IRA: Ketika Warna Hijau Menjadi Merah

Foto: Istimewa

COWASJP.COM – Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada 16 Agustus 2022 lalu mengeluarkan UU Federal baru yakni Inflation Reduction Act/IRA (UU Pengendalian Inflasi).  Dalam UU ini pemerintah AS menyediakan stimulus berupa insentif anggaran  sebesar USD 386 miliar selama sepuluh tahun untuk mengurangi emisi karbon pada akhir dekade ini. 

UU ini juga ditujukan untuk menurunkan biaya perawatan kesehatan, mendanai Badan Perpajakan Federal (Internal Revenue Service), dan meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Dana tersebut akan diberikan melalui campuran insentif pajak, hibah, dan jaminan pinjaman. 

Dalam UU ini pendanaan industri hijau (green industry) untuk listrik bersih (clean electricity) dan transmisi memegang porsi terbesar, diikuti oleh transportasi bersih, termasuk insentif untuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV). 

Subsidi ini juga meliputi efisiensi energi, hidrogen hijau (green hydrogen), penyimpanan baterai (battery storage) termasuk juga teknologi baru untuk carbon capture and storage (penangkapan dan penyimpanan karbon). Dalam insentif kredit pajak, IRA memberikan insentif untuk mendorong semua sumber energi menjadi minim-karbon (zero-carbon) mencakup energi yang bersumber dari angin, matahari, panas bumi, nuklir dan lainnya

Tahun sebelumnya, yakni November 2021 pemerintah AS juga membuat UU yang juga memberikan insentif untuk pengembangan energi hijau dan beberapa sektor lainnya dengan memberikan insentif anggaran sebesar $US 1,2 Triliun  untuk perbaikan dan investasi dibidang infrastruktur (The Infrastructure and Investment Jobs Act/ Bipartisan Infrastructrure Law).  

Pendanaan dalam UU infrastruktur ini sangat luas jangkauannya seperti infrastruktur energi dan listrik,  jaringan internet pita lebar (broadband internet), infrastruktur air bersih dan juga untuk mengatasi berbagai kebutuhan  infrastruktur pada tingkat lokal (county).

Sebuah pemodelan oleh Grup Rhodium menyoroti dampak pengurangan emisi yang substansial dari keluarnya UU ini. Di bawah skenario bisnis seperti biasa (tanpa IRA), AS diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) antara 24% dan 35% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat tahun 2005. Pengurangan ini jauh dari target pengurangan 50-52% yang ditetapkan dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) AS terbaru. 

Dengan disahkannya IRA, pengurangan gas rumah kaca diperkirakan akan mencapai 31% hingga 44% pada tahun 2030 dan karenanya AS melalui penerbitan UU ini dapat memenuhi komitment NDC-nya.

Hal terpenting lainnya dari dari UU IRA dan Bipartisan Infrastructure Law (BIL) ini adalah  untuk mengembalikan kebangkitan industri manufaktur AS atas serbuan produk-produk industri hijau dari Cina. Diharapkan dengan adanya beragam insentif bagi industri energi terbarukan, ekonomi Amerika lebih bertenaga, dapat bersaing dengan produk dari luar dan membuat “Made in America” berjaya di kampung sendiri (Buy in America), sebuah upaya tertunda dari “Make America Great Again”. 

Dalam hal perdagangan energi hijau pada tahun 2022 lalu, AS mengimpor baterai senilai USD 13, 90 miliar dimana USD 9,3 miliar baterai impor dari Cina,  Korea 1,29 miliar dan dari Jepang senilai 0,98 miliar, sedangkan sisanya impor dari Polandia, Hungaria, Jerman dan beberapa negara lain. Impor baterai listrik ini naik dari sebelumnya tahun 2021 USD 8,27 miliar dan tahun 2020 senilai USD 4,81 miliar. Amerika mengimpor 100 persen graphite dan logam jarang, kobalt 75 persen dan litium sebesar 50 persen dari Cina.

Semenjak IRA diundangkan industri manufaktur Amerika terutama yang berkaitan dengan energi terbarukan dan rantai pasoknya telah menggeliat dan meresepon dengan cepat. Terdapat lebih dari 25 proyek besar yang baru dan menambah potensi USD32 miliar dalam investasi modal dan menambah 20.000 tenaga kerja baru.  Menurut Goldman Sachs, agar IRA ini berhasil diperlukan investasi sebesar USD 3 Triliun hingga tahun 2032.

Persoalannya adalah, sudah hampir dua dekade ini Amerika kehilangan cengkeramannya sebagai negara pemimpin produksi industri energi bersih (green energy) atau energi terbarukan (renewable energy). Cina mendominasi dan mengontrol hampir keseluruhan industri energi terbarukan baik dari sumber daya (mineral resources), rantai suplai (supply-chain), manufaktur maupun inovasi teknologi. Ganjilnya sebagain kekuasaan Cina atas sumberdaya mineral energi terbarukan juga berkat bantuan AS seperti yang dilakukan oleh putra Presiden AS, Hunter Biden.

Pada tahun 2016 Hunter Biden melalui perusahaan patungannya dengan Cina BHR terlibat memfasilitasi perusahaan Cina, China Molybdenum untuk mengakuisisi tambang kobalt terbesar di Kongo sebesar USD 2,65 miliar, Tenke Fungurume milik perusahaan AS Freeport-McMoran. Hunter Biden juga dianggap turut membesarkan CATL perusahaan pembuat baterai untuk mobil listrik. CATL saat ini adalah perusahaan baterai terbesar di dunia dan telah membuat perjanjian dengan perusahaan otomotif Amerika Ford untuk memasok baterai mobil listrik yang diproduksi oleh Ford di Amerika.

Amerika sebelumnya juga secara tidak sengaja turut membesarkan Cina untuk menguasai teknologi magnet neodymium-boron (NdFeB) yang dikembangkan oleh General Motors (GM) dan Hitachi, dimana paten teknologi tersebut ada pada perusahaan patungan Magnequench. Pada tahun 1995, dua kelompok Cina bergabung dengan perusahaan investasi AS dan berusaha mengakuisisi Magnequench. Akuisisi tersebut disetujui dengan syarat bahwa Cina setuju untuk menjaga perusahaan di Amerika Serikat selama setidaknya lima tahun. Sehari setelah kesepakatan berakhir, perusahaan menutup operasinya di AS, karyawan di-PHK, dan seluruh bisnisnya kemudian dipindahkan ke Cina. Pada tahun 1998, 90 persen produksi magnet dunia berada di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Dalam satu dekade kemudian, sebagian besar industri magnet telah pindah ke China.

Yang terbaru dalam penguasaan Cina atas sumber daya mineral untuk energi hijau adalah ketika Amerika pergi meninggalkan Afganistan. Perusahaan Cina dengan sigap membuat banyak kesepakatan dengan pemerintah Afganistan untuk mendapatkan konsesi tambang tembaga dan juga litium, jenis mineral yang sangat diperlukan untuk pembuatan baterai listrik. Hasil riset dari USGS lembaga Geologi AS menjadi acuan penguasaan tambang di Afganistan oleh Cina.

Keinginan Amerika untuk melipagandakan produk yang berkaitan dengan teknologi hijau (green technology) nampaknya akan berhadapan dengan realitas geopolitik energi hijau yang dikuasai CIna. Saat ini kapasitas manufaktur di Amerika tidak bisa mencukupi dirinya sendiri dan sangat banyak produk impor yang harus diakukan, kendala distribusi rantai suplai yang dikuasai Cina akan menjadi kendala serius. Di bidang industri energi hijau Cina menyumbang 90% dari investasi selain penguasaan sumberdaya mineral di berbagai negara. 

Di Indonesia misalnya, saat ini penguasaan nikel –mineral penting dalam industri baterai- dikuasai oleh investor dari Cina. Penguasaan Cina di bidang hilirisasi tambang bisa kita lihat secara terbuka ketika salah satu perusahaan tambang dan pengolahan nikel di Maluku Utara menerbitkan Prospektusnya dalam rangka mendapatkan dana publik melalui penjualan saham di Bursa Indonesia. Disana disebutkan bahwa perusahaan lokal mengadakan bentuk usaha joint venture dan juga kerjasama strategis dalam bidang pertambangan dan pengolahan feronikel dengan perusahaan dari Cina.

Bagi Indonesia UU IRA ini menjadi tantangan tersendiri dalam konteks rantai suplai industri manufaktur. Hilirisasi nikel yang berujung pada gugatan di WTO menjadikan pemerintah harus bekerja ekstra keras dan lebih fokus, mengingat sudah ada komitmen investasi dari beberapa investor luar untuk  untuk pembuatan baterai untuk mobil listrik sebelum UU IRA ini dikeluarkan. Perlu ada penguatan dan sinergi  di pemerintah agar dapat memetik keuntungan perdagangan dan investasi dari kebijakan Amerika mengenai subsidi energi hijau ini. Bukan tidak mungkin keingingan untuk melakukan hilirisasi (semi fisnished & finished product) akan dijegal dari dalam negeri sendiri. Hal ini bukan tidak mungkin, mengingat pelaku bisnis di Indonesia masih banyak yang hanya menginginkan rente (rent seeker) dari dari sumber daya mineral dan tidak mau bekerja keras untuk melakukan peningkatan nilai (value added) dari sumber daya yang ada. (*)

Pewarta : -
Editor : Erwan Widyarto
Sumber :

Komentar Anda