Wakaf Kolonial di Era Milenial (3)

Wakaf di Atas Wakaf

Lahan dan bangunan wakaf milik Muhammadiyah di Kelurahan Kenari, Jakarta Pusat. Lahan dan bangunan ini selama 5 tahun disewa Lazismu untuk kantor pemasaran. Hasil sewa itu menjadi manfaat wakaf. (FOTO: Joko Intarto)

COWASJP.COMKebaikan selalu menemukan jalannya sendiri. Problem nadzir yang telanjur menerima wakaf tanah tetapi tidak punya dana untuk menggarap atau membangun ternyata bisa diatasi. Ada caranya. Ada ilmunya. Saya dapatkan dua-duanya dari Dwi Irianti Hadiningdyah, Director of Islamic Financing, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

***

PRINSIP manajemen wakaf secara konvensional adalah: Nilai objek wakaf tidak boleh berkurang atau hilang. Manfaat atas pengelolaan objek wakaflah yang boleh digunakan.

Berangkat dari prinsip itulah, banyak wakif yang kemudian memilih tanah atau lahan sebagai objek wakaf. Karena nilai atas tanah tidak pernah turun. Selalu naik. 

Pertanyaannya, bagaimana mendapatkan biaya untuk menggarap atau membangun sesuatu di atas lahan wakaf itu agar menghasilkan manfaat sesuai keinginan wakif?

Ada dua cara. 

Pertama, gunakan mekanisme bisnis sebagaimana lazimnya. Nadzir boleh saja mengajak mendatangkan investor yang bersedia memanfaatkan tanah itu untuk waktu tertentu dengan imbalan senilai tertentu. Imbalan bisa berupa biaya sewa. Bisa juga dari bagi hasil atas hasil pengelolaan bangunan di atas lahan itu.

Contoh mudahnya begini. Nadzir mengelola lahan wakaf seluas 10 hektare. Wakif membolehkan nadzir menggarap lahan tersebut dengan harapan bisa untuk mendirikan dan mengelola sebuah pondok pesantren. Suatu saat kelak. Karena tidak punya biaya menggarap lahan itu, nadzir mengundang investor yang berminat menjalankan usaha di atas lahan tersebut. 

Nadzir bisa memberlakukan kewajiban sewa lahan kepada investor atau bagi hasil atas usaha di atas lahan itu. Pendapatan itulah yang digunakan untuk mewujudkan keinginan wakif.

Ada cara lain? Ada. Melalui mekanisme investasi. Menggunakan instrumen keuangan syariah.

Tahap pertama: menggandeng lembaga keuangan syariah yang berizin sebagai pengelola wakaf, untuk membiayai pembangunan lahan wakaf melalui manfaat wakaf tunai atau wakaf melalui uang.

Tahap kedua: lembaga pengelola wakaf menjalin kerjasama dengan fund manager syariah atau pengelola investasi syariah agar pokok wakaf tunainya tidak berkurang, bahkan bisa menghasilkan manfaat berupa bagi hasil kelolaan untuk membangun lahan wakaf.

Pertanyaan selanjutnya instrumen investasi syariah apa yang terjamin aman dan selalu menguntungkan? Secara konvensional, nadzir biasanya hanya menyimpan dana itu dalam bentuk tabungan berjangka alias deposito. 

Sekarang ada yang baru: surat berharga syariah yang diterbitkan negara. Instrumen itu dikenal dengan nama sukuk. Imbal hasil sukuk baik Sukuk Negara maupun sukuk korporasi lumayan. Lebih tinggi dibanding imbal hasil deposito. Dan pajaknya lebih kecil dibandiing deposito yaitu hanya 15%.

Sudah banyak proyek yang berhasil dibiayai dari Sukuk Negara (Surat Berharga Syariah Negara/SBSN). Sudah banyak juga pihak yang menikmati manfaat atas sukuk tersebut. Dalam proyek infrastruktur negara, sukuk punya andil yang tidak sedikit. Berarti, banyak pula investor yang menikmati manfaat.

Bayangkan bila dana investasi sukuk itu berasal dari lembaga pengelola wakaf yang telah memperjanjikan untuk menyalurkan manfaatnya kepada pengelola lahan wakaf. Bukan tidak mungkin, ormas Islam besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa membiayai sekolah, masjid, rumah sakit, perkebunan, peternakan, perikanan dan pertambangan di atas lahan wakafnya yang begitu luas secara mandiri. Dana mandiri itu berasal dari kumpulan wakaf tunai atau melalui uang dari jutaan anggota ormas itu sendiri yang diinvestasikan melalui Sukuk Negara yang aman (dijamin 100% oleh Pemerintah), menguntungkan dan sesuai prinsip syariah.

Ada tiga keuntungan yang diperoleh melalui mekanisme ini. Pertama, NU atau Muhammadiyah akan memiliki pokok wakaf yang aman dan terjamin negara. Semacam dana abadi. 

Kedua, menerima manfaat atas sukuk itu untuk membiayai aneka program. Ketiga menghasilkan asset produktif baru. Bisa bangunan dengan berbagai fungsinya.

Berbeda dengan model pembiayaan tradisional seperti patungan atau ‘bantingan’ yang digunakan untuk membiayai pembangunan tanah wakaf selama ini. Sebab, pokok dana itulah yang digunakan untuk membangun. 

Manfaatnya adalah gedung atau proyeknya. Ketika gedungnya selesai dibangun, uang patungannya sudah habis.(*)

Pewarta : Joko Intarto
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda