Sempat Dianggap sebagai Malaikat, Amu Dihantam Berbagai Cobaan

Cak Amu dan sepedanya di halaman Monas Jakarta. (FOTO: Cowas JP)

COWASJP.COMKALI ini saya tidak akan menulis tentang deviden dan 20 persen saham karyawan yang diduga kuat ditilap oleh manajemen Jawa Pos. Sebab, pada Sabtu malam ini (2/12) saya sudah berada di titik kejenuhan terkait kasus itu. 

Terus-terang, saya muak begitu mengingat, membaca, atau mendengarkan obrolan tentang hal tersebut. Nafsu makan malam saya mendadak hilang, ketika seorang teman --yang menjadi anggota Yayasan Pena Jepe Sejahtera-- mengajak mendiskusikannya lewat telepon. 

"Saya malas banget, kalau kita harus ngobrol konflik itu. Sudahlah.... kita ngomong topik yang lainnya sajalah," elak saya.

Teman saya tadi langsung terdiam. Barangkali dia merasa heran, mengapa saya sama sekali tidak antusias menyambut ajakan dialognya tadi. Biasanya saya selalu menyambut baik obrolan bertemakan hal tersebut.

Saya berpikir simpel saja. Bahwa petinggi Jawa Pos sudah hilang kepekaan sosialnya. Lebih-lebih Dahlan Iskan, mantan CEO-nya. Di tengah perjuangan Yayasan Pena Jepe Sejahtera --yang menaungi 400-an orang mantan pegawai Jawa Pos-- dia lebih memilih keliling ke berbagai kota untuk urusan pribadinya. Padahal, dialah yang mendorong berdirinya yayasan. Saya juga mendengar kabar, bahwa personalia yayasan tidak lepas dari cawe-cawe Dahlan. 

Pembaca mungkin tidak percaya atas realita yang baru saja saya sebutkan itu. Namun, Anda boleh-boleh saja mengkonfirmasikannya ke Slamet Oerip Prihadi, salah satu pimpinan yayasan. Suhu, panggilan akrab Slamet Oerip Prihadi, sangat mudah dihubungi oleh siapa pun, kok!

Maka, saya lebih berharap tim pengacara yang mendampingi langkah hukum yayasan ke Polda Jawa Timur, untuk segera mengambil sikap yang lebih tegas. Dan, lebih aktif memantau  laporannya. Tim ini dituntut untuk lebih cerdas melakukan langkah-langkah taktis berikutnya.

BACA JUGA: Kepalang Basah, Abdul Muis Siap Tidur di Kantor Petinggi Jawa Pos​

Para pengacara yayasan harus makin memahami, bahwa lawan yang dihadapinya sekarang bukanlah orang-orang sembarangan. Bukan tokoh yang ecek-ecek. Amunisinya bergudang-gudang. Belum lagi pemilik saham dibekingi oleh konsultan hukum yang berpengalaman. Lobi-lobinya sangat kuat. Kalau boleh saya menyebut: mereka sakti-mandraguna.

Bos-bos itu tentu sudah berhitung secara cermat, apa saja yang bakal dimainkan jika laporan kepolisian tersebut berlanjut hingga ke pengadilan. Lengkap dengan saksi-saksi, dan berkas-berkas pendukung.

Jika dialog antara pemilik saham yang sebagian besar  berdomisili di Jakarta dan perwakilan yayasan tidak segera terwujud, maka --menurut hemat saya-- ini adalah awal dari sebuah bayangan gelap untuk yayasan. Sehingga pada akhirnya konflik itu harus masuk ke persidangan.

Saya sangat yakin, 1-2 tahun terakhir ini direksi Jawa Pos sudah mendengar kegaduhan tentang deviden dan 20 persen saham karyawan Jawa Pos yang dipersoalkan oleh yayasan.

Sebagaimana diketahui, yayasan telah melaporkan direksi Jawa Pos ke Polda Jawa Timur. Ini lantaran pimpinan yayasan sangat meyakini adanya kecurangan yang dilakukan oleh manajemen Jawa Pos terkait deviden dan 20 saham karyawan Jawa Pos.

Kali ini saya wajib memohon maaf kepada  teman-teman di yayasan. Sebab, saya menjadi sosok yang  pesimistis atas perjuangan Abdul Muis --mantan jurnalis sepakbola top yang pernah dimiliki Jawa Pos-- yang rela menggenjot sepeda hampir 1.000 kilometer dari Surabaya ke Jakarta, demi mengajak dialog dari hati ke hati dengan manajemen puncak Jawa Pos.

Sebab, petinggi Jawa Pos tidak merespon positif aktivitas sosial 

Amu, panggilan akrab Abdul Muis. Maksud saya, mereka tidak pernah mencoba untuk memberikan ruang dialog. Padahal saya sangat yakin akan muncul kecerahan baru, andaikan Ny Eric Samola atau Goenawan Mohamad, misalnya, bersedia menemui Amu dan perwakilan yayasan yang lainnya. Agar tercapai sebuah titik temu yang sama-sama membahagiakan.

Saya beranggapan, direksi Jawa Pos tidak membutuhkan  kredibilitas yang terjaga atas konflik di atas. Dengan demikian,  Amu dan ratusan teman-temannya di yayasan --termasuk saya sendiri-- adalah sebuah masa lalu. Sudah kedaluwarsa. Telah tutup buku. 

taufq.jpg1.jpg

Artinya, mereka tak membutuhkan masa lalu itu. Mungkin bagi direksi Jawa Pos, masa lalu hanyalah sebuah sejarah belaka. Tak perlu ditoleh sama sekali. Bahkan tanpa makna yang berarti. Mereka barangkali beranggapan,  ketika bekerja di Jawa Pos, seluruh karyawan telah mendapatkan gajinya masing-masing. Titik!

Saya kemudian teringat ucapan Amu. Bahwa pemilik saham Jawa Pos seolah-olah lupa atas sebuah kenyataan. Yakni bahwa Allah mempunyai hak atas setiap kehidupan makhluk ciptaan-Nya. 

"Di dalam hak Allah itulah terdapat masalah deviden dan 20 persen saham karyawan Jawa Pos. Dan, sudah terjadi kedzaliman selama sekian tahun yang dialami oleh saya dan teman-teman di yayasan," jelas Amu.

BACA JUGA: Abdul Muis Memang Awesome!

Amu dan 2 orang mantan wartawan Jawa Pos di Jakarta --Djoko Irianto Hamid dan Umar Fauzi-- kini mencoba untuk lebih bersabar, sekaligus berharap adanya kejujuran dari petinggi Jawa Pos.

"Semoga Goenawan Mohamad dan pemilik saham yang lainnya, segera terbuka mata-hatinya," ucap Djoko Irianto Hamid. Djoko adalah mantan jurnalis andalan Jawa Pos di bidang hukum dan kriminalitas. Sedangkan Umar pernah menjadi wartawan Jawa Pos untuk pemberitaan Istana Presiden RI.

Saat ngobrol dengan saya, Amu sempat menyeletuk,"Konflik ini muncul tidak dibuat-buat oleh saya, kamu, dan  anggota yayasan yang lainnya, lho, Fiq. Artinya, masalah ini berjalan secara alamiah," tegas Amu. "Tidak  mengada-ada," lanjutnya.

Saya manggut-manggut, tanda sepaham dengan pola pikirnya. "Mungkin selama ini pemilik saham di Jakarta hanya mendengar kabar sepotong-potong saja. Dan, mereka beranggapan bahwa masalah itu cukuplah berurusan dengan Dahlan saja," lanjut Amu, serius.

MALAIKAT BARU

Pembaca,  tolong maafkan saya karena bercerita ngelantur kemana-mana. Padahal kali ini saya cuma ingin  menuliskan penggalan kisah perjalanan Amu nggowes Surabaya-Jakarta yang dimulainya sejak Sabtu lalu (25/11).  Dia tiba di Monas sebagai lokasi finish, pada Kamis pagi (30/11).

Selama perjalanan, lelaki asal kampung Karangmenjangan (Surabaya) ini mendapat dukungan khusus dari GeSS dan Pasmanbaya. GeSS dan Pasmanbaya adalah komunitas gowes asal Kota Pahlawan.

Amu mengaku, perjalanannya menuju Jakarta adalah sebuah hal yang sangat melelahkan. Baik lahir, maupun batin.

Dari sisi finansial, misalnya, Amu tidak mengantongi bekal uang minimal Rp 2 juta untuk rute Surabaya-Jakarta, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh pegowes-pegowes senior.  

Modal nggowes-nya terbilang kurang. Hasil donasi dari anggota Cowas (Konco Lawas) Jawa  Pos. Plus beberapa orang kenalan Amu, dan sedikit uang pribadinya.

 "Alhamdulillah, untuk pulang nanti bekal saya sudah cukup, Fiq. Jadi, jangan menulis lagi kalau sangu saya sangat mepet, seperti halnya ketika saya genjot sepeda ke Jakarta," ucapnya, sambil tertawa kecil.

Saya ikutan tertawa mendengar pengakuannya itu. Bagi saya, itulah ciri khas Amu. Bicaranya blak-blakan, tanpa tedheng aling-aling. Dia tak berpikir lebih soal gengsi.

 "Saya tidak ingin lebih lama menyusahkan teman-teman selama di Jakarta, Fiq. Jadi, saya sudah punya limit waktunya," lanjut dia.

Pada prinsipnya, Amu sangat bersyukur sekaligus terharu, lantaran mendapatkan banyak simpati dari anggota Cowas. Di antaranya Didik 'Daim' Mahyudin, Sigit Supriono,  Agung Pamudjo, dan  Mas Yanto (Radar Cirebon).

Di Jakarta, Amu juga disambut dengan suka-cita oleh rekan-rekan Cowas Jabodetabek. "Alhamdulillah,  Allah telah mengirimkan teman-teman yang baik kepada saya," komentar lelaki berusia 60 tahun ini.

Mereka ikut memberikan tambahan bekal uang, madu, vitamin, makan-minum, dan penginapan, hingga tiket gratis kereta api eksekutif Jakarta-Surabaya untuk kepulangan Amu pada 5 Desember

 "Sebenarnya saya sudah merasakan kelelahan yang luar-biasa , sesampai  di Monas,"  cerita Amu. ' Tetapi, begitu menerima penyambutan dari Cowas Jabodetabek, tiba-tiba saja kelelahan itu ambyar," kenangnya.

Memang tidak mudah untuk menaklukkan jalanan Surabaya-Jakarta. Begitulah yang dirasakan oleh Amu. Selain harus menerobos panas dan hujan, serta angin kencang di beberapa titik kota, dia harus berkonsentrasi penuh agar tetap selamat. 

"Meskipun lajur sepeda saya sudah berada di garis tepi lajur kiri, tetapi sering kali bus atau truk  ngebut di lajur tersebut. Kalau tidak waspada, ya bakal terjungkal, atau diserempet bus dan truk," kenang Amu. "Jadi, saya memang harus hati-hati. Beberapa kali saya hampir terserempet bus," sambung dia.

Terkait keselamatan dirinya, Amu sangat bersyukur atas peranan seorang perempuan  bernama Hj Diah Suhariyani. Sosok ini adalah istrinya. "Dia sangat mendukung aksi sosial saya ini. Dia pula yang selalu mendoakan keselamatan saya di jalanan" tutur Amu.

Agar hati istrinya selalu tenang, maka Amu punya cara tersendiri. "Begitu tiba waktu istirahat nggowes, saya mem-video call-nya," kata  Amu. "Jadi, dia tahu posisi dan kondisi suaminya," sambungnya.

Amu beranggapan, keberhasilannya nggowes hingga finish di Monas, tidak lepas dari sikapnya yang ekstra sabar. "Alhamdulillah, Allah memudahkan saya menggenjot sepeda. Tetapi, saya diminta-Nya untuk mengawal Pak Sofwan hingga akhirnya kami berhasil tiba di Monas," cerita Amu.

Pak Sofwan yang dimaksudkan Amu adalah lelaki berusia 68 tahun asal kampung Sidotopo (Surabaya). Dia ikut menemani Amu nggowes menuju Monas. 

Namun, karena tidak memiliki pengalaman nggowes ratusan kilometer, maka mau-tidak mau Amu bertindak sebagai 'pengasuh' Sofwan.

"Tidak mungkin saya meninggalkannya.  Apalagi sejak awal kami berdua sudah sepakat untuk menjalani suka-duka bersama-sama," jelas Amu.

Lebih dari itu, keberadaan Sofwan untuk nggowes ke Jakarta juga direkomendasikan oleh pegowes senior, Sulis. Tetapi, sejak awal Sulis memang mewanti-wanti Amu untuk menjaga keselamatan Sofwan.

Asal tahu saja, selama perjalanan menuju Jakarta, Sofwan mengalami kebocoran ban depan selama 6 kali . Di sisi lain, persiapan yang dilakukannya tidak optimal.

 "Kalau tidak ekstra sabar, tentu kami berdua sudah menyerah, dan sepedanya dinaikkan mobil," papar Amu.

Amu sendiri terpaksa mengganti ban belakangnya, ketika berada di Randu Belatung, Blora (Jawa Tengah). Beruntunglah dia karena mendapat bantuan dari Imam Pramono, salah satu dedengkot komunitas gowes di sana.

Bagian velg belakang sepeda Amu juga 'berantakan'. "Inilah perjalanan nggowes yang paling melelahkan lahir dan batin bagi saya," katanya.

Bahkan ketika berada di Pekalongan, Amu nyaris putus harapan. Sebab, dia dan Sofwan ketinggalan jarak sekitar 35 kilometer dari beberapa orang  pegowes yang ikut menemaninya tur ke Jakarta itu.

Itu lagi-lagi disebabkan oleh ban depan sepeda Sofwan yang mengalami kebocoran. Jadi, Amu terpaksa bermalam di Pekalongan,  sedangkan rombongan pendampingnya sudah berada di Pemalang. 

Ketika berada di Kabupaten Karawang, Sofwan sempat terjatuh dari sepedanya. Akibatnya, bahunya mengalami cedera. Namun, dia tetap nekat saja. 

Baginya, lebih baik bersakit-sakit dibandingkan harus pulang paksa ke Surabaya lantaran gagal nggowes hingga finish di Monas.

"Saya tidak mungkin pulang ke Surabaya dengan catatan kondisi gagal nggowes secara total ke Jakarta.  Lha, orang-orang di kampung saya terlanjur tahu, bahwa saya turing ke Jakarta mendampingi Amu," cerita Amu menirukan alasan Sofwan. "Kalau saya gagal, waduuuuh.... betapa malunya saya," lanjut dia.

Sofwan pula yang menjuluki Amu sebagai malaikat. "Haaa...haaa... Pak Sofwan sempat menyeletuk di Pekalongan, bahwa saya adalah malaikat bagi dia," tutur Amu. "Kepada saya, Pak Sofwan tidak bisa membayangkan kondisinya, jika tanpa pendampingan oleh  saya," lanjutnya.

Amu mengaku rata-rata hanya tidur selama 3 jam di setiap titik bermalam. Bersama Sofwan, dia sempat menikmati tidur malamnya di sebuah warung bergaya kafe, dan pom bensin. 

Menjelang subuh, dia punya pekerjaan rutin. Yakni mencuci pakaiannya yang basah- kuyup oleh keringat, dan air hujan. Pakaian yang sudah dicucinya itu kemudian diletakkannya di boncengan sepedanya. 

"Karena kena sinar matahari dan angin di sepanjang perjalanan, maka pakaian itu kering dengan sendirinya," ucap Amu.

Ada sebuah peristiwa bernuansa spiritual yang dialami Amu. "Saya dan Pak Sofwan sempat sowan ke makam Sunan Gunung Jati. Tetapi, itu sebenarnya tidak kami sengaja untuk ke sana," kenangnya.

Ketika itu Amu bertanya ke beberapa orang di pinggir jalan, ke mana harus mengayuh sepeda ke arah Cirebon. Atas petunjuk mereka, Amu dan Sofwan menggenjot sepedanya dengan penuh semangat. Hingga pada akhirnya Amu melewati depan lokasi makam Sunan Gunung Jati.

Maka, Amu pun terpaksa mengejar Sofwan untuk berputar kembali ke makam salah satu Wali Songo tersebut. Sebab, posisi Sofwan memang terlanjur berada di depan Amu.

Nah, di depan makam Sunan Gunung Jati itulah Amu berdoa secara khusuk. Dia memohon pertolongan-Nya agar makin dilancarkan perjalanannya menuju Jakarta. "Sangat berat, Fiq beban yang harus saya pikul. Khususnya membawa misi yayasan tersebut," alasan Amu kepada saya.

Dia sangat bersyukur, lantaran langit mendadak menjadi teduh.  Suhu udara pun sejuk selama perjalanan Cirebon ke Karawang. "Udaranya benar-benar enak untuk nggowes. Segar!" kata Amu.

Namun, ketika sudah masuk  Karawang, mobilitas sepeda Amu dan Sofwan terhambat adanya sekelompok massa  yang melakukan demonstrasi. Inilah yang membuat jalanan macet total.

Karena itulah Amu dan Sofwan terpaksa menuntun sepedanya agar bisa menerobos kemacetan. Di tengah kegalauan itu, tiba-tiba saja Sofwan ambruk bersama sepedanya. Sebab, dia mengalami kelelahan yang luar-biasa.

Beruntunglah Sofwan karena ketika tubuhnya terjatuh, tidak ada motor atau mobil yang menabraknya.  Bahunya hanya mengalami cedera ringan saja.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda