang kejam serta rumit, pastilah menjadi guru terbesar serta energi terbesar survival Megawati dalam beragam konflik termasuk di era Bangsa Indonesia,” kata Garin. 

Kata Garin, cara “serba diam” Megawati dan hanya sesekali pidato dengan statement pribadi juga menjadi ciri yang Garin sebut sebagai “kepemimpinan misteri”. 

“Megawati punya insting politik bercampur antara warisan keluarga dan pengalaman pribadi yang menjadi kecerdasan politik instingtif yang tidak dipunyainya orang lain, dan tidak diajarkan di kampus-kampus.” 

Dalam drama-drama politik besar dialami Megawati, bisa terbaca kecerdasan instingtif itu yang menjadi daya hidup Megawati dan PDI Perjuangan saat ini. “Simak, sikap diam dan kadang terkesan mengurung diri, namun kemudian melakukan keputusan yang jitu, dalam momentum tertentu. Ambil contoh keputusan memilih Jokowi sebagai kandidat presiden (2014)," demikian kata Garin yang belum lama ini meluncurkan film barunya “Sepeda Presiden”. 

SAYANG TANAMAN

Menurut Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto, Megawati pernah coba menggunakan benda seperti gips untuk diikatkan pada tanaman yang patah dahannya. Tujuannya, agar  tanaman terus hidup. 

"Jadi saya pernah ditunjukkan Ibu Megawati. Ada tanaman kesukaannya tiba-tiba patah dahannya. Demi rasa cintanya, beliau sepertinya berdialog dengan tanaman itu dan kemudian ibu Mega mencari semacam gips untuk menyambung tanaman itu. Betul-betul beliau cintai dan diikat dan diberikan gibs agar tanaman tersambung kembali," kata Hasto di perayaan ulang tahun Megawati, di Bali, (23/1/2022). 

Selain cinta tanaman, Megawati juga menghindari penggunaan botol-botol plastik. Jika Megawati menemukan botol-botol bekas, ia akan mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai tempat menanam tanaman. Tujuannya, agar botol-botol bekas itu tak berakhir di laut. "Kalau hari ini di meja kita ada minuman, maka Bu Mega tidak ingin laut sebagai tempat pembuangan sampah raksasa. Bu Mega menggunakan botol minuman yang tidak dipakai," jelasnya. 

"Ketika Ibu Mega menanam tanaman saat musim kemarau, ini (botol bekas) diisi air, diisi sumbu kompor, lalu dililitkan, betul-betul dapat membantu pohon itu," tambahnya. 

SUKA DUDUK DI KOKPIT

Agus Sudarya, pilot kepresidenan menceritakan, kebiasaan Megawati ketika masih menjabat sebagai Wakil Presiden maupun saat sebagai Presiden, yakni suka duduk di kokpit.
"Pada saat terbang di ketinggian 1.500, Ibu (Megawati) selalu duduk di kokpit. Sama seperti ayahnya, Bung Karno juga suka di kokpit," kata Agus.

Agus menerangkan, pesawat yang kerap digunakan adalah Hercules A-1341 dan C 130. Menurut Agus, selama bertahun-tahun Megawati duduk di kokpit, sosok Presiden Indonesia ke-5 itu, memerhatikan bagaimana co-pilot bekerja.

Terbukti, saat ada penerbangan kenegaraan dengan rute Jakarta- Bali dan Bali-Madiun. Saat rute Bali-Madiun, Megawati yang duduk di belakang pilot meminta untuk duduk di kursi co-pilot. Megawati memahami bagaimana fasih berkomunikasi dengan pemandu lalu lintas udara.

"Saat Bu Megawati komunikasi, ternyata seluruh maskapai kaget karena ada suara co-pilot perempuan," kataya.
Menurut Agus, pilot-pilot lain terkejut lantaran suara itu adalah Presiden ke-5 Indonesia Megawati Soekarnoputri. 

"Karena itu mereka meneriakkan: merdeka, merdeka, merdeka!" seru Agus. 

KILAS BALIK KONFLIK INTERNAL PDIP

KONFLIK internal PDI yang kemudian berubah menjadi PDI Perjuangan sejak 2009 timbul tenggelam, silih berganti  seiring dinamika perjalanan partai. 

Mungkin orang hanya mengingat konflik PDI dipicu duo kepemimpinan PDI versi Megawati dan Soerjadi tahun 1996.

Pendukung kubu Mega mengamankan kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta setelah rezim orba merekayasa naiknya kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI versi Kongres Medan.

Mega yang terpilih secara de facto dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PDI 1993 di Surabaya lalu dikuatkan dalam Munas PDI di Jakarta, menolak untuk mengakui kepemimpinan Soerjadi. 

Akhirnya pendukung Soerjadi di-back-up aparat mengambil paksa kantor PDI. Bentrokan tak terhindarkan yang memicu bara api kerusuhan besar di Jakarta. Komnas HAM mencatat sedikitnya lima korban tewas, ratusan luka akibat bentrokan masa pendukung Mega versus pendukung Soerjadi.

PENGURUS YANG MELAWAN MEGA, AKAN TERSINGKIR

Mungkin kisruh internal PDI yang dipicu duo kepemimpinan Mega versus Soerjadi paling diingat orang. Padahal, setelah PDI berubah menjadi PDI Perjuangan tahun 1999 di mana Megawati menjadi Ketua Umum-nya hingga saat ini, kerap muncul geseken, gejolak percikan internal sekelompok pengurus, individu yang tidak puas atas kepemimpinan Megawati. 

Namun semua yang coba melawan Mega akhirnya kandas. Tersingkir, dipecat atau hengkang ke parpol lain karena gagal mengkritisi, mendongkel, kepemimpinan Mega. 

Sebaliknya, Mega ke belakang kian kuat, mencengkeram PDIP. Positifnya, selama PDIP di bawah kepemimpinan Mega relatif stabil, tidak bergejolak seperti parpol lainnya. 

Minusnya belum ada kader yang kuat, berwibawa, dan berkharisma yang bisa menggantikan posisi Mega. Termasuk anaknya Puan Maharani yang dianggap belum layak menggantikan ibunya.

Berikut beberapa gerakan internal PDIP baik individu, kelompok yang coba berupaya mengurangi, menggembosi, bahkan mengganti Megawati dari posisi Ketua Umum PDI P. Tapi, semua itu berakhir kegagalan. Mereka akhirnya terdepak atau dipecat dari PDIP.

Individu, kelompok  yang coba ingin menandingi Megawati kali pertama muncul dalam arena Kongres I PDIP di Hotel Patra Jasa Semarang tahun 2000. Menjelang kongres, pengurus DPP PDIP Dimyati Hartono dan Eros Djarot berinisiatif maju mencalonkan diri sebagai Sekjen atau Ketua Umum. Namun, inisiatif itu dianggap berbahaya karena ingin menggeser Megawati dari kursi Ketua Umum PDIP. 

Pengurus PDIP yang umumnya loyalis Mega menolak. Bahkan Dimyati maupun Eros kabarnya tidak bisa memasuki arena kongres. Pada akhirnya, Dimyati Hartono dan Eros Djarot yang kecewa keluar,  undur diri dari partai. 
Eros Djarot sendiri bukan orang asing bagi keluarga besar Bung Karno. Eros cukup dekat dengan semua anggota keluarga Bung Karno. Tidak hanya Mega, terlebih Ibu Fatmawati, ibunda Megawati. Bahkan Eros menganggap perempuan kelahiran Bengkulu itu sebagai ibunya sendiri. Eros bahkan pernah tinggal lama di rumah keluarga Bung Karno. 

‘’Lagu Badai Pasti Berlalu itu muncul, tercipta, terinspirasi di rumah Ibu Fatmawati,’’ kata Eros Djarot kepada Azizzah Anum seperti dikutip di  Podcast Liputan6.com

Saking dekatnya Eros dengan Ibu Fatmawati, suatu ketika Eros pernah berseloroh namanya (Eros Djarot) ditambahi Eros Djarot Soekarnopu. ‘’Tidak pakai Tra juga tidak papa,’’ guraunya. 
‘’Saking dekatnya saya dengan Ibu Fatmawati, makanya saya dipercaya mengelola Yayasan Fatmawati,’’ ujar Eros.

Selain budayawan, Eros  juga dikenal sebagai pendiri Tabloid DeTIK yang melegenda itu.  Hanya dalam tempo 15 bulan, oplah DeTIK tembus 600 ribu eksemplar. Sesuatu yang luar biasa saat itu. 

Sayang DeTIK tdak berumur panjang. April 1994 tabloid DeTIK bersama majalah Tempo dan Editor dibredel rezim Soeharto. 

Saat media yang dipimpinnya berada di puncak itulah Fatmawati minta Eros mendampingi Megawati yang berencana maju menjadi ketua umum PDI. ‘‘Eros kau dampingi Adis (sapaan Mega). Dia akan maju jadi ketua umum,’’ pinta Fatmawati.

‘’Sudah lah Bu. Tidak usah saya, kan ada Mas Tok (Guntur Soekarnoputra),’’ elak Eros.

‘’Ndak lah. Kau saja yang dampingi,’’ pinta Fatmawati.

Eros pun tak kuasa menolak permintaan Fatmawati. Sejak itu, Eros mendampingi Mega ke mana pun. Juga memoles citranya dan banyak berdiskusi dengan Mega.

Saat itu hubungan Mega dan Gus Dur sangat dekat. Di mana setiap ketemu selalu ada Eros Djarot. Eros jadi semacam jembatan atau penghubung antara Gus Dur dan Mega. Juga tokoh lainnya.

Eros juga kerap mendampingi Mega berziarah ke makam bapaknya Bung Karno di Blitar bersama sejumlah kecil aktivis, wartawan yang dekat Eros dan Mega. Saat itu kadang melewati jalan setapak. Gelap pula. Kiri kanan masih sawah. Maka, Mega yang punya badan lumayan (gemuk) terpaksa digandeng. Sebab, kalau sampai terperosok ke sawah bisa bahaya. ‘’Gitu itu isunya langsung menyebar. Bengi bengi (malam malam) Eros pacaran. Gendheng nggak itu,’’ ujar Erios tergelak.
 
Isu Eros ‘’pacaran’’ sama Mega bahkan menyebar sampai kepada telinga almarhum Taufik Kiemas suami Mega. ’’Saya bisa paham. Suami mana yang tidak ‘’curiga’ istrinya sering berpergian, bersamaan laki laki lain. Tapi, saya kenal betul Mas Taufik Kiemas. Itu hanya kerjaan orang orang panjang lidahnya (baca: pembisik). Itu dipakai untuk menjauhkan saya dengan Mega,’’ jelas Eros.

Secara pribadi hubungan Eros dengan Kiemas baik baik saja. Tidak ada masalah, tapi oknum sekitar almarhum yang panjang lidahnya untuk terus membesar besarkan perbedaan sikap. Kiemas pragmagtis, Eros seorang idealis. Akhirnya, hubungan renggang.

Padahal, sebelumnya hubungan baik Eros dengan Kiemas tidak ada masalah. Saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI tahun 1999 dan Megawati Wapresnya, Eros bersama Emha Ainun Nadjib dan sejumlah tokoh politik rapat, bertemu guna membahas draf nama nama menteri Kabinet Gus Dur-Mega di rumah Eros.

Tapi, nama Mas Eros kok tidak masuk daftar menteri? 

‘’Kita ini hanya kawan. Tugas seniman itu mengawal, mencerahkan perjalanan bangsa ini. Makanya, jadi seniman tidak perlu minder. Kita (seniman) berada di urutan nomor empat. Pertama Allah, Tuhan. Lalu malaikat. Ketiga para nabi. Keempat baru seniman. Kalau politisi itu urutannya nomor 17. Jadi, kita lebih tinggi daripada politisi. Jadi, nggak perlu kecil hati,’’ kelakar Eros.

Soal pencalonan dirinya jadi kandidat ketua umum PDIP dalam Kongres di Semarang, Jateng, Eros bercerita: Saat itu posisi  Mega menjadi wapres mendampingi Gus Dur.
Mega pun mendorong Eros agar mau maju dalam pemilihan calon ketua umum baru PDIP. Dengan kata lain, Mega saat itu ingin PDIP tumbuh menjadi partai modern yang tidak tergantung pada satu figur semata. 

Tapi, Eros emoh karena masih ada kader lebih senior. ‘’Kan ada Mbah Tarjo (Soetarjo Soerjoguritno), ada Pak Dimyati (Dimyati Hartono) dan Mas Laksamana Sukardi. Kenapa tidak mereka saja,’’ kilah Eros.

eros.jpgErros Djarot. (FOTO: ANTARA - jpnn.com)

‘’Ora ora (tidak tidak), kowe wae (kamu saja). Kamu sekarang waktunya muncul. Jangan hanya di belakang layar saja,’’ pinta Mega serius.

Permintaan itu dilakukan Mega sampai tiga kali agar Eros bersedia jadi ketua umum PDI P. Baru yang ketiga Eros menjawab: ‘’Kalau  ini penugasan, saya siap,’’ aku Eros.

"Sebenarnya upaya ini juga untuk menjadikan dia (Mega) sebagai simbol ibu bangsa, bukan sekedar simbol PDIP," kata Eros.

Eros pun melakukan sosialisasi, berkampanye, menemui, mendatangi kantong kantong kader PDIP untuk menjelaskan bagaimana visi PDIP ke depan dan seterusnya.

Eros masih ingat benar saat enak enaknya melakukan sosialisasi, menjelaskan visi PDIP ke depan di Jogjakarta, tiba tiba orang dekatnya, sekretarisnya dari belakang memberi aba aba, kode dengan menyilangkan kedua tangannya, agar Eros menghentikan pidatonya. 

‘’Saya juga bingung. Ada apa ini?’’ guman Eros.

Sekretarisnya lalu mendekati Eros dengan memberikan secarik kertas bertuliskan. ’’Megawati menerima kembali pencalonannya sebagai Ketua Umum PDI P.’’

Eros kaget bukan kepalang. Mengapa? Karena sebelumnya Mega tidak mau menjadi ketua umum PDIP. Makanya, Mega mendorong Eros maju. Eh.. kok tiba tiba Mega berubah pikiran. Maju lagi. 

Detik itu juga Eros langsung telepon Mega untuk melakukan protes keras. ‘’Apa apan ini Mbak..bla bla…,’’ protes Eros.

‘’Itu Gus Dur yang minta saya (menerima kembali pencalonan sebagai ketua Umum PDI P),’’ jelas Mega.

‘’Lo gimana sih Mbak? Ini sosialisasi sudah jalan.Terus bagaimana kelanjutannya?’’ tanya Eros.

Mega dengan enteng menukas. ‘’Ya..kalau gitu kamu mundur saja dari pencalonan,’’ pinta Mega.

Tapi, di luar dugaan Eros tidak begitu saja menerima saran Mega. 
‘’Wah..tidak bisa begitu. Saya akan tetap maju sebagai calon ketua umum PDI P.’’ jawab Eros. 
  
Salah satu pertimbangannya tidak mungkin dirinya bisa mengalahkan Mega. Tidak mungkin menang lawan Mega karena semua kader dan pengurus umumnya sangat loyal ke Mega. ‘’Jadi, Mbak Mega tetap aman,’’ jelas Eros.  

Dan terbukti, pengurus dan kader PDIP secara aklamasi memilih kembali Mega sebagai Ketua Umum PDIP.

Sejak itu hubungan Eros dan Mega renggang. Ditambah adanya oknum orang sekitar Mega yang lidahnya panjang. Semacam pembisik yang sengaja menciptakan isu, untuk merenggangkan hubungan Eros dengan Mega hingga retak. 
Setelah itu Eros memilih menjauh dari PDIP dan Mega. Tak lama Eros  memilih mendirikan partai sendiri.

MUNCUL GERAKAN PEMBAHARUAN, TAPI LAYU SEBELUM BERKEMBANG

Gejolak sama juga muncul pada Kongres II PDIP di Bali tahun 2005. Biasanya pada kongres sebelumnya hanya muncul nama tunggal Megawati sebagai calon ketua umum. Tapi, pada Kongres II PDIP di Bali pada 2005 itu berbeda. 
Menjelang pelaksanaan kongres, muncul Gerakan Pembaharuan di internal PDI Perjuangan. 

Pemicunya terjadi perbedaan tajam dalam penentuan metode sistem demokratis yang berlaku di partai. 
Sekelompok orang, termasuk di dalamnya Arifin Panigoro, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis dan tokoh PDIP lainnya  mengambil pandangan berbeda dari sikap mainstream umumnya pengurus PDI P. 

Apa itu? 

Mereka menilai walaupun PDI-P partai politik modern, namun masih menggunakan metode lama atau cara cara otoriter. Seperti memberikan previlege atau hak istimewa berupa hak prerogatif  kepada ketua umum partai dan hanya memiliki satu kandidat untuk posisi-posisi senior. Yakni, Megawati. 

Di arena Kongres II Bali juga bermunculan beberapa kandidat calon ketua umum. Antara lain, Arifin Panigoro, Roy BB Janis, Laksamana Sukardi, Sophan Sophiaan, dan Guruh Soekarnoputra. 

Namun dalam perjalanannya, kelima calon dari gerakan pembaharuan PDIP tersebut layu sebelum berkembang. Kalah sebelum berperang. Mereka mengundurkan diri dari bursa calon ketua umum PDIP. 

Megawati pun akhirnya menjadi calon tunggal dan terpilih kembali sebagai Ketua Umum PDIP. Mega terlalu kuat untuk dilawan. Dari gerakan pembaharuan ini lahirlah Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). 

Gagal mendongkel Mega dari posisi ketua umum  partai, Laksamana Sukardi dkk patah arang lalu hengkang dari PDIP. Mereka kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang mengambil sistem kepemimpinan kolektif dengan 35 orang dalam pimpinan kolektif nasional.

PDP bahkan tercatat sebagai salah satu parpol yang terdaftar dalam pemilu 2009 dengan nomor urut 16. Partai ini didirikan tahun 2005 oleh beberapa mantan anggota PDIP yang pernah dekat dengan Megawati Soekarnoputri. 

Pada proses seleksi partai politik peserta pemilu legistatif 2014 silam yang diselenggarakan KPU, Partai Demokrasi Pembaruan lolos dalam tahap verifikasi administrasi. Namun kemudian gagal dalam tahap verifikasi faktual.

Sayang, dalam perjalanannya, PDP terpecah menjadi dua kubu yang keduanya mengaku sebagai pimpinan partai yang sah. Yakni, kubu Laksamana Sukardi dan Roy B.B. Janis, di mana keduanya mengklaim sebagai pimpinan partai yang sah. 

Masing-masing kubu juga memiliki kantor dan situs web resminya sendiri.

Pengurus PDP versi Laksamana Sukardi:

Koordinator Pimpinan Kolektif Nasional:  Laksamana Sukardi 

Ketua Pelaksana Harian: Petrus Selestinus 

Sekretaris Pelaksana Harian: Robert Samosir 

Pengurus DPD versi Roy BB Janis:

Ketua Pelaksana Harian: Roy BB Janis 

Sekretaris Pelaksana Harian: Didi Supriyanto 

Koordinator Pimpinan Kolektif Nasional:  Postdam Hutasoit 

**

Kini suara PDP sayup sayup hilang tak terdengar lagi. Entah para pengurusnya melebur ke parpol lain. Atau mereka sudah pensiun dari kegiatan politik. Entahlah.

KISRUH PILGUB SAMPAI PILWAKOT

Kisruh internal PDIP juga terjadi pada Pilkada Gubernur Jateng 2013 silam. Wakil Gubernur Jawa Tengah waktu itu, Rustriningsih ingin naik kelas menggantikan Bibit Waluyo sebagai gubernur Jateng. Namun Megawati justru memberikan posisi itu ke Ganjar Pranowo. 

Rustri kecewa, sakit hati. Dia tak terima saat loyalitas, prestasi, dan popularitasnya dianggap seolah tak berarti lagi. Atas kekecewaan itu, pada Pilpres 2014 Rustri balik badan mendukung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang merupakan lawan jagonya PDIP, Jokowi-Jusuf Kalla.

Kisruh yang sama juga mencuat saat digelar Pilwalkot Surabaya 2020. Keputusan Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada figur nonpartai di Pilwalkot Surabaya 2020 menyulut gejolak di internal partai. PDIP memilih, mengusung birokrat Eri Cahyadi yang disorongkan eks walikota sebelumnya Tri Rismaharini menjadi calon wali kota Surabaya daripada kadernya, almarhum Whisnu Sakti Buana. 

Kecewa atas keputusan tersebut, sejumlah kader PDIP mendukung Machfud Arifin-Mujiaman, lawan Eri Cahyadi-Armuji. Meski begitu, pasangan yang diusung PDIP berhasil memenangkan Pilwalkot Surabaya. 

Kisruh serupa juga terjadi saat digelar Pilwakot Solo 2020. Itu bermula dari keinginan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri menjadi Wali Kota Solo.
Keinginan itu membuat friksi di internal PDIP. Sebab, pengurus cabang PDIP Solo telah sepakat mengusung Achmad Purnomo untuk meneruskan kepemimpinan FX Hadi Rudyatmo. 

Gibran yang telah bulat niatnya lalu mendaftar melalui DPD PDIP Jateng. Akhirnya Gibran dan Achmad Purnomo sama-sama diajukan menjadi bakal calon Wali Kota Solo ke pengurus pusat DPP PDIP di Jakarta. 

Dari hasil fit and proper test, DPP PDIP akhirnya memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakoso sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo. 
Gibran-Teguh menang telak atas pasangan independen Bagyo Wahyono-FX Suparjo dengan memperoleh 90,4% suara. Sementara Bagyo-Suparjo hanya mendapatkan 9,5% suara

MUNCUL DUA MATAHARI KEMBAR

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga melihat kunjungan kader PDIP Budiman Sudjatmiko ke kediaman Prabowo Subianto tidak sekadar kunjungan. 

Menurutnya kunjungan itu menyiratkan dukungan bagi Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Dan, di kemudian hari terbukti benar.

"Kader PDIP yang secara tersirat mendukung Prabowo Subianto kian bertambah. Sebelumnya dukungan itu dinyatakan Effendi Simbolon anggota DPR dari PDIP, sekarang giliran Budiman Sudjatmiko," kata Jamiluddin kepada wartawan, Kamis (20/7/2023).

Jamiluddin mengatakan, penegasan Budiman semakin menguatkan adanya perpecahan di internal PDIP dalam mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. 

Menurutnya, kekinian kader senior PDIP makin berani menunjukkan sikap berbeda dengan capres yang diputuskan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Ia menduga kader PDIP secara terbuka memberikan sikap berbeda dengan Megawati disebabkan dua hal:

Pertama, sebagian kader senior sudah tidak lagi sepenuhnya mematuhi keputusan Megawati.
"Kelompok ini sudah dapat keluar dari belenggu superior Megawati. Karena itu, mereka dapat melihat keputusan Megawati lebih jernih dan kritis. Akibatnya, mereka tidak lagi mengaminkan semua keputusan Megawati, termasuk keputusan Ganjar Pranowo sebagai capres," tutur Jamiluddin.

Kedua, lantaran muncul matahari kembar di PDIP. Dua matahari tersebut Megawati dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Keberadaan matahari kembar itu mengakibatkan tingkat keloyalan kader terbelah. Ada yang loyal ke Megawati, tetapi ada pula sebagian yang loyal ke Jokowi.

"Bisa jadi, kader PDIP yang tidak mendukung Ganjar lebih loyal ke Jokowi. Mereka lebih menunggu arahan Jokowi daripada mengikuti keputusan Megawati," kata Jamiluddin.

Nantinya, keberadaan matahari kembar itu bukan tidak mungkin melemahkan kepemimpinan Megawati di PDIP.

"Sebagian kader PDIP tidak lagi tegak lurus pada keputusan Megawati. Akibatnya mesin partai tidak maksimal mengamankan keputusan Megawati," kata Jamiluddin.

"Kalau hal itu benar terjadi, maka peluang Ganjar menang pada Pilpres 2024 akan kecil. Keinginan PDIP hattrick bisa jadi hanya tinggal mimpi," sambungnya.

Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC), Khoirul Umam melihat ada indikasi perpecahan di internal PDI Perjuangan, menyusul kunjungan Budiman Sudjatmiko ke kediaman Prabowo Subianto.

Menurutnya kedatangan Budiman Selasa (18/7/2023) ke Kertanegara itu mengindikasikan kian terpecahnya barisan internal PDIP yang tengah mengusung Ganjar Pranowo.

"Di saat yang sama, statement Budiman yang menggarisbawahi tentang pentingnya pemimpin militer, senior dan berpengalaman menghadapi ketidakpastian global, juga menyiratkan secara jelas dukungan politiknya pada pencapresan Prabowo di Pilpres 2024 mendatang," tutur Umam dalam keterangannya, Kamis (20/7/2023).

Umam mengatakan, manuver Budiman berkunjung ke Ketua Umum Partai Gerindra tampaknya betul-betul di luar kontrol PDIP.
Umam memandang Budiman melakukan manuver sebagai reaksi atas upaya pihak-pihak tertentu di internal PDIP yang coba meminggirkan peran Budiman di PDIP.

"Hal itu diindikasikan tidak diberikannya posisi pencalegan yang layak bagi Budiman, dan dirinya juga tidak dilibatkan dalam tim pemenangan pencapresan Ganjar Pranowo. Karena itu, Budiman merasa tidak punya beban dan memilih untuk menjadi 'partikel bebas' yang seolah tidak ingin didikte aturan organisasi konstitusi partai PDIP," kata Umam.

AKANKAH JOKOWI SENASIB DENGAN ARIFIN PANIGORO DKK?

SEJARAH menunjukkan Megawati begitu superior, kuat, kokoh dalam mencengkeram PDIP. Siapa pun yang merasa pintar, populer, punya pendukung di internal PDIP yang coba  menggoyang, beroposisi, mengkritik, apalagi menyingkirkan dan mengkudeta posisi Megawati dari Ketua Umum PDI P hampir dipastikan gagal. 

Pada akhirnya  individu, kelompok yang berseberangan dengan Megawati akan tersingkir, keluar baik baik  atau menunggu dipecat. 

Eros Djarot dikenal sangat dekat dengan mendiang Fatmawati, Ibunda Megawati. Bahkan Eros lah orang yang menemani Mega di awal awal meniti karir politiknya. Eros kerap menemani Mega berziarah ke makam bapaknya Bung Karno di Blitar. 

Pendek kata Eros begitu dekat dengan Mega. Sampai sampai dirumorkan ’pacaran’. ‘’Gendeng (gila) nggak itu,’’ ujar Eros.

Tapi, begitu Eros coba maju sebagai calon Ketua Umum PDI di Kongres I PDI P di Semarang tahun 2000, itu pun versi Eros, karena yang memerintahkan dirinya maju adalah Mega. Meski kemudian yang bersangkutan (Mega) berubah pikiran. 

Kontan loyalis Mega menolak Eros menjadi calon ketua umum, karena dianggap bisa membahayakan posisi Mega. 

Eros pun akhirnya tersingkir, disingkirkan dan mencelat dari PDIP.

Begitu juga nasib Laksamana Sukardi. Pria tinggi besar yang juga seorang ekonom ini bersama sejawatnya Kwik Kian Gie setia menemani Mega di masa masa sulit dan awal Mega membangun PDI P. Laksamana maupun Kwik selalu  berada di samping Mega di setiap kesempatan. Baik acara partai maupun lainnya.

arifin.jpgArifin Panigoro yang dijuluki Indonesian Oil King. (FOTO: convex.ipa.or.id)

Begitu juga Roy BB Janis mantan Ketua DPD PDI P DKI Jakarta begitu aktif, dekat dengan Mega  saat awal awal membangun PDIP. 

Penulis kebetulan ngepos, ditugaskan Jawa Pos institusi penulis untuk meliput segala kegiatan PDIP.

Saat itu penulis melihat, menyaksikan sendiri begitu aktifnya DPD PDIP Jakarta dibawah Roy BB Janis dalam mempopulerkan, mengkampanyekan  PDIP bersama Megawati ke masyarakat menjelang pemilu 1999. 

Hampir tidak ada acara digelar PDIP baik tingkat Jakarta maupun nasional yang tidak melibatkan Roy BB Janis. 

Roy saat itu begitu aktif dan dekat dengan Mega.

Namun begitu Laksamana Sukardi maupun Roy B Janis terlibat Gerakan Pembaharuan di internal PDIP yang ingin menggeser peran Megawati dari pucuk pimpinan partai banteng gemuk dengan moncong putih. Nasib keduanya langsung  terjerembab. Hilang dari peredaran PDI P.

Begitu juga Arifin Panigoro yang mendukung Gerakan Pembaruan di internal PDIP langsung KO seperti rekannya Laksamana Sukardi dan Roy B Janis.

Kurang apa Arifin Panigoro. Selain konglomerat dengan uang tajir melintir, punya koneksi luas dalam politik dan jaringan pertemanan ITB. Punya  andil ikut merontokkan rezim Soeharto dengan mensuplai logistik makanan kepada massa, mahasiswa yang menduduki gedung DPR. 

Arifin juga nekat menggelar liga kompetisi nasional Liga Premer Indonesia (LPI) guna melawan hegemoni PSSI yang dinahkodai Nurdin Halid yang saat itu menggelar Liga Super Indonesia (LSI). Nurdin dikenal politisi Golkar.

Dengan seabreg kekayaan, jaringan bisnis menggurita, koneksi pertemanan luas dan pengalaman di DPR ternyata semua modal yang dimiliki Arifin tidak ngefek saat berhadapan dengan Mega. Puteri Bung karno itu begitu superior. Mega begitu mencengkeram PDIP hingga ke tulang rusuknya paling dalam.

Alih alih berhasil menggantikan, menggusur, mengkudeta Megawati dari kursi Ketua Umum  PDI P lewat Gerakan Pembaharuan yang diinisiasi Arifin Panigoro bersama pengurus PDI P Laksamana Sukardi, Roy BB Janis dan lainnya. Arifin Panigoro dkk malah tersingkir dari PDIP.

Menghadapi Mega, seakan-akan modal kekayaan, koneksi, pengalaman politik di DPR yang dimiliki Arifin seakan sirna. Tak berbekas.Tidak ada apa apanya dengan Mega yang begitu digdaya. 

Pada 2005, Arifin hengkang dari PDIP karena menyokong atau bagian kelompok Gerakan Pembaruan (GP) di internal PDIP. Gerakan ini menginginkan Megawati Soekarnoputri tidak lagi memimpin PDIP. Arifin lalu hengkang atau dipecat dari PDIP. Dia lalu mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan bersama eks PDI P lainnya Roy BB Janis, Laksamana Sukardi dkk.

Terbaru, eks anggota DPR dari PDIP yang juga mantan Ketua PRD Budiman Sudjatmiko merapat ke kubu Prabowo Subianto langsung di KO. Mendapat surat pemecatan dari PDIP karena dianggap mbalelo, tidak mendukung capres Ganjar Pranowo yang dideklarasikan Megawati pada 21 April 2023 di Istana Batutulis, Bogor. 

Akankah Joko Widodo yang menjabat presiden dua periode (2014-2019 dan  2019-2024) bernasib sama dengan Eros Djarot, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro dan tokoh yang berseberangan dengan Jokowi.

Sejarah kelak yang akan mencatat. Apakah Megawati tetap sakti, tak tergoyahkan cengkeramannya pada PDIP seperti keyakinan banyak orang selama ini. Siapa pun yang coba melawan Mega akan tumbang, terusir dari PDIP. Termasuk Joko Widodo, meski jabatannya presiden RI tapi oleh Mega hanya dianggap sebagai petugas partai.

Atau sebaliknya, Joko Widodo yang sulit ditebak langkah politiknya, bisa berkelit, terhindar nasib buruk seperti mereka mereka yang pernah coba melawan kepemimpinan Mega. Baik terang terangan maupun sembunyi, diam diam dengan berbagai tameng dan ungkapan satire. Sekali lagi, kelak sejarah yang mencatat.

SOEKARNO, PNI DAN SEJARAH PDI PERJUANGAN

PARTAI Nasional Indonesia (PNI) didirikan beberapa tokoh pergerakan, seperti Tjipto Mangunkusumo, Sartono, Iskaq Tjokrohadisuryo, dan Sunaryo. 

Selain itu, para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club (ASC) Bandung yang diketuai Soekarno juga bergabung bersama mendirikan PNI.
Lahirnya Partai Nasional Indonesia sebagai organisasi yang mengekspreksikan rasa nasionalisme Indonesia pada masa pra kemerdekaan. Kemudian pada 4 Juli 1927, Soekarno membentuk sebuah gerakan yang dinamakan Persatuan Nasional Indonesia. Lalu pada Mei 1928, ada perubahan nama menjadi Partai Nasional Indonesia. 

Tujuan organisasi ini untuk kemandirian ekonomi dan politik untuk kepulauan Indonesia. PNI sendiri dibentuk didasarkan pada gagasan menolak bekerja sama dengan penjajah pemerintah Hindia Belanda. 

Pemilihan 4 Juli sebagai tanggal berdirinya PNI bukanlah tanpa alasan. Dalam buku Mengabdi Republik karangan Adam Malik, disebutkan pemilihan tanggal 4 Juli sebagai tanggal berdirinya PNI terinspirasi dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776.
Pada akhir Desember 1929, PNI memiliki sebanyak 10.000 anggota.  Hal ini kemudian membuat penjajah Belanda khawatir. 

Belanda pun lalu cari alasan agar bisa menangkap para tokoh  PNI. Salah satu alasannya, PNI bersifat non-kooperatif terhadap Belanda yang membuatnya dicap organisasi radikal.  Sehingga tujuh pemimpin partai ditangkap pada 29 Desember 1929. Antara lain Soekarno, Maskun Sumadiredja, Gatot Mangkupraja, dan Soepriadinata.
 
Mereka ditangkap dan diadili karena dianggap mengancam ketertiban umum. Setelah ditangkap, para tokoh PNI menjalani proses pengadilan pada 18 Agustus 1930. Dalam proses pengadilan ini, Bung Karno menuliskan sebuah pledoi yang sangat monumental dan menjadi salah satu tonggak sejarah penting pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia berjudul: INDONESIA MENGGUGAT.

Setelah para tokoh PNI dijebloskan ke penjara, terjadi pergantian pimpinan PNI. Pimpinan PNI semula dijabat oleh Bung Karno diganti oleh Mr. Sartono. Sartono selanjutnya membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada 25 April 1931.
Meski memiliki tujuan sama dengan PNI, pembentukan Partindo dengan membubarkan PNI banyak ditentang tokoh-tokoh PNI, seperti Moh. Hatta. Bung Hatta tidak setuju pembubaran PNI dan akhirnya ia membentuk PNI-Baru bersama Soetan Sjahrir. 

Setelah berhasil dibebaskan dari penjara, Soekarno bergabung dengan Partindo.
Pada 1933, Soekarno kembali ditangkap Belanda lalu dibuang ke Ende, Flores, NTT, sampai tahun 1942. Selanjutnya, pada 1934, giliran Hatta dan Sjahrir yang ditangkap dan keduanya dibuang ke Bandaneira sampai tahun 1942. 

Meski begitu, Sartono tetap meneruskan perjuangan PNI dengan menjadikan Partindo sebagai partai massa. 
Adanya PNI Baru dan Partindo rupanya tetap dianggap sebagai organisasi berbahaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda. 

Hal ini membuat Soekarno kembali ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores pada 1933. Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir juga ikut diasingkan ke Banda Neira pada 1934.

PEMILU PERTAMA

Pada Pemilu pertama
tahun 1955 terdapat 260 jumlah kursi DPR dan 520 kursi untuk Konstituante. Ini masih ditambah dengan 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. 

Partai politik yang masuk dalam posisi 3 besar di DPR hasil Pemilu 1955 adalah: Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22,32 persen) dan 57 kursi parlemen. Masyumi dengan 7.903.886 suara (20,92 persen) dan 57 kursi. Nahdlatul Ulama (NU) dengan 6.955.141 suara (18,41 persen) dan 45 kursi. 

FUSI PARTAI

Kiprah PNI sebagai partai harus berakhir setelah rezim Orde Baru mengeluarkan aturan peleburan partai politik di Indonesia. Lahir lah 
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)  pada 10 Januari 1973. Partai politik berlambang kepala banteng di dalam segi lima itu gabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik. 

PDI kelak bertranformasi menjadi PDI Perjuangan (PDIP), lahir dari kebijakan rezim Orde Baru memaksa aliran politik nasionalis, Kristen dan Katolik, hingga sosialis (Murba) melebur menjadi satu partai. 

Fusi Partai Politik atau penyederhanaan (penggabungan) partai tahun 1973 merupakan kebijakan Presiden Soeharto. Tujuan fusi parpol menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. 
 
Munas Pertama PDI
usai digabungkan, PDI menyelenggarakan pertemuan pertama yakni musyawarah nasional (Munas) yang digelar pada 20-24 September 1973 di Jakarta. 

Meski demikian, tak ada hasil signifikan dicapai pada Munas ini. 
Bahkan, keinginan menggelar Kongres PDI yang pertama tak kunjung terlaksana dan terus tertunda akibat konflik internal tak kunjung usai.

Akhirnya, Kongres PDI bisa digelar pada 12-13 April 1976. Di dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat. Pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Susunan DPP hasil Kongres I pun disempurnakan atas kesepakatan antara MH Isnaeni dan Sunawar.

PERISTIWA KUDATULI

Sejak awal terbentuk, konflik internal PDI terus terjadi dan diperparah adanya intervensi pemerintah. PDI mulai terbelah pada saat kongres di Medan pada 1993. 

Duet Soerjadi-Nico Daryanto terpilih kembali membuat kelompok Budi Hardjono, disokong rezim Presiden Soeharto, berusaha menduduki arena kongres yang berakhir ricuh. 

Untuk menyelesaikan pertikaian, Kongres Luar Biasa PDI digelar di Surabaya, Desember 1993. Secara mengejutkan anak kedua dari Ir Soekarno, Megawati Soekarnoputri didorong menjadi ketua umum PDI. Peserta sangat antusias dan mendukung Megawati sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Soeharto. 

Sehingga pada Musyawarah Nasional (Munas) 22-23 Desember 1993 di Jakarta, Megawati Sukarnoputri dikukuhkan sebagai Ketum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI secara de jure.

Konflik internal PDI terus terjadi hingga diadakan Kongres pada 22-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan. Pada 20 Juni 1996 para pendukung Megawati Soekarnoputri melakukan unjuk rasa hingga bentrok dengan aparat.
 
Pada 15 Juli 1996 pemerintah Soeharto mengukuhkan Suryadi sebagai Ketum DPP PDI. Akhirnya 27 Juli 1996 pendukung Megawati menggelar Mimbar Demokrasi di halaman kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat.

Kemudian muncul rombongan berkaus merah kubu Suryadi, lalu terjadi bentrok dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Peristiwa tersebut dikenal Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau disingkat menjadi Peristiwa Kudatuli.

Setelah peristiwa tersebut, PDI di bawah pimpinan Suryadi hanya memperoleh 11 kursi DPR. Sebagai bentuk protes rezim Soeharto dan kepemimpinan Suryadi, pendukung Megawati diminta menyalurkan suaranya ke PPP lewat aksi terkenal Mega Bintang yang lahir di Solo.

Dipicu multi krisis pemerintahan Soeharto tumbang pada reformasi 1998. PDI di bawah pimpinan Megawati Sukarnoputri semakin kuat. Mega ditetapkan sebagai ketum DPP PDI periode 1998-2003 pada Kongres ke-V di Denpasar, Bali.

Megawati Soekarnoputri kemudian mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada 1 Februari 1999 agar dapat mengikuti pemilu 1999. PDI Perjuangan (PDIP) melakukan Kongres I pada 27 Maret-1 April 2000 di Hotel Patra Jasa, Semarang, Jawa Tengah. Kongres memutuskan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketum DPP PDIP periode 2000-2005.

Pada Kongres IV PDIP di Bali pada 8-12 April 2015, Megawati Sorkarnoputri kembali dikukuhkan sebagai Ketum PDIP periode 2015-2020. Hingga kini PDI Perjuangan berjaya di bawah Ketua Umum Megawati. 
 
DARI MOHAMMAD ISNAENI SAMPAI MEGAWATI

PDI yang didirikan 10 Januari 1973 adalah salah satu parpol paling tua. 

Partai berlambang kepala banteng di dalam segi lima itu gabungan lima partai. Yakni:  Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik. 

PNI didirikan Presiden Soekarno pada 4 Juli 1927. PDI telah bertransformasi menjadi PDI Perjuangan yang kini dipimpin putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri. Sejak didirikan, PDI mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan. Siapa saja mereka yang pernah memimpin PDI  atau PDIP. 

1. Mohammad Isnaeni pria kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 19 April 1919. Beliau  merupakan ketua umum pertama PDI. 

2. Mohamad Sanusi Hardjadinata Ketua umum kedua PDI ini kelahiran Garut, Jawa Barat, 24 Juni 1914. Gubernur Jawa Barat periode 1951 sampai 1957 ini merupakan lulusan H.I.S Pasundan dan Inheense Mulo. 

3. Sunawar Sukowati, pria kelahiran 6 September 1922, Solo, Jawa Tengah ini adalah ketua umum ketiga PDI periode 1981 - 1986. 

4. Soerjadi pria kelahiran 13 April 1939, Selur, Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur ini pernah menjadi Ketua Umum PDI periode 1986-1993 atau masa rezim Orde Baru.

5. Megawati Soekarnoputri wanita kelahiran Jogjakarta, 23 Januari 1947 ini merupakan Presiden ke-5 RI pada periode 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004. Dan, terus bertahan dalam setiap kongers PDIP lima tahunan. Hingga sampai sekarang Mega tetap menjadi Ketua PDI Perjuangan.

ANAK KOLONG PIMPIN PEMENANGAN GANJAR-MAHFUD

KETUA Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KASDIN) Mohammad Arsjad Rasjid Prabu Mangkuningrat atau biasa disapa Arsjad Rasjid terpilih sebagai Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. 
Keputusan itu diumumkan usai rapat para pimpinan partai politik pendukung capres Ganjar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) Senin, 4 September 2023. 

Rapat dihadiri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri; Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Mardiono, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang; dan Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo.

"Ketua TPN, Tim Pemenangan Nasional Pak Arsjad Rasjid tadi diputuskan. Pak Arsjad Rasyid kita tahu adalah figur yang bisa diterima semua pihak. Pintar, muda, gesit, pengetahuannya luas, dan juga network-nya  sangat luas," ujar Hary Tanoesoedibjo. 

Nantinya, Arsjad akan didampingi beberapa wakil ketua tim pemenangan. Salah satunya, mantan Panglima TNI Jenderal Purn. Andika Perkasa.

Ketua DPP PDIP Said Abdullah menyatakan, pemilihan Arsjad karena tiga alasan:

Pertama: Arsjad dinilai sebagai representasi dari kalangan pengusaha. 

Kedua, Arsjad dinilai merepresentasikan jiwa muda sekaligus pengalaman panjang baik secara akademik maupun jaringan. 

Ketiga, Arsjad juga dinilai berperan penting dalam menyukseskan berbagai program Presiden Jokowi.

"Sejalan agenda pembangunan Ganjar Pranowo adalah meneruskan fondasi pembangunan yang telah dibangun Presiden Jokowi," kata Said. Said menyatakan, Arsjad juga dinilai memiliki hubungan yang baik dengan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden mereka. 

Sebelum terjun ke dunia politik,  Arsjad Rasjid dikenal sebagai sosok pengusaha dan profesional. Arsjad menjabat sebagai Direktur Utama Indika Energy sejak 2005. 
Arsjad tercatat mulai bekerja di Indika Energy sejak 1996 atau saat pertama kali perusahaan didirikan. Perusahaan investasi terdiversifikasi yang berfokus pada pengembangan dan eksploitasi sumber daya alam, infrastruktur, dan berbagai sektor industri strategis lainnya.

Arsjad disebut berhasil membesarkan aset PT Indika Energy tujuh kali lipat dari Rp 2,78 triliun menjadi Rp 18,28 triliun dalam jangka waktu enam tahun. Yakni, pada periode tahun 2005 – 2011 melalui strategi akuisisi.

Sebelumnya Arsjad juga pernah menduduki kursi Wakil Direktur Utama sejak Mei 2014 sampai April 2016. Selain itu, dia menjabat sebagai Komisaris Utama PT Indika Infrastruktur Investindo sejak Juni 2020 dan PT Indika Multi Properti sejak Oktober 2019.

Ada banyak jabatan yang pernah diemban Arsjad Rasjid. Pada Juni 2020, dia juga menjabat sebagai Komisaris PT Indika Inti Corpindo, kemudian di PT Grab Teknologi Indonesia sejak 2020, Kideco sejak Februari 2017.

Dia bekerja di PT Indika Energy Infrastructure sejak Desember 2016 dan PT Rukun Raharja Tbk sejak Juni 2014. Selain itu, dia juga tercatat sebagai Ketua Yayasan Indika sejak Februari 2017.

Atas semua capaian bisnisnya nan cemerlang   selama ini, mengantarkan Arsjad dipercaya menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia periode 2021-2026. 

Profil dan pendidikan menurut laman pribadinya, arsjadrasjid.com, pemilik nama panjang Mohammad Arsjad Rasjid Prabu Mangkuningrat itu lahir di Jakarta pada 16 Maret 1970. 

Ia anak dari pasangan H. M. N. Rasjid seorang purnawirawan TNI dan Hj. Suniawati. Ayahnya berdarah Palembang sedangkan Ibunya berdarah Sunda-Tionghoa. Bisa dibilang Arjad Rasjid adalah anak kolong.

Apa itu anak kolong? 

Anak kolong menurut kamus besar Bahasa Indonesia dulu anak kolong adalah anak-anak serdadu bawahan, yang tidur di bawah kolong (tempat tidur ) karena sempitnya tangsi. 

Belakangan, semua anak tentara dianggap anak kolong, anak serdadu (yang lahir dan dibesarkan di tangsi pada zaman Hindia Belanda).

Anak kolong  dalam bahasa sehari-hari juga disematkan untuk anak tentara atau anak yang besar di tangsi tentara. Istilah ini telah dipakai sejak jaman penjajahan Belanda di Indonesia.

Asal usul istilah anak kolong ini dari keadaan tangsi anggota KNIL saat itu (jaman pra dan kemerdekaan) yang sangat memprihatinkan. Tentara yang sudah berkeluarga ditempatkan pada asrama dengan ukuran kecil dan berhimpitan. 
Karena kecilnya ruangan, sering kali tidak cukup untuk ditempati lebih dari satu tempat tidur. Akibatnya anak-anak terpaksa tidur di bagian bawah dipan (kolong). 

Dari sinilah muncul istilah anak kolong tersebut.

Latar belakang istilah anak kolong dapat ditelusuri dari masa kolonial Belanda di mana pada saat itu pasukan tentara Kolonial Belanda, KNIL masih eksis di bumi Nusantara. Sebagai pasukan kolonial, KNIL memiliki pasukan dari etnis pribumi Indonesia seperti Jawa, Ambon, Manado, dan lainnya.
Pasukan pribumi yang memiliki keluarga menetapi di sebuah barak atau rumah dinas dikenal sebagai tangsi. Sayangnya tangsi-tangsi pada umumnya memiliki ukuran yang amat kecil bagi sebuah keluarga serdadu KNIL tersebut.

Hal ini memaksa anak-anaknya untuk tidur di kolong tempat tidur. Akibatnya munculah istilah anak kolong bagi anak-anak serdadu KNIL sampai TNI yang bermukim di kompleks militer.

Arsjad memiliki rekam jejak pendidikan sangat baik. Tercatat dia memegang dua gelar sarjana dari universitas asal Amerika Serikat. Dia kerap mengikuti sejumlah program di berbagai kampus di luar negeri. Berikut daftar pendidikan yang pernah dienyam Arsjad:

1. Sarjana Teknik Komputer - University of Southern California, Amerika Serikat (1990). 

2. Bachelor of Science Administrasi Bisnis - Pepperdine University, California, Amerika Serikat (1993).

Program:

1. Executive Education Global Leadership and Public Policy for 21st Century - Harvard Kennedy School, Amerika Serikat (2012).

2. Insights Into Politics and Public Policy in Asia for Global Leaders - Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura (2012).

3. Executive Education on Impacting Investing dari Said School of Business - University of Oxford, Inggris (2013).

4. Executive on Leadership and Decision Making in the 21st Century di Jackson Institute For Global Affairs - Yale University,  Amerika Serikat (2014). 

5. Executive Education - International Directors Programme di INSEAD yang berlokasi di Perancis dan Singapura (2016).

Selain sebagai Ketua Umum Kadin hingga 2026, Arsjad Rasjid saat ini juga menduduki beberapa jabatan. Di antaranya, Presiden Direktur PT. Indika Energy Tbk. sejak 2015, Ketua ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC), dan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Panahan Indonesia (PB Perpani) sampai 2027 nanti. 

Jabatan lain yang pernah dipegangnya adalah Panitia Pengarah Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi di tahun 2022. Lalu, pernah menjabat Wakil Presiden Direktur/Group CFO PT. Indika Energy Tbk. di tahun 2013 hingga 2016. Di tahun 2005 hingga 2013, ia merupakan Group CEO PT. Indika Energy Tbk.

Selain itu dia juga menjadi Komisaris PT Indika Inti Corpindo, PT Grab Teknologi Indonesia sejak 2020, dan PT Kideco Jaya Agung sejak Februari 2017. 

Arsjad juga memiliki beberapa penghargaan. Ia pernah menerima penghargaan sebagai Best Executive di Indonesia dari Asiamoney di tahun 2010. 

Di tahun 2011,  ia terpilih sebagai Young Global Leader dari World Economic Forum (WEF). 
Lalu, penghargaan terbaru yang pernah ia dapatkan adalah CEO of The Year dalam bidang energi dan keberlanjutan oleh MetroTV People of The Year 2022.

TERSERET KASUS KORUPSI

Nama Arsjad Rasjid juga sempat terseret sejumlah kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat memanggil Arsjad untuk menjadi saksi dalam kasus pencucian uang Gubernur Papua Lukas Enembe. KPK memanggil Arsjad pada Desember tahun lalu. 
KPK menyatakan Arsjad mengetahui soal penyewaan  jet pribadi oleh Lukas. Lukas disebut kerap menyewa jet pribadi menggunakan uang hasil korupsi. 

"Dari informasi yang kami peroleh, apa yang dibutuhkan yaitu terkait dengan sewa menyewa private jet tersangka LE (Lukas Enembe)," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, soal pemanggilan Arsjad.

Akan tetapi Arsjad tak memenuhi panggilan itu. KPK pun belakangan menyatakan tak lagi membutuhkan keterangan Arsjad karena sudah mendapatkan keterangan itu dari saksi lainnya. 

Selain kasus Lukas Enembe, Arsjad juga sempat terseret dalam kasus korupsi pembangunan Base Transciever Station (BTS) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) atau yang biasa disebut sebagai korupsi BTS. 
Nama Arsjad terseret setelah Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Basis Utama Prima, Muhammad Yusrizki, sebagai tersangka.

PT Basis Utama Prima merupakan salah satu vendor dalam proyek bernilai total Rp 10 triliun tersebut. Arsjad merupakan salah satu pemilik saham di perusahaan itu. 
Dia pun sempat menerangkan soal kepemilikan sahamnya itu. Melalui keterangan tertulisnya, Arsjad menyatakan hanya memilki satu lembar saham melalui perusahaan pribadinya, yakni PT Mohammad Mangkuningrat. Arsjad menyatakan, bahwa kepemilikan saham itu hanya untuk memenuhi persyaratan kepemilikan perusahaan terbuka yang harus dua orang. 

Saham mayoritas PT Basis Utama Prima sendiri dimiliki oleh Hapsoro Sukomonohadi yang tak lain adalah suami dari Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Sementara Muhammad Yusrizki tercatat sebagai anak buah Arsjad Rasjid di Kadin. Yusrizki menjabat sebagai Ketua Komite Energi Terbarukan Kadin.(BERSAMBUNG)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda