Warga Papua Terprovokasi di Kasus Enembe

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.(FOTO: satunurani.com)

COWASJP.COMKapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyiapkan 1.800 personil Polri jika dibutuhkan KPK menyidik tersangka korupsi Gubernur Papua, Lukas Enembe. Begitu sulit penegak hukum  menegakkan hukum.

***

KAPOLRI di konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 30 September 2022, mengatakan:

"Terkait kasus Lukas Enembe, kami sudah menyiapkan 1.800 personel di Papua."

"Dan kami siap untuk membackup apabila KPK meminta. Jadi, tentunya kami juga mendukung penuh pemberantasan korupsi."

Soalnya, Enembe dalam status tersangka korupsi, sudah dua kali dipanggil KPK, dan selalu mangkir.

Panggilan pertama, Enembe diperintahkan datang untuk diperiksa di Mako Brimob Polda Papua, Senin, 12 September 2022. Tapi, Enembe tidak datang.

Panggilannya kedua, Enembe diperintahkan datang untuk diperiksa di Gedung KPK Jakarta, Senin, 26 September 2022. Lagi, ia tidak datang dengan alasan sakit. 

Malah, ia minta izin berobat ke Singapura. Padahal, Enembe sudah dicegah ke luar negeri selama enam bulan, 7 September 2022 hingga 7 Maret 2023.

Pihak KPK menanggapi, sesuai hukum, Enembe dilarang ke luar negeri. Jika keadaan mendesak, kondisi kesehatannya harus diperiksa dulu oleh pihak penyidik. Lalu dinilai, apakah layak ia berobat ke luar negeri. Dilarang asal ngomong, sakit.

Karena dua kali panggilan pemeriksaan Enembe tidak hadir, ia bisa dijemput paksa.

Pasal 17 KUHAP: "Penjemputan paksa seseorang harus diawali dengan bukti permulaan yang cukup, untuk membuktikan bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana. Bukti permulaan tersebut apabila sekurang-kurangnya memenuhi dua alat bukti yang sah."

"Jemput paksa atau dihadirkan dengan paksa berbeda dengan penahanan. Panggil paksa dapat dilakukan setelah tidak menggubris panggilan sebanyak dua kali, sedangkan penangkapan bisa dilakukan tanpa didahului dengan pemanggilan."

Persoalannya, belum dijemput paksa pun di Papua sudah heboh. Selasa, 20 September 2022 di Jayapura diwarnai demo bela Enembe. Ratusan orang turun ke jalan. Mereka menyatakan, Enembe dikriminalisasi.

Aparat gabungan TNI-Polri menangkap 14 orang pendemo. Dari tangan mereka diamankan barang bukti kapak, busur panah, bom ikan (dopis), aneka senjata tajam, ketapel, dan minuman beralkohol.

Wakapolda Papua, Brigjen Ramdani Hidayat mengatakan, 14 orang itu ditangkap di dua wilayah hukum, yakni Polresta Jayapura Kota dan Polres Jayapura.

Akhirnya, KPK jiper menjemput paksa Enembe. Bukan apa-apa, dikhawatirkan bisa menimbulkan keributan parah. Bahkan, diprediksi bisa jadi pertumpahan darah.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, di konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin, 19 September 2022, mengatakan:

"Kita lihat situasi. Tidak mungkin kan nanti kita paksakan, kalau di sana situasinya seperti itu."

Dilanjut: "Kita tidak ingin ada pertumpahan darah, atau apa pun kerusuhan, sebagai akibat dari upaya-upaya yang kita lakukan."

Dari pernyataan Alexander Marwata itu, kelihatan bahwa KPK sudah mengukur kemungkinan yang bakal terjadi, seandainya Lukas Enembe dijemput paksa. Walaupun, jemput paksa dalam perkara ini adalah atas nama hukum.

Apalagi, ini menyangkut Papua. Rawan. Dengan adanya KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) Papua yang sudah disebut sebagai teroris oleh pemerintah RI.

Menko Polhukam, Mahfud MD dalam konferensi pers, dikutip dari kanal Youtube Kemenko Polhukam, Kamis, 29 April 2021, mengatakan:

"Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif, dikategorikan sebagai teroris." 

Menurut Mahfud, label teroris diberikan kepada KKB Papua sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.

Mahfud menjelaskan, berdasarkan aturan tersebut, teroris adalah siapa pun yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme.

Adapun terorisme sendiri adalah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas.

Pasti, tidak ada yang mengaitkan perkara korupsi Lukas Enembe dengan KKB Papua. Karena memang tidak terkait. Tapi, mau tidak mau, KPK ngeper, setelah memantau begitu banyak warga demo, melindungi tersangka Enembe. 

Apalagi, para pendemo menyatakan, Lukas Enembe dikriminalisasi. Meskipun, warga yang berdemo belum tentu mengerti materi perkara yang membuat Enembe jadi tersangka korupsi.  

Sebab, materi perkaranya hanya milik KPK. Hanya diketahui penyidik KPK di perkara ini. Orang lain pasti tidak paham.

Dari gerakan warga Papua melindungi Enembe, kelihatan bahwa mereka meniru gerakan serupa yang sering terjadi di Jawa. Jika ada tokoh masyarakat ditangkap aparat penegak hukum, malah dibela rakyat. Dengan slogan-slogan: Kriminalisasi.

Model begini, patut diduga, ada yang menggerakkan. Memprovokasi warga. Mustahil warga bergerak sendiri-sendiri tanpa ajakan, seruan, provokasi, diduga juga bayaran, dari pihak tertentu.

Logikanya, warga tidak paham persoalan perkara hukum yang sedang diproses, lalu dikompori seolah-olah penegak hukum melakukan kriminalisasi. Istilah 'kriminalisasi' pun, jadi populer.  

Akibat akhirnya, cara begini ditiru warga Papua. Tepatnya, ditiru oleh pihak yang menggerakkan massa di Jayapura, Papua. Supaya membela tersangka korupsi. Dengan dalih, Enembe sengaja dimusuhi KPK. 

Provokasi itu 'dilebarkan' lagi, menjadi isu: "Enembe tidak disukai pemerintah. Makanya, Enembe akan ditangkap."

Provokasi model ini langsung dipercaya warga. Ditelan mentah-mentah. Padahal, Enembe adalah Gubernur Papua, bagian dari pemerintah. Atau kepala daerah. Mana logikanya, pemerintah tidak menyukai pemerintah?

Law enforcement sudah dirusak oleh orang-orang di Pulau Jawa. Kerusakan itu sekarang ditiru warga Papua. Jadi meluas.

Seumpama KPK benar-benar khawatir menjemput paksa Enembe, maka ada dua kemungkinan: 

Pertama, KPK memang tidak punya, minimal dua bukti hukum yang kuat dalam menetapkan Enembe sebagai tersangka. 

Kemungkinan pertama ini sudah terbantahkan oleh pernyataan Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangan pers, Senin 19 September 2022, ia menyatakan:

"Kami memastikan bahwa setiap perkara yang naik ke tahap penyidikan, KPK telah memiliki minimal dua alat bukti yang cukup."

Dilanjut: "Kami tegaskan, KPK tidak ada kepentingan lain, selain murni penegakan hukum sebagai tindak lanjut laporan masyarakat."

Kedua, negara Indonesia sudah kalah dilawan preman. Meskipun tidak ada negara yang kalah dilawan preman, kecuali negara lemah.

Itu sebab, Kapolri mendukung, menyiapkan 1.800 pasukan polisi di Papua, seandainya KPK minta bantuan Polri untuk menjemput paksa Enembe. Sikap Kapolri ini menegaskan, bahwa negara tidak boleh kalah dilawan preman.

Perkara yang sesungguhnya sederhana, penyidikan dugaan korupsi biasa, yang sangat sering terjadi, di perkara ini berubah jadi rumit. Apalagi, sampai benar-benar melibatkan 1.800 polisi dalam proses jemput paksa Enembe. 

Tapi, bisa saja kesiapan 1.800 polisi itu membuat pihak provokator warga di Papua, yang akan mengerahkan warga untuk membela Enembe, berbalik jadi jiper. Mereka jadi hilang nyali. Atau, tepatnya pasrah atas jemput paksa Enembe.

Efek itulah yang paling aman. Enembe memang wajib menghadiri panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka. Ia bisa langsung ditahan. Bisa juga tidak. Tergantung hasil pemeriksaan KPK.

Perkembangan perkara ini menggambarkan, bahwa provokator pembela tersangka, memang ada. Entah dibayar atau tidak. Bermula di Pulau Jawa. Merembet ke Papua. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda