Sang Begawan Media

Lebaran Lutut

Dahlan Iskan dan isteri tersayang: Nafsiah Sabri. (FOTO: Dok. DISWAY)

COWASJP.COMGARA-GARA pencapresan mendadak Ganjar Pranowo, naskah Lebaran Lutut ini baru bisa terbit hari ini. Padahal ada lagi komentar pembaca yang ingin saya komentari. 

Yakni komentar pembaca yang begitu banyak. Yang nadanya agak curiga: kok saya, tumben, sendirian ke Tiongkok. Juga kecurigaan soal baju lama (disimpan di mana) dan baju baru (siapa yang membelikan, hayo!).

Saya harus berkilah apa. 

Sumpah! Saya sudah berniat mengajak istri. Bahkan sudah saya uruskan visa beliau. Visa sudah di tangan. Teman-teman di Tiongkok juga sudah tahu saya akan datang bersama istri. Itu, sumpah, bukan bagian dari taktik menipu istri.

Lalu saya lihat kondisi istri. Terutama sepulang dari umrah yang langsung disambung safari Ramadan ke Tasikmalaya. Kalau dipaksa ikut sih kuat, tapi apakah tidak terlalu menyiksa.

Saya pernah berkali-kali minta maaf kepada istri: saya ikut bersalah. Saya ikut menjadi penyebab sakit lutut beliau. Peristiwanya terjadi di Beijing. Bukan baru sekali atau dua kali. Waktu itu pun kelihatannyi sehat-sehat saja. Istri saya memang pandai menyembunyikan penderitaan. Terutama di depan suami. Itu saya anggap bagian dari kesempurnaan seorang istri.

Maka saya ajak beliau menggelandang ke mana-mana. Turun-naik kereta bawah tanah. Naik-turun tangga. Kejar-mengejar kereta. Bersama cucu kecil yang masih lucu yang sekarang sudah hampir tamat SMA: Icha Iskan.

Akhirnya kami sampai di Forbidden City. Kami memang ke istana kuno 999 kamar itu. Di seberang lapangan Tian An Men, Beijing itu. Saya ingin jadi tour guide untuk istri dan cucu. Tanpa pendamping dari Tiongkok.

Berjam-jam kami jalan kaki: mengelilingi istana itu. Naik turun pula. 

Keluar dari istana tua itu istri saya minta istirahat. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada taksi yang boleh berhenti di kawasan itu. Semua taksi terlihat melaju kencang di jalur cepat. 

Kami pun duduk di trotoar lebar. Tempat pemberhentian taksi masih sangat jauh.

Kadang saya berpikir, sebelum maju, dulu Beijing lebih fleksibel. Di kejadian darurat seperti ini bisa dapat angkutan apa saja.

Setelah istirahat, istri saya mengajak jalan lagi. "Kuat?" tanya saya. "Dicoba," jawabnyi dengan wajah tidak menderita. Mulailah terlihat jalannyi pincang. Pelan. Kalau saja ini adegan film India saya akan gendong dia.

Akhirnya dia mengeluh: sakit sekali. Sebentar-sebentar kami istirahat. Saya merasa begitu bersalah.

Pulang dari Beijing beliau saya bawa ke dokter. Harus operasi. Tapi istri saya tidak mau operasi lutut. Padahal tidak ada jalan lain. Suatu saat kami (saya dan anak-anak) cari cara. Agar bisa operasi. Sampai saya jelaskan: lutut baru nanti itu buatan Jerman. Yang terbaik di dunia saat itu.

Akhirnya operasi berlangsung. Di Surabaya. Sukses. Setelah operasi istri saya terlihat sangat menderita. Tiap hari menjerit. Itu memang masa pemulihan. Setelah tiga bulan barulah  berkurang. Lalu tidak lagi rasa sakit. Lantas happy. Bisa senam dansa lagi.

Itu... yang kanan.

Belakangan yang kiri mulai sakit. Istri saya merasa trauma untuk menjalani operasi sekali lagi. Dalam penolakannyi itu sering diucapkan kata-kata ini: "Abah kan tidak merasakan sakitnya".

Saya pun melemah oleh kata-kata itu. Terutama ketika ingat perasaan bersalah waktu di Beijing itu. Toh kini masih ada satu lutut yang made in Germany itu. Yang bisa jadi tumpuan darurat. Tentu kami masih harus menemukan cara agar beliau mau operasi sekali lagi.

"Anda baiknya nggak usah ikut ke Beijing ya?" kata saya sambil menyerahkan paspor untuk disimpan lagi.

"Iya. Saya ke Kaltim saja," katanyi. Itu berarti pulang kampung. Sambil ke makam ayah-ibunyi di Loa Kulu, dekat ibu kota Kutai Kartanegara.

Lalu ada lagi komentar di Disway: mengapa tidak ajak Robert Lai? Yakni soulmate saya di 

Singapura itu?

Sumpah! Saya sudah hubungi Robert. Kali ini ia pun tidak bisa.

Saya tidak memaksanya. Saya tahu alasannya, pun sebelum diucapkan.

Istrinya juga tidak terlalu sehat. Punya masalah di paru-paru. Di tengah Covid-19 Robert harus menjaga istri lebih dari biasanya. Sakit paru adalah komorbid yang paling berat kalau sampai kena Covid.

Saya salut kepadanya. Ia bisa menjaga istri sampai melewati masa Covid. Tapi ia masih terus ekstra hati-hati. Rasanya ia juga merasa bersalah pada istri. Dorothy, istrinya, terlalu lama ditinggal keliling dunia. Sejak sebelum kenal saya. Lalu berbulan-bulan menemani saya. Ke Eropa. Ke Amerika. Terutama ke Tiongkok. Yakni di masa-masa kritis saya. Sampai mengurus transplantasi hati saya.

Maka saya pilih ingat masa-masa menjadi wartawan: lebih senang sendirian meliput peristiwa besar daripada bergerombol dengan wartawan lain. Tidur di terminal bus, di stasiun kereta api, di musala, di gardu jaga, sangatlah sudah biasa.

Kesendirian itu pula yang mewarnai sikap hidup saya selanjutnya. Punya teman adalah baik, tidak punya teman tidak apa-apa. 

Tapi setiap salah orang harus minta maaf. Saya pun minta maaf kepada para pembaca Disway. Termasuk sudah minta maaf pada Encik Syafiq Hakim, pembaca Disway di Malaysia. Lewat email ke redaksi Disway, Encik Syafiq mengoreksi beberapa data di tulisan saya. Misalnya soal nama Azmi itu mestinya Nazmi.

Mungkin banyak juga pembaca Disway yang merasa bersalah kepada istri. Maka saya setuju dengan ide anak-anak dan menantu saya ini: di saat Lebaran tidak hanya istri yang cium lutut suami. Ganti, suami juga harus cium lutut istri.

Dan saya, dulu, pilih cium lutut istri saya yang kanan. Lebaran ini saya cium lutut istri yang kiri. (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan
Edisi 25 April 2023: Lebaran Mik

Yusuf Ridho

dipungkiri -> dimungkiri Kata dasarnya mungkir, bukan pungkir

rid kc

Inilah yang aku suka dari tulisan pak DI, informatif, edukatif dan optimis. Baru tahu ada dokter yang tidak berpikir untung rugi walaupun mungkin ada dokter seperti dr. Mik yang belum tercover oleh media dan saya yakin itu banyak sekali. Baik dan buruk harusnya menjadi nilai dasar yang harus dimiliki oleh para dokter bukan untung dan rugi. Sayangnya mayoritas dokter kita masih berpikir untung dan rugi karena mungkin biaya menjadi dokter sangat mahal dan harus mengembalikan biaya itu. Saya yakin kalau para dokter punya pikiran baik dan buruk layanan kesehatan akan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Kalender Lengkap

Menarik, dokter hebat aja ga mau anaknya jadi dokter, bisa jadi alasan personal. Tapi kalau ini terjadi di banyak orang tua, bisa jadi akan ada krisis dokter di masa akan datang. Memang, sekarang BPJS begitu kuatnya dan dokter baru seperti tak punya harapan dari segi finansial. Kecuali punya niat sekolah spesialis yang makan waktu dan biaya sangat besar.

Peter Ang

Selamat Lebaran dan ikut berduka cita Dr MIK, Sebenarnya baik dan buruk ini sesuatu yang agak susah untuk diperdebatkan, tergantung dari sisi mana memandang apalagi kalau dikaitkan dengan biaya dan beban misal biaya harusnya x Rupiah, kalau opname biaya menjadi xxx rupiah, jadi diambil jalan tengah yaitu pasien di charge xx Rupiah yang cukup mahal krn itu terbaik bagi pasien, RS dan Dokter krn pasien mendapatkan penanganan terbaik, kalau misal opname resiko infeksi lbh besar, RS juga mendapat Margin lumayan karena harga ditinggikan, Dokter pun juga Happy selain dpt pemasukan lumayan juga kerja sesuai Hati krn melakukan tindakan penanganan yang tepat. Tetapi bagaimana hal ini kalau dibenturkan ke masyarakat yg kurang mampu terutama di negeri +62 ini? Seperti yang baru obat saja 8M dan itupun tidak menjamin sembuh? Mohon pencerahan dan Solusi nya Abah ???? dan mumpung suasana lebaran mohon maaf jadi tulisan yang membuat Abah jadi berpikir

Liam Then

Saya ingat waktu SD dulu kena infeksi ginjal, jalan sampai seperti orang kena polio, sakit sebelah kaki, lama-lama tak mampu berdiri. Di panggil kan Sinshe semprul. Selangkangan saya di rojok dengan telapak kakinya ,dua kaki saya di tarik , saya pun menjerit sejadi-jadinya. Ah...Sinshe kupret...ternyata setelah dibawa ke dokterz cuma infeksi ginjal, dikasih obat antibiotik, selesai. Sebulan saya tak sekolah karenanya. Tapi enak juga merasakan jengukan teman-teman, tiba-tiba panganan jadi banyak. Ini heran , orang sakit dibawakan macam-macam makanan, bagaimana mau makannya, wong kondisi tidak fit. Kenapa dulu waktu sehat tidak dibawakan? Biar bisa dihabiskan. Aneh kan..? Jadi sebenarnya perlu ada kebiasaan baru, orang sakit itu diberi amplop saja, untuk bantu ringankan biaya pengobatan. Cuma usul kwkwkwkwk...

Budijani Sudartha

Dokter Mik memang hebat dan baik, membantu menyembuhkan kanker payudara Ibu saya, yang meninggal juga usia 83 th tapi krn jantung. Ibu dan dr Mik selalu berbahasa Belanda saat konsultasi shg saya tidak mengerti akhirnya kompromi pakai bahasa Jawa halus, baru saya mengerti. Salam hormat utk dr Mik melalui Abah ya.

mzarifin umarzain

Payudara besar atau kecil, apa ada pengaruh nya pd kanker? Payudara besar lebih mudah kena kanker?

Amat K.

Tapi untuk istriku tercinta, kutahbiskan diri untuk jatuh berkali-kali. Karena jatuh hati padanya adalah hal terindah dalam hidup.

Saifudin Rohmaqèŕqqqààt

Pengalaman bedah yg saya alami. Saya punya benjolan di punggung. Makin lama makin besar. Saya khawatir. Saya agak takut. Suatu hari benjolan itu sakit sekali. Warnanya jadi hitam merah. Akhirnya saya ke dokter bedah. Saya konsultasi. Dan dokter nya ramah. Mrnjelaskan bahaya bahaya kalau tidak segera di operasi. Saya tanya biayanya. Karena memang spesialis bedah, harganya membuat saya kaget. Karena saya tak mampu. Akhirnya saya ngomong mau cari biaya dulu. Kemudian saya pindah ke dokter yg lain. Konsultasi. Juga dijelaskan dengan baik. Dokter pun berkata sudah biasa mengoperasi benjolan seperti itu. Dan yg membuat saya kaget ternyata biayanya. Yaitu cuma 10 persen dari biaya dokter ahli bedah yg pertama. Akhirnya dioperasi di situ. Sampai sekarang sudah hampir 12 tahun. Dan alhamdulillah sembuh total. Memang benar ada dokter yg money oriented dan ada pula yg social oriented. Hanya pengalaman pribadi.

Alfi Nur Afifah

sekitar 6 bulan yang lalu saya merawat saudara yang mengalami batuk terus menerus dan sesak nafas, setelah dibawa ke rumah sakit ternyata beliau di diagnosa ada cairan di paru paru. dokter menganjurkan harus menyedot cairannya supaya beliau tidak sesak napas. Ternyata setelah cairan nya disedot tiba-tiba muncul benjolan di dada. Untuk itu dokter mengharuskan biopsi agar tahu itu kanker atau Begitu tahu ternyata itu kanker sudah stadium 4. Pengobatan satu satunya harus dikemoterapi, tetapi saudara saya tidak sanggup. Dokter memberi tahu keluarga bahwa saudara kami sudah paliatif dan hanya menunggu keajaiban. Kami sekeluarga hanya berharap semoga ada mukjizat dari Tuhan, tapi ternyata tuhan berkata lain. #SemogaSemuanyaSehatSelalu

Liam Then

Orang-orang seperti dokter Mik inilah yang menyanggah Indonesia kita dari keruntuhan. Masih banyak orang baik di Indonesia. Jangan putus asa.

Jimmy Marta

Sayapun mengagumi dr Mik dg prinsipnya, melihat dunia dari sisi baik dan buruk. Ia tidak mempertimbangkan soal kalah menang, untung rugi.

Pryadi Satriana

Dokter Mik ikut merasa bersalah secara moral, karena itu "sangat terpukul mentalnya." Namun, jika dokter Mik MELAKUKAN BEDAH MENINDAKLANJUTI "TEMUAN" DOKTER PATOLOGI, menurut saya dokter Mik TIDAK BERSALAH, walaupun rasa bersalah itu "tidak bisa dihilangkannya." Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia itu untuk melindungi privasi pasien, BUKAN UNTUK TIDAK DIBERITAHUKAN KEPADA PASIEN. Namun, "tindakan malpraktik itu" diawali KESALAHAN PATOLOG, yg menyebutkan adanya kanker. Jika digugat pasien, tergugat I adalah dr. Patologi, yg lain2 menjadi "turut tergugat." PASIEN MUNGKIN TIDAK TAHU TELAH TERJADI MALPRAKTIK, NAMUN ITU TIDAK MENGHILANGKAN TANGGUNG JAWAB MORAL UNTUK MEMBERITAHUKAN YG SEBENARNYA TERJADI KEPADA PASIEN, SEKALIGUS PERMOHONAN MAAF & PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PASIEN TERSEBUT. Kita manusia beradab, berikan yang menjadi hak seseorang tanpa diminta, bahkan sekali pun orang tersebut tidak mengetahuinya. Itukah makna bahwa sesama kita adalah "saudara dalam kemanusiaan", itulah penerapan hukum kasih: "Kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri", orang Jawa menyebutnya "tepa slira". Salam. Rahayu.

Mirza Mirwan

Telanjur mengamputasi kaki pasien ternyata setelah diperiksa lebih dalam tida ada kanker. Itu jelas termasuk "medical malpractice", karena menyebabkan pasien dari Banjarmasin itu kehilangan kaki. Tetapi, sepertinya, ketiadaan kanker itu tidak diberitahukan kepada si pasien. Itu terbaca dari "Dokter Mik sangat terpukul mentalnya." Salahkah dr. Mik? Secara etika kedokteran Indonesia, tidak. Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia menyebutkan: "Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia." Menurut saya yang awam, pasal itu kok terasa janggal. Padahal seperti pasien dari Banjarmasin itu mestinya bisa menggugat tindakan malapraktik yang menyebabkan ia mengalami kerugian, kehilangan kaki.

Liam Then

Hari ini dibuat banyak bertanya-tanya kemudian mencari informasi. Sejak beberapa lalu , karena artikel Disway tentang kelangkaan dokter spesialis, tentang "mayo" Bali, tentang konglo lomba bangun rumah sakit. Dari itu ,tarik kesimpulan, ini karena rasio dokter yang rendah, saya google dokter di M'sia dan Singapura, iyah lebih tinggi. Jadi ini mungkin salah satu sebabnya. Karena artikel dulu itu juga jadi tahu Kuba yang gencar mencetak bahkan sampai ekspor dokter. RI jangan malulah tiru keberhasilan Kuba. Barusan saya juga baru tahu 5jt populasi Kalbar ,hanya bisa cetak 49 lulusan FK. Untuk angkatan ke-8. Ini kalo di bandingkan benar-benar jomplang. Ada yang benar-benar salah ,tapi dibiarkan. Jadi teringat, entah kapan dan dimana, selorohan seperti ini : Rumah sakit itu lebih enak dari bisnis perhotelan.Cobalah bandingkan, di Hotel kalo tak ada free breakfast, sepi. Kalo di rumah sakit sudahlah makanannya tak enak, ruangan pun bisa di kongsikan. Tak. ada yang (mampu) protes. Malah orang pontang panting cari ruangan. IDI buat apa? Apakah tidak tersentuh untuk perubahan yang lebih baik untuk Indonesia? IDI boleh di bilang kumpulan manusia dengan intelegensi di atas rata-rata, karena bahan panduan pendidikan kedokteran banyak yang berbahasa asing. Pengetahuannya pun butuh kemampuan memori yang hebat. IDI bersama-sama dengan pemerintah ,yang eksekutifnya punya staf ahli pandai dan cerdik, masa tidak bisa urai masalah pelayanan kesehatan untuk orang Indonesia? 

Jokosp Sp

Kualitas (hasil akhir) bisa dilihat dari sistem yang dipakai dalam penerimaan Mahasiswa Kedokteran. Terutama di nomor 3 yang 30% itu, yaitu di jalur mandiri. Dokter itu harus punya prestasi akademik yang paling tinggi/ unggul di sekolah asalnya ( SMA IPA ). Apakah mungkin akan didapat seorang dokter yang penerimaannya lewat Jalur Penerimaan Mandiri sekualitas dengan yang lewat Jalur Undangan ( no.1 )?. Inilah perbedaan itu, ada 3 sistem rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa baru masuk fakultas kedokteran: 1. Jalur Undangan: Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) dengan kuota daya tampung minimal 30%. Persyaratan -> Prestasi akademik calon mahasiswa selama duduk di SMA. 2. Jalur Ujian Tertulis: Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dengan kuota daya tampung minimal 30%. Persyaratan -> Test tertulis lulus, cukup jelas secara kemampuan siswa. 3. Jalur Seleksi Mandiri. terdiri dari Jalur Penjaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan kerjasama/ bina lingkungan dengan kuota daya tampung 30%. Persyaratan -> masing-masing perguruan tinggi beda-beda. Setelah melalui jalur tertulisternyata tidak lulus, calon mahasiswa masih bisa mengikuti jalur mandiri ini. Hasil akhirnya seperti apa? kita-kitalah yang bisa menilai ketika berhadapan saat konsul dan berobat ke dokter tersebut. Apakah harus diterima?. Seharusnya cukup No.1 dan No.2 saja proses seleksinya.Apakah artinya harus ada perubahan aturan?.

imau compo

Image dokter di kepala saya. 1. Mahasiswa kedokteran Beberapa keluarga sangat menginginkan saya masuk fakultas kedokteran karena kemuliaan dan kesejahteraannya. Saya heran, betapa tersiksanya hidup, setiap hari berhadapan dengan orang dalam kondisi terendah, kecantikan maupun emosinya. 2. Mahasiswa kedokteran Bertetangga dgn 2 mahasiswa kedokteran yg serius, pagi-pagi dengan sedikit takut komplain, "Mas, semalam gak bisa belajar, kalian mainnya berisik bangat." "Maaf, dari mahasiswa saja kalian begitu serius, makanya gak terpikir masuk kedokteran." "Kalaupun Tuhan jadikan saya seorang dokter, biarlah jadi dokter olahraga." " Itu asesorisnya, Mas!, yg utama adalah menyelamatkan jiwa dan kemanusiaan." Haru. 3. Dokter (pejabat tinggi) Lama gak ketemu, sang dokter mendapat pertanyaan teman SMA-nya yg pengusaha, "Kamu masih ngumpulin duit receh?" 4. IDI Dokter-dokter ini punya atasan seorang sarjana fisika yg ahli nuklir dan berpengalaman di dunia perbankan. "Saya mau ya..!, diskusi tapi berbasis data, lho!" "Negara kita dalam jurang bangkrut dalam kaitannya biaya jaminan kesehatan masyarakat...,". Entahlah, dokter-dokter ini mikir apa.

Theodorus Trianto

Alumni Fak.Kedokteran Unair sekitar th.1960 tentu ingat Pro.Dr.RM Soejoenoes. Gurubesar Neuropsychiatrie yg dikuliahannya memesan mahasiswa mahasiswi ,soal etik dg kalimat yg sangat sederhana. Kalau kalian jadi dokter , itu baik. Kalau kalian jadi pedangang juga baik. Tetapi kalau jadi dokter dan pedagang , itu sangat jelek. Apa masih berlaku?

*) Dari komentar pembaca http://disway.id

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda