Surabaya Belum Punya Walikota Kalimas

Teatrikal sepakbola di sedimentasi Sungai Kalimas Surabaya. (FOTO: jatimnow.com 14 Maret 2020)

COWASJP.COM – SURABAYA sudah punya Walikota Got, yaitu Almarhum dr Purnomo Kasidi. Surabaya juga punya Walikota Taman, yaitu Ir Tri Rismaharini. Kini Bu Risma menjadi Menteri Sosial. 

Tapi, Surabaya sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus sampai sekarang belum punya Walikota Kalimas.

Padahal sungai yang mengalir dan membelah Kota Surabaya itu sangat vital. Surabaya boleh saja tidak memiliki taman, tapi Surabaya mustahil bertahan “hidup” tanpa sungai. Yaitu Kali Surabaya yang kemudian bercabang dua. Ke timur adalah Kanal Jagir, ke utara adalah Kalimas.

Para penguasa Kota Surabaya, termasuk para Wakil Rakyatnya di DPR Kota dan para warganya belum pernah memperlakukan dan merawat sungai sesuai dengan martabat dan peran vitalnya. Sungai diposisikan sebagai halaman belakang. Tempat pembuangan sampah dan dianggap tak penting. Baru dianggap jika banjir melanda.

BACA JUGA: Musim Salju Itu Indah, tapi juga Berat, Berjalan pun Susah

Timbunan sampah plastik masih terapung di mana-mana. Apalagi di saluran sekunder dan tertiernya. Mulai sampah rumah tangga, sampah pasar, sampah pabrik dan sebagainya. Padahal dari sungai itulah PDAM Surabaya mengambil bahan bakunya.

Kapan sungai dikembalikan fungsinya seperti zaman Majapahit dan kolonial Belanda dulu? Yaitu sebagai salah satu jalan raya angkutan manusia dan barang? Kapan sungai dibuat bersih dan ditata indah tepiannya hingga menciptakan ruang Wisata Kalimas?

KALIMAS BISA JADI PRIMADONA PARIWISATA

Surabaya dan Jakarta kalah jauh dibanding Bangkok, ibukota Thailand, yang kini berpenduduk 10,5 juta jiwa lebih itu. Tahun 1990, Bangkok masih kumuh seperti Jakarta . Para pengendara juga masih semau gue.

Tapi 16 tahun kemudian (2006) Bangkok telah maju pesat. Berubah apik dan tertib. Bangkok sudah punya angkutan kereta api bawah tanah dan di atas tanah. Kereta apinya sangat nyaman, jauh lebih baik dibanding komuter di Surabaya. Tidak ada guncangan ketika melaju. Dan, para pengendaranya semakin tertib dan taat hukum.

Bangkok juga memanfaatkan sungainya sebagai lalu lintas penting manusia dan barang. Nama sungainya Chao Phraya. Tidak bening, tapi bersih. Hilir mudik perahu motor yang mengangkut manusia menjadi pemandangan sehari-hari di sana. Tapi bagi orang Indonesia terasa bahwa negerinya dan Kota Surabaya khususnya telah ketinggalan kereta. Mengapa orang Thailand bisa maju sepesat itu dan memosisikan sungai sesuai martabatnya, sedangkan kita tidak?

Sungai-Chao-Phraya.jpgSalah satu tepian Sungai Chao Phraya di Bangkok. (FOTO: John Borthwick - mp.theaustralian.com)

Perilaku warga di Surabaya dan Jakarta terkesan “Jahiliah”. Lebih buruk dibanding Zaman Majapahit dan kolonial Belanda! Sebagai warga negara yang mencintai Tanah (dan) Air Indonesia, kita semua telah berbuat aniaya terhadap sungai (termasuk lautnya). Tanah (dan) Air yang direbut kembali dengan sangat susah payah oleh para Pejuang Kemerdekaan. Berdarah-darah dan perlu waktu ratusan tahun untuk kembali merdeka. Entah berapa juta jiwa yang menjadi pahlawan tak dikenal. Sejak Perang Diponegoro, Perang Imam Bonjol, Perang Cut Nyak Dien, Perang Pattimura dan banyak lagi pahlawan bangsa lainnya. Belum lagi masa kerja paksa membuat Jalan Daendels 

TANAH dan AIR INDONESIA!! 

Belum ada seorang Walikota pun di Surabaya  yang berani mengembalikan tepian sungai Kalimas seperti seharusnya. Begitu juga walikota-walikota lain yang kotanya dilintasi sungai penting. 

Tepian (bantaran) sungai harus bebas dari semua bangunan! Sehingga pekerjaaan mengeruk lumpur dan sampah akan mudah dilakukan di mana-mana. Sehingga tepian seluruh Kalimas bisa disulap menjadi Taman dan berbagai fasilitas wisata. Dibangun halte-halte perahu motor. Dan masih banyak lagi yang harus dilakukan untuk menebus kesalahan besar kita saat ini terhadap sungai.

Belum ada seorang Walikota pun di Surabaya – bersama para Wakil Rakyat Terhormat di DPR Kota - yang berani memberlakukan denda minimum Rp 1 juta bagi siapa pun yang membuang sampah ke Kalimas dan Kanal Jagir. Belum ada seorang pun Polisi Air di Surabaya. Yang dijaga hanya Tanah dengan segala permasalahannya. Tapi Airnya: sungainya, dibiarkan merana tak terjaga dan tak terawat. Ketidakadilan kronis. 

Berdasarkan tulisan von Faber (dalam Handinoto, 1996) terlihat bahwa sungai yang melewati Kota Surabaya (dalam hal ini Kalimas) mempunyai peran penting dalam penciptaan jaringan jalan Kota Surabaya di masa lalu. Pola jaringan jalan utama Kota Surabaya selalu mengikuti pola aliran Kali Surabaya/Kali Mas dan cabangnya. Hal ini disebabkan konsentrasi penduduk Kota Surabaya memang berada di tepian kedua sungai tersebut.

Akibat pola jalan yang memanjang mengikuti aliran sungai dari Selatan menuju ke Utara serta penduduk yang terkonsentrasi di kedua tepian sungai, maka konsekuensinya adalah banyak ditemukan jembatan, yang menghubungkan ppenduduk di kedua tepian sungai, misalnya jembatan Patok, Peneleh, Bibis, Kalianyar, Jagalan, Genteng (van Deventerlaan) dan Cantikan. 

Pada tahun 1950an jumlah jembatan bertambah ke arah selatan, misalnya Jembatan Gubeng, Wonokromo, Sonokembang.

suhu1.jpgEcoton saat mengambil sampel di Kalimas Surabaya. (FOTO: Dokumentasi Ecoton - idntimes.com)

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 1825, pusat Kota Surabaya masih terletak di daerah Jembatan Merah tepatnya sebelah Barat Jembatan Merah berikut pemukiman orang Eropa (Handinoto, 1996). Penduduk etnis Cina, Arab dan Melayu berdiam di sebelah timur Jembatan Merah. Sedangkan penduduk asli Surabaya menyebar sepanjang Kalimas di sebelah Selatan kota.

Pada jaman dahulu (sekitar abad 18), berdasarkan von Faber (dalam Handinota, 1996), Kalimas menjadi sumber kehidupan baik sebagai bahan baku air untuk persawahan juga sebagai bahan baku air bersih.
Selain sebagai sumber air, Kalimas juga menjadi penampung air untuk pematusan dan pembuangan limbah. Bahkan kondisi kesulitan mengendalikan banjir juga dialami Kota Surabaya sejak jaman dulu. Sekitar tahun 1800an daerah sekitar Simpang sering terganggu banjir luapan Kalimas di musim hujan.

Untuk mengatasi banjir, maka Pemerintah Belanda membangun kanal-kanal, misalnya tahun 1856 dibangun banjir kanal menuju Selat Madura dan bendungan air di Jagir. Selain itu dalam upaya untuk melestarikan sungai, bangunan air lain yang dibangun di Kalimas agar tetap dapat dilayari sampai Kali Surabaya adalah pembangunan pintu air di Gubeng dan Gunungsari antara tahun 1889 sampai 1899

Tapi setelah itu pernahkah Surabaya dan Indonesia membangun kanal baru untuk mengatasi problem banjir? 
Pertambahan bangunan pun kacau. Bangunan liar mepet sungai menjalar di mana-mana.

Melihat apa yang dilakukan penguasa tempo doeloe, makin terasa betapa statisnya perkembangan Kota Surabaya saat ini. Walaupun Bu Risma sudah kemilau di mata dunia berkat gebrakan-gebrakannya membangun berbagai Taman Indah di Surabaya. Akan tetapi, Bu Risma hanya mengurus Tanah Surabaya. Belum menggarap secara serius dan revolusioner Air Surabaya.

Frontage silakan dibangun. Jalan silakan dilebarkan. Selebar 80 meter sekalipun! Tapi selama Anda hanya menyentuh Tanah Surabaya berarti Anda belum mencintai Tanah Air Indonesia secara benar dan utuh! 

Jadi sehebat apapun Anda di mata dunia, kami pecinta Tanah Air belum pernah mengakui kedahsyatan Anda. Titik!

DI BENGAWAN CHAO PRAYA, SEJARAH THAILAND MELINTAS

Sungai Chao Phraya adalah sungai terpanjang dan terpenting di negara Thailand. Panjangnya 372 kilometer mengalir dari utara Thailand menuju ke Teluk Thailand (Teluk Siam) di selatan. Sungai ini membentuk Lembah Chao Phraya atau ‘Basin Chao Phraya’. Bangkok maju pesat seperti sekarang karena adanya sungai ini. Hidup penduduk Bangkok amat bergantung kepada sungai ini.

Sungai menjadi jalan angkutan yang baik dan murah. Ada bandar-bandar kecil di sepanjang sungai Chao Phraya. Yaitu Nakhon Sawan, Uthai Thani, Chainat, Singburi, Ang Thong, Ayutthaya, Pathum Thani, Nonthaburi, Bangkok dan Samut Prakan. Begitu dituliskan Dimas Septiyanto di dimasseptiyanto.wordpress.com.

Terdapat pelbagai daya tarik di sepanjang sungai ini. Pasar terapung di sungai menjadi daya tarik para wisatawan. Banyaknya sungai dan terusan memerlukan banyak jembatan. Tapi jembatan didesain sedemikian rupa hingga perahu motor tetap bisa lewat di bawahya. Seperti desain Jembatan Merah peninggalan Zaman Belanda tempo doeloe.

suhu2.jpgTim dari Dishub Pemkot Surabaya melakukan survei untuk pemasangan rambu-rambu transportasi air di Kalimas. (FOTO: Dipta Wahyu/Jawa Pos)

Bersih dari sampah. Di sepanjang sungai itu -- di seberang, bukan di bantaran sungai -- banyak perkantoran, hotel bertaraf internasional, dan pusat perbelanjaan. Tersebutlah antara lain, Marriott, Shangri-La, Royal Orchid Sheraton, Mandarin Oriental, dan Millennium Hilton Hotel. Pusat perbelanjaan River City Shopping Complex juga berada di sekitar sungai.

Gedung-gedung penting pun berjajar di tepi sungai. Sebut saja museum nasional, gedung teater, kampus, termasuk Universitas Thammasat dan Universitas Silpakorn. Begitu pula kuil terkenal banyak dibangun di sepanjang sungai, misalnya Wat Pho, Wat Sawetta Chat, Wat Thong Noppakum, dan Wat Arun.

Bahkan, Istana Raja: Royal Grand Palace, yang dibangun tahun 1782, juga berdiri megah di pinggir seberang Sungai Chao Phraya. Inilah istana resmi raja-raja Thailand sejak abad ke-18. Ketika ibu kota Thailand dipindah ke Bangkok pada awal kekuasaan Raja Rattanakosin tahun 1782, sungai telah menjadi jalur penting transportasi. Bahkan, saat itu dibangun kanal-kanal penghubung. 

Itu sebabnya Bangkok sering disebut Venesia dari Timur.

Bengawan Chao Phraya terbentuk dari pertemuan dua arus sungai, yaitu Sungai Ping dan Sungai Nan yang berhulu di bagian utara Thailand. Pertemuan arus itu terjadi di Provinsi Nakhon Sawan. Dari titik pertemuan itu, Chao Phraya mengalir sepanjang 365 kilometer dari utara ke arah selatan dan bermuara di Teluk Thailand. Sungai ini melintasi tak kurang dari sepuluh kota, termasuk Bangkok.

Sungai dengan air berwarna coklat itu tampak bersih dari sampah. Tanaman eceng gondok tampak di bagian pinggir sungai, tetapi tidak mengganggu lalu lintas air. Tak seorang pun penumpang perahu terlihat membuang sampah ke sungai. Mereka tampak sangat mencintai sungai. Luar biasa!

Kapan kita punya seperti itu. Bahkan yang lebih baik. Untuk menjadi peninggalan terbaik yang layak diwariskan kepada anak cucu. (*) 

Penulis: SLAMET OERIP PRIHADI, mantan SD Simpang 2 Surabaya tahun 1962.

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda