Biodiesel : Penumpang Gelap Ekonomi Indonesia

Implementasi bahan bakar Biodiesel B35 di Indonesia belum merata. (FOTO: Ilustrasi - carmudi.co.id)

COWASJP.COM“The first lesson of economics is scarcity: There is never enough of anything to satisfy all those who want it. The first lesson of politics is to disregard the first lesson of economics.”

― Thomas Sowell 

**

SEBAGAI negara yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development), baik berdasar Deklarasi Rio tahun 1992 maupun Protokol Kyoto tahun 1997 dan beberapa kesepakatan internasional lainnya, Indonesia kemudian menindaklanjutinya dengan membuat Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan yang memuat penggunaan energi terbarukan. 

Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan seperti panas bumi, air, matahari, angin dan juga yang berasal dari biomasa perkebunan dengan menggunakan bahan bakar yang berasal dari kelapa sawit (elaeis gunineensis).

Di Indonesia minyak sawit adalah minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi dan mulai dikembangkan sejak awal 1910 di Sumatera. Minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) didapat dari hasil ekstraksi dari daging buah (mesocarp) kelapa sawit  yang didatangkan oleh Belanda dari Afrika dikembangkan pada awalnya dengan mendatangkan pekerja dari Pulau Jawa ke Sumatera Utara.

Jika dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti kedelai, jagung atau bunga matahari yang juga dapat dikonsumsi, minyak sawit merupakan tanaman nabati yang paling tinggi produksinya per-satuan luas. Satu hektare kebun kelapa sawit dapat menghasilkan (yield) minyak sawit di atas 3 ton. Sementara kedelai hanya menghasilkan 0,4 ton dan bunga matahari sebesar 0,7 ton. 

Dengan luasan kebun sawit sebesar 16,8 juta hektare dan dukungan pekerja langsung dan tidak langsung sebesar 16 juta orang, dan menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) pada tahun 2022 Indonesia berhasil mengekspor produk sawit dan turunannya sebesar USD 39 miliar, tak pelak lagi industri kelapa sawit menjadi industri yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. 

Meski sawit Indonesia produktivitasnya lebih rendah dari Malaysia hanya 3,68 ton per hektare, Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia yakni 46,7 juta ton.  Sebesar 40 persen produknya untuk konsumsi dalam negeri baik itu untuk konsumsi rumah tangga, bahan untuk industri oleokimia maupun dipakai untuk biodiesel. 

Biodiesel atau B100 adalah bahan bakar nabati yang terbuat dari metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME). Biodiesel terbentuk melalui reaksi senyawa ester (CPO) dengan senyawa alkohol (metanol) yang kemudian membentuk senyawa baru yakni methyl ester setelah melalui proses transesterifikasi. 

Karena memerlukan metanol yang berasal dari gas alam, biodiesel pada dasarnya sudah "ternodai" sebagai energi hijau dan karena memerlukan energi fosil sebagai campuran maka metanol juga bisa dikategorikan sebagai "malpraktek industri hijau". Juga jika argumen menggunakan biodiesel akan menghemat devisa tidak sepenuhnya benar, mengingat metanol yang digunakan umumnya impor dari luar negeri. Metanol selain dari gas alam juga dapat dibuat dari biomasa sisa hasil perkebunan dan pertanian dan biasanya disebut dengan biometanol atau green methanol.

Dimulai pada tahun 2006 yakni dengan dikeluarkannya Perpres No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Inpres No 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) pemerintah memulai menggunakan biodiesel sebagai campuran untuk solar. Selain biodiesel dari sawit, pemerintah juga mengatur BBN jenis lain yaitu bioetanol yang berasal dari tetes tebu, dikenal dengan istilah E100. 

Pemerintah kemudian memulai program "nikah siri" BBN dengan BBM dimana bioetanol dicampur dengan bensin sedangkan biodiesel dicampur dengan solar menjadi biosolar.

Inpres ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan dari Kementrian ESDM melalui Ditjen Minyak dan Gas pada tahun 2006 yang mengeluarkan regulasi mengenai spesifikasi BBM minyak solar dimana kandungan biodiesel diizinkan maksimal sebesar 10 persen. 

Dengan Pertamina sebagai ujung tombak distribusi campuran solar dan FAME, kemudian pemerintah secara lebih tegas mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM tahun 2008 yang memberikan rentang mandatori biodiesel sebesar 0,1 persen untuk pembangkit listrik, 1 persen untuk transportasi PSO (public service obligation) dan 2,5 persen untuk industri. Mandatori biodiesel ini berubah dari waktu ke waktu dan dengan mengusung konsep Net Zero Emission pada tahun 2060 pemerintah kemudian meningkatkan kadar penggunaan biodiesel menjadi B35 pada tahun 2023 lalu.

Meski di awal program BBN ini pemerintah mengatakan tidak ada subsidi biodiesel namun kenyataan berkata lain. Pada tahun 2010 pemerintah memberikan subsidi BBN maksimal sebesar Rp 2.000 per liter. Karena ada keragu-raguan dari industri biodiesel mengenai subsidi yang akan diberikan, program pencampuran FAME dengan solar ini berjalan agak tertatih-tatih pada awalnya. Perlahan tapi pasti program biodiesel ini kemudian harus hidup dengan subsidi apapun definisinya.

Pemerintah kemudian membentuk sebuah lembaga baru untuk mengurus sawit ini yakni BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) pada tahun 2015 dimana BPDPKS ini bertugas untuk menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana sawit untuk meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia. Salah satu tugas penting BPDKPS adalah memberikan apa yang disebut insentif selisih harga indeks pasar antara biodiesel dan solar. 

Apa yang disebut insentif biodiesel itu adalah bentuk subsidi, off-balance sheet, subsidi yang tidak tampak dalam neraca APBN. Dalam hal kebijakan energi pemerintah mengenal subsidi BBM, kompensasi BBM dan juga insentif BBN. Meski awal program biodiesel pemerintah memberikan subsidi melalui APBN namun dengan berdirinya BPDPKS pemerintah "tidak lagi memberikan subsidi". Pemerintah menghindari pertarungan politik anggaran di DPR dalam hal pemberian subsidi BBN dengan menyebutnya sebagai "insentif biodiesel" dan memindahkan pemberian subsidi kepada BPDPKS.

Harga biodiesel yang mahal dan di atas harga BBM membuat biodiesel tidak kompetitif, namun karena keputusan politik untuk menggunakan sawit sebagai bahan bakar membuat pemerintah harus membuat kebijakan tersendiri yakni dengan menutup selisih produksi dengan harga jual yang di bawah harga produksi. 

Tren pemberian insentif biodisel ini selalu meningkat dari tahun ke tahun. JiIka pada tahun 2015 sebesar Rp 460 miliar kemudian meningkat di tahun 2016 menjadi Rp 10,68 triliun tahun 2018 menjadi Rp 10,31 triliun dan pada tahun 2021 lalu berjumlah sebesar Rp 51,86 triliun. 

Menurut BPDPKS, hingga tahun 2022, telah disalurkan biodiesel sebesar 42,98juta KL dengan dana biodiesel yang telah dibayarkan sejumlah Rp144,59 triliun. 

Dengan subsidi yang terus meningkat, struktur industri yang terintegrasi secara vertikal dan dikuasai beberapa grup perusahaan, penggunaan biodiesel ini alih-alih ingin menciptakan industri hijau yang terjadi malah  tumbuhnya "swasembada oligarki sawit" yang semakin kuat.

Karena  dengan pemberian insentif yang sangat besar inilah mengapa biodiesel menjadi persoalan tersendiri bagi perekonomian Indonesia. Hal ini mengingat model bisnisnya (business model) melekat subsidi dari pemerintah namun tidak tercatat dalam APBN dan karenanya membuat bisnis ini seperti penumpang gelap dalam perekonomian Indonesia. 

Semakin besar penggunaan biodiesel maka semakin besar subsidi yang akan diberikan. Biodiesel adalah bahan bakar yang rendah emisi namun kaya subsidi, dan karenanya industri biodiesel  ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintahan ke depan. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda