Kebenaran Baru, Adakah?

Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos, mengatakan: kini sudah ada kebenaran baru. Yaitu kebenaran yang tidak bertumpu pada fakta. (FOTO: kapanlagi.com)

COWASJP.COMBANYAK yang curiga mendengarkan ceramah mantan CEO Jawa Pos Grup Dahlan Iskan (DI) ini. Apalagi hal ini disampaikannya dalam Wisuda IAI Al Azis di pondok pesantren yang kontroversial, Ma’had Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, 3 Juli 2023. 

Ceramah yang sudah cukup lama, tapi belakangan viral kembali.

Menurut sebagian orang yang curiga, DI seolah telah meninggalkan ajaran agama. Terutama Islam. Sebab dalam Islam kebenaran itu tetap. Tidak berubah. Tidak ada kebenaran baru atau kebenaran lama. Kebenaran ya kebenaran. Itu saja. Titik. 

Tapi bila didalami lebih jauh, apa yang diungkapkan mantan Menteri Negara BUMN itu tidak terlalu salah. Bahkan di mata sebagian orang, ada benarnya. Dilihat dari sejumlah fakta yang berkembang belakangan ini. 

Sebagai mantan wartawan Harian Jawa Pos, wallahi, saya tidak mendukung pendapat DI dikarenakan dia mantan bos saya. Tapi semata-mata bahwa hal ini layak didiskusikan. 

Menurut DI, kini kebenaran bukan lagi kebenaran. Karena sudah ada sebuah kebenaran baru. Yaitu kebenaran yang tidak bertumpu pada fakta-fakta. Tapi bertumpu pada persepsi.  Jadi ini betul-betul sebuah kebenaran baru. 

Dikatakannya, “Dalam medsos yang gila-gilaan saat ini, ada yang disebut kebenaran baru. Artinya kebenaran saja tidak cukup. Kebenaran saja sudah kuno. Jadi siapa yang mengejar kebenaran, itu sudah ketinggalan.” 

Karena apa? Dikatakannya, “Karena ada kebenaran baru. Dan kebenaran baru ini berbeda dengan kebenaran yang kita fahami selama ini. Kebenaran baru nanti dasarnya bukan fakta. Jadi fakta tidak mencerminkan kebenaran. Karenanya ini betul-betul kebenaran baru.”

Tentu saja, sekali lagi ini pandangan yang dikemukakan sudah cukup lama. Sudah tiga bulan lebih. Tapi intinya sangat menarik untuk didalami. Kita bisa menghubungkannya dengan apa yang terjadi di dunia nyata saat ini. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga dalam skup yang lebih luas di dunia internasional. Tidak hanya menyangkut dunia politik, tapi juga ekonomi dan sosial budaya. 

Menurut DI, kini kalau kita berbantah-bantahan di media sosial dengan menyampaikan fakta-fakta, itu tidak ada gunanya. Karena fakta tidak lagi menjadi bagian dari kebenaran. Kebenaran baru itu datang dari apa yang disebut persepsi.

Kebenaran lama “based on facts”. Kebenaran lama bertumpu pada fakta. Kebenaran baru bertumpu pada persepsi. Jadi persepsi menjadi dasar kebenaran. Persepsi bukan dibentuk oleh fakta. Tapi dibentuk oleh “frame”. Atau “framing”. Jadi, apa gunanya perguruan tinggi kalau orang bisa menciptakan kebenaran lewat framing?

Dijelaskannya, di zaman yang gila-gilaan seperti ini, fakta tidak lagi dianggap penting. Yang dianggap penting adalah framing. Yang bisa tercipta dengan menggunakan apa yang disebut buzzer. “Jadi para pendakwah akan kalah dengan buzzer,” ungkapnya.  

Pertanyaan kita: Benarkah seperti itu?

Tentu saja, kalau kita perhatikan lebih cermat, kita akan dapat menemukan benang merahnya. Lihat saja apa yang terjadi di era Jokowi sekarang ini. Ketika para buzzer disempurnakan namanya menjadi buzzerRp. Artinya buzzer yang dibayar. Bisa oleh orang atau kelompok tertentu. Bisa juga oleh pemerintah. Sehingga menjadi fenomena tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. 

Ringkasnya, dengan menggunakan buzzer yang dibayar, baik oleh penguasa maupun kelompok kepentingan tertentu, orang bisa membentuk persepsi. Yang salah bisa dipersepsikan benar. Sebaliknya yang benar bisa dipersepsikan salah. Jadi terbolak-balik. 

Sebagian orang membenarkan, sesuatu yang salah akan dianggap benar bila dinyatakan benar secara terus menerus. Sedangkan yang nyata-nyata benar, sesuai fakta dan ketentuan yang berlaku, akan dipersepsikan sebaliknya bila terus menerus dinyatakan salah. Dan itu bisa jadi kenyataan, dengan menggunakan buzzer. Jumlahnya tidak hanya satu dua orang. Atau satu dua kelompok. Tapi banyak orang dan banyak kelompok. Yang berperan karena dibayar, untuk mencapai tujuan orang yang memberikan bayaran. 

Sejauh ini, kita tahu, bagaimana para buzzer memainkan peran yang sangat signifikan. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dalam konteks media sosial, misalnya, mereka membela setiap kepentingan rejim. 

Seberapa pun besarnya kesalahan penguasa, dalam jangka waktu tertentu akan tenggelam oleh pembelaan mereka. 

Mereka membentengi setiap kebijakan dan langkah rejim dari segala bentuk serangan yang disampaikan oleh para pengeritik rejim. Dengan melontarkan pandangan-pandangan yang menolak atau membantah kesalahan rejim. 

Dan mereka terdiri dari banyak orang. Banyak kelompok. Kalau satu kelompok saja terdiri atas 10 orang dan masing-masing menyebarkan 10 bantahan, mereka sudah menang menghadapi satu buah kebenaran yang disampaikan pihak lawan. Sepuluh kali sepuluh = seratus. Artinya: 100:1.

Begitulah buzzer bekerja. Sehingga mereka mampu menciptakan persepsi. Dari persepsi yang terbentuk, terciptalah opini yang besar. Bahwa junjungannya “can do no wrong”, tidak bisa salah. 

PERAN MEDIA BARAT

Sahabat saya, mantan wartawati senior Jawa Pos, Yulfarida Arini, pernah menyarankan saya untuk menonton video berjudul “The War You Don’t See, How Governments & Media Manipulate the Facts”. Sebuah video yang mestinya dapat membuka mata banyak orang tentang pembentukan opini oleh media barat. Perhatikan saja judul video itu: “Perang yang tidak anda lihat, bagaimana pemerintah dan media memanipulasi fakta”.

Luar biasa. Andrew Marr,  Political Editor BBC News, sempat mengemukakan pandangannya pada 9 April 2003. Tentu saja seperti dikutip dalam video itu. Tentang “Governments and Media roles in War Propaganda”. Peran sejumlah pemerintahan dan media dalam propaganda perang. 

Seperti apa? Invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke Iraq tahun 2003 mengakibatkan 740 ribu wanita jadi janda, 4,5 juta orang terusir dari rumah mereka dan ribuan orang terbunuh. Serbuan tentara AS ke daerah Ramadi Falujah, antara lain, menewaskan begitu banyak orang. Iraq sebagai negara berdaulat mengalami kehancuran yang tidak terbayangkan sebelumnya. 

Tapi berkat propaganda media barat, mantan Presiden Iraq Saddam Hussein dipersepsikan sebagai penguasa jahat. Opini masyarakat dunia terbentuk, tentang bagaimana jahat dan kejamnya penguasa negeri seribu satu malam itu. Yang memerintah secara tirani dan otoriter. Membangkang kepada seruan perdamaian masyarakat dunia. Memiliki senjata pemusnah massal. Dan sebagainya...dan sebagainya. 

Dua orang yang paling bertanggung jawab dalam penghancuran Iraq, Presiden AS Georges W. Bush, Jr. dan Perdana Menteri Inggeris Tony Blair justru dipersepsikan sebagai pahlawan. Yang mampu merontokkan kekuasaan Saddam Hussein. Yang sempat diburu seperti tikus got. Ditangkap seperti maling ayam. Lalu digantung di depan mata rakyatnya sendiri. 

Begitulah opini yang terbentuk. Bertolak belakang dengan fakta yang sesungguhnya. 

Tapi belakangan, secara perlahan tapi pasti, kebenaran itu mulai terungkap. Pimpinan penyelidikan Inggris terkait perang Irak, Sir John Chilcot, misalnya, menemukan bukti-bukti pemutarbalikan fakta. Menurut dia, kebijakan terhadap Irak didasarkan data intelijen yang cacat dan penilaian yang tidak pernah dipersoalkan. 

Karena itu, dalam kesimpulannya dia mengecam keras peran Inggris dalam invasi pimpinan AS itu.

Sejumlah fakta kemudian terungkap, persepsi yang dibangun pemerintahan dan media Barat berkenaan dengan pemerintahan Iraq di bawah Saddam Hussein adalah salah besar. Karena orang kuat Iraq itu tidak demikian. Kepemilikan senjata pemusnah massal yang dituduhkan kepadanya sama sekali tidak dapat dibuktikan. Sampai detik ini. 

Laporan Chilcot yang disiapkan selama tujuh tahun ini mencakup kajian hampir sepuluh tahun keputusan kebijakan pemerintah Inggris dari tahun 2001 sampai 2009. Di situ terungkap, lebih dari 200 warga Inggris tewas karena perang Irak. Sementara sampai tahun 2009 sedikitnya 150.000 warga Irak terbunuh. Lebih dari 1 juta orang hidup dalam pengungsian.

Tony Blair sanggah adanya kesepakatan rahasia. Tapi rakyat Inggris sudah kadung marah. Keluarga tentara Inggris yang tewas di Irak menyatakan kemarahan mereka terkait keputusan Blair berperang di Irak. Dia sempat dilempari telur busuk dalam suatu kesempatan di Dublin. 

Apalagi Chilcot kemudian mengungkapkan, Irak bukanlah ancaman. Penilaian tentang risiko senjata pemusnah massal Irak yang disampaikan sebagai suatu kepastian, sama sekali tidak berdasar.

Begitulah persepsi dulu terbentuk. Sebagai sebuah kebenaran baru, seperti kata DI. Kebenaran baru yang potensial terus berubah. Sesuai “framing” yang dijalankan. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda