Kajian Surau dalam Konteks Kekinian (Bagian I)

ROBOHNYA SURAU KAMI

Surau Bonjo dan Surau Pantai yang sangat berdekatan. Hanya dipisahkan sebuah jalan yang kecil. (FOTO: Nasmay L. Anas)

COWASJP.COM – TERUS TERANG, bagaimana mungkin mengembalikan kehidupan beragama yang begitu semarak melalui aktifitas di surau-surau di Minangkabau, seperti di zaman lampau? Terutama, dalam konteks kekinian dengan suasana yang sangat jauh berbeda? Dengan menggunakan judul “Robohnya Surau Kami dalam Konteks Kekinian” dalam tulisan ini tentu tidak sama dengan kegalauan novelis terkenal Alm. Ali Akbar Navis. Sebagaimana tersurat dalam novel beliau, “Robohnya Surau Kami”. 

Bagaimanapun, keadaan rasanya sudah berubah begitu cepat. Begitu luas. Sehingga surau yang sangat penting perannya dalam kehidupan sosial masyarakat kini semakin tergerus oleh perkembangan zaman. 

Kalau Navis bercerita tentang kekecewaan seorang kakek tua yang menjadi “garin”, penjaga surau (musholla), yang hidup zuhud meninggalkan kehidupan dunia, untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat, tapi justru dikatakan akan masuk neraka juga. Karena hanya memikirkan kebahagiaan akhiratnya sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dengan tidak menikah. Dus, tidak memiliki anak keturunan. Sehingga dia memutuskan untuk bunuh diri. 

Maka tulisan ini akan mengulas bagaimana surau yang begitu banyak jumlahnya di nagari bernama Rao-Rao, Kecamatan Sungai Tarab, Batusangkar, Sumatera Barat, kian hari kian kehilangan perannya karena kehilangan jama’ah. Ada yang terus dipercantik, dipugar dan direnovasi terus menerus secara fisik. Berkat kiriman dana yang terus mengalir dari perantauan. Walau dengan jumlah jama’ah sholat yang sangat terbatas. Sebagian malah tidak punya jama’ah sholat lagi. Ada pula yang memang sudah roboh dan tinggal nama. Dengan beragam permasalahannya. 

Semua tidak menghilangkan kesan bahwa nagari yang terletak kurang lebih 10 kilometer dari bekas Kerajaan Pagaruyung itu adalah nagari yang memiliki begitu banyak surau. Sebuah keunikan yang barangkali jarang ditemukan di tempat lain. 

Secara historis, surau di masa lampau tidak hanya menjadi tempat ibadah yang semarak di kampung-kampung di wilayah Sumatera Barat. Tapi ia juga merupakan pusat pembinaan karakter generasi muda masyarakat Minangkabau. Untuk menjadi manusia yang bertaqwa. Terjaga dalam ajaran amar ma’ruf nahiy mungkar. Terbentuk menjadi insan yang memiliki moralitas, kapasitas dan integritas. Sebagai calon-calon pemimpin yang berpengaruh di masa depan. 

Di surau, mereka tidak hanya belajar berbagai ilmu keagamaan seperti mengaji, shalat, salawat, barzanji, thariqat dan lainnya. Tapi mereka juga belajar keterampilan yang lain. Seperti belajar silat, adat istiadat, randai, pepatah-petitih yang akan berguna dalam kegiatan beradat. Yang terakhir ini bahkan mampu membentuk mereka menjadi pembicara yang terampil, runtut dan terarah di muka publik. 

roboh1.jpgPara jemaah suluk, mursyid, dan khalifah (asisten mursyid) Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah berdoa seusai menjalankan shalat Ashar di Surau Nurullah, Kelurahan Limau Manis Selatan, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat. (FOTO: KOMPAS/YOLA SASTRA)

Secara umum, di surau mereka bersosialisasi sesama anak negeri. Dan ringkasnya, karakter berilmu, berwawasan luas, bijak dan berpendirian yang teguh terbentuk dari kegiatan yang mereka ikuti di surau-surau. 

Kualitas mereka sebagai calon pemimpin yang beragama sangat tergantung dari berapa banyak waktu yang mereka gunakan beraktifitas di dalam surau atau di luar surau. Kalau banyak di dalam surau, mereka akan disebut “Urang Siak” (orang yang tekun beribadah). Merekalah calon pemuka agama maupun pemimpin nagari di masa depan. Kalau banyak di luar surau atau di tempat-tempat orang bermain koa, bermain remi, berjudi, sabung ayam dan sebagainya, mereka akan dicap sebagai “parewa”. Orang yang membelakang dari agama. 

Karenanya, tidak sedikit dari para pemimpin bangsa di masa lalu – khususnya  yang berasal dari Minangkabau – adalah para pemimpin yang dihasilkan dari pendidikan dan gemblengan para ulama di surau-surau.

Uniknya, mereka tidak diantarkan oleh para orang tua mereka untuk menuntut ilmu di surau-surau. Sebagaimana orang mengantarkan anak-anak mereka ke pondok pesantren. Tapi tradisi kehidupan masyarakat Minang itu sendirilah yang menyebabkan mereka dididik dan dibesarkan di surau-surau. Karena sesuai tradisi di zaman lampau, sejak usia 6 tahun anak lelaki Minang umumnya tidak lagi tidur di rumah induknya. Tapi tidur di surau. Hanya siang hari mereka pulang ke rumah. Untuk membantu mengerjakan apa saja yang bisa mereka kerjakan. 

Dilihat dari struktur bangunan rumah tradisional Minangkabau, yaitu rumah gadang, anak lelaki tidak disediakan kamar. Di samping itu, ada perasaan risih yang berkembang di kalangan mereka untuk selalu berdekatan dengan “urang sumando”. Suami dari kakak atau saudara perempuan mereka. Ada semacam ewuh pakewuh antara mereka dan urang sumando tersebut. Di samping itu, ada juga cemo’ohan dari kawan-kawan sepermainan. Yang akan mencela mereka sebagai orang yang masih “lalok di katiak mande” (tidur di ketiak ibu), kalau masih tidur di rumah orang tua. 

Fakta Surau di Rao-Rao

Bicara tentang surau di Rao-Rao secara khusus, tentu sangat menarik. Karena uniknya. Karena lain dari yang lain. Bagaimanapun, menurut sumber-sumber yang layak dipercaya, surau di Rao-Rao terdiri atas banyak macam. Karena ada yang disebut Surau Kaum, Surau Pasukuan, Surau Kampung nan Baumpuak, Surau Pribadi dan Surau Suluk. 

Jika dihitung secara keseluruhan, surau kaum saja jumlahnya bisa lebih dari 60 surau. Dengan total jumlah penduduk tidak lebih dari 10.000 jiwa. Dengan kenyataan tidak sedikit pula di antara mereka yang pergi “babelok”. Merantau dalam jangka waktu yang pendek. Seminggu dua minggu. Atau sebulan dua bulan. 

Bila dibagi rata, dengan total penduduk sebanyak itu, terdapat satu surau untuk 167 penduduk. Besar kecil, tua dan muda. Itu baru surau kaum. Karena setiap penghulu di zaman dahulu memiliki satu surau. Tempat mereka mengadakan rapat dan membimbing anak kemenakan mereka sendiri. 

Padahal di Rao-Rao tidak hanya ada surau kaum yang dipimpin oleh seorang penghulu adat. Tapi ada pula surau pasukuan. Disebut juga surau pasukuan kampuang nan ampek (KNA). Surau persukuan kampung yang empat. Yang terdiri dari suku Bodi-Chaniago, Bendang-Mandahiling, Koto-Piliang dan Patapang-Kotoanyia. 

Di samping itu, ada pula yang disebut surau pribadi. Milik keluarga orang  berada dan ingin memiliki surau sendiri di dekat rumah mereka. Begitu juga surau yang disebut surau kampuang nan baumpuak. Yaitu surau yang didirikan oleh sejumlah kaum atau persukuan. Bisa terdiri atas empat atau lebih persukuan yang mendirikan satu surau tersendiri. 

Dan terakhir, ada pula Surau Suluk. Tempat umat Islam di zaman lampau mengaji suluk, atau ajaran thariqat – khususnya Thariqat Naqsabandiyah – yang di zaman dulu cukup berpengaruh dan banyak pengikutnya. 

Sayangnya, kemajuan dan perkembangan zaman telah mengubah begitu banyak tradisi keagamaan masyarakat di Rao-Rao. Surau kaum sebagian masih ada, sebagian lainnya tinggal nama. Karena – menurut sumber-sumber yang mengetahui hal ini – kalau ditotal jumlah penghulu ada sekitar 56 nama. Tapi penghulu yang ada sekarang tidak lagi sebanyak itu. Karena bukanlah mudah untuk mengangkat seorang penghulu adat. Dengan segala persyaratan yang ada. Di samping juga keterbatasan dana. Baik untuk mengangkat gelar datuk atau penghulu maupun mendirikan atau memperbaiki surau yang sudah lapuk dimakan usia. 

Sedangkan Surau Suluk lain pula kondisinya. Sebagian masih ada fisiknya. Tapi sebagian besar sudah tak ada. Sudah roboh dimakan usia. Atau memang tidak dapat lagi disebut surau suluk, karena kegiatan suluk tak ada lagi. Disebabkan terjadinya modernisasi sikap beragama di kalangan masyarakat. Di samping juga karena para syeikh atau para tuan gurunya sudah tak ada lagi. (Bersambung)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda