Pertemuan Tak Sengaja di Warkop Wong Java

Aku, Suhu, dan Gancu...

Ony Rony (kanan, penulis) dan Slamet Oerip Prihadi. (FOTO: Dok. Ony Rony)

COWASJP.COMTak sengaja bertemu dengan Suhu (sebutan untuk guru) di sebuah warkop (Wong Java) dekat kantor (Graha Pena Surabaya). Penampilannya tetap sederhana, seperti 21 tahun lalu ketika kali pertama saya bertemu beliau. Usia beliau saat ini ---kalau tidak salah-- sudah 72 tahun. 

Setelah pertemuan itu, saya tergerak untuk menulis kenangan masa lalu. Sebuah cerita yang mengubah saya menjadi seperti sekarang. Meski sekarang pun saya bukan siapa-siapa.. wkwkwk.

***

Graha Pena, Senin, 6 Mei 2002

 LUTUT saya gemetar melihat gedung Graha Pena, Surabaya, yang menjulang tinggi. Grogi. Maklum, saya berasal dari sebuah desa kecil di pelosok Probolinggo yang jarang melihat gedung pencakar langit. Di kota kelahiran saya, gedung tertinggi hanya berlantai 2 atau 3. Tidak ada mal. Sampai sekarang pun tidak ada mal besar. Entah mengapa. 

 Jangan bayangkan gedung Graha Pena seperti sekarang. Waktu itu, ruang lobi tidak tertutup. Bagian atas masih terbuka. Belum ada stan-stan makanan dan toko seperti sekarang. Karena ruang lobi masih terbuka, beberapa orang yang baru keluar dari lift bisa langsung merokok. Tidak ada yang melarang. 

 Saya berhenti di depan lift. Agak canggung untuk masuk. Sebab, saya belum pernah naik lift. Waktu kuliah di Malang, saya hanya pernah merasakan naik eskalator di pertokoan Ramayana dan Gajah Mada. Itu saja senangnya bukan main. Merasa seperti orang paling modern. Wkwkwk.

Hari itu adalah hari pertama saya menjalani pendidikan jurnalistik di Jawa Pos. Saya termasuk satu dari 14 pelamar yang lolos seleksi penerima beasiswa Sekolah Jurnalistik Jawa Pos (SJJP). Beasiswa yang saya terima per bulan sebesar Rp 400 ribu. Lumayan untuk ukuran tahun 2002. Tentu girangnya bukan main. Bisa sekolah gratis, dapat bayaran lagi. 

 Waktu itu saya sebenarnya sudah bekerja di pabrik plastik di daerah Benowo. Meski bergelar sarjana teknik mesin, pekerjaan saya bukan teknisi atau mekanik. Saya kuli. Dalam arti sebenarnya. Tugas saya menaik-turunkan karung-karung dari truk. Karung itu berisi serpihan plastik bekas. Kadang sampai puluhan karung. Lalu menuangkan isi karung ke mesin pengolah plastik. Hasil akhirnya berupa pelet atau bijih plastik. Kecil-kecil seperti beras. Pekerjaan yang keras itu membuat badan saya jadi berotot tanpa perlu ke gym. Wkwkwk. 

Penampilan saya saat kerja di pabrik mirip pemulung. Hanya pakai sandal jepit, celana jins yang dipotong selutut, dan memegang gancu besi. Gancu yang ujungnya dibuat mirip pengait itu berguna jika ada plastik yang terselip dan nyangkut di sela mesin. Saya raih plastik itu pakai gancu, lalu memasukkannya kembali ke lubang mesin.

 Gaji saya waktu itu Rp 15 ribu perhari dengan masa kerja 12 jam. Jadi, sehari hanya dua sif. Sif pertama jam 07.00 sampai 19.00. Sif kedua jam 19.00 sampai 07.00. Kalau kebagian sif kedua, rasanya sebal sekali. Sebab, saya harus melek dari jam 19.00 sampai 07.00. Mau tidur sebentar, takut dibentak mandor pabrik. Bisa bayangkan bagaimana rasanya?

Karena itu, ketika nama saya lolos sebagai penerima beasiswa SJJP, bahagianya bukan main. Saya sampai jingkrak-jingkrak di dalam kamar rumah yang sempit. Selamat tinggal pabrik plastik. Selamat tinggal gancu.Wkwkwk.

Kembali ke gedung Graha Pena. Saya naik ke lantai 16. Di sanalah saya dan 13 teman bertemu untuk kali pertama dengan Bapak Slamet Oerip Prihadi. Di Jawa Pos, beliau punya nama beken: Suhu. Belakangan saya sadar jika nama itu bukan asal. Beliau benar-benar Suhu. Di dunia jurnalistik. Tapi, beliau sangat low profile. Bukan sosok yang doyan tampil di depan umum. Padahal, ilmu jurnalistiknya sangat mumpuni. Mungkin hanya satu tingkat di bawah Dahlan Iskan.

grafis.jpgGRAFIS: Jawa Pos.

Saya yang awalnya buta jurnalistik, menjadi tahu bagaimana dunia wartawan sesungguhnya. Dunia yang selama ini hanya saya ketahui dari koran dan televisi. Suhu lah orang pertama yang mengajari kami cara liputan, mewawancarai narasumber, hingga menuangkannya dalam bentuk tulisan. Suhu juga mengajari kami kiat-kiat liputan yang tidak ada di buku-buku jurnalistik. Kami, 14 orang itu, benar-benar ditempa dengan sabar oleh Suhu. 

Saat selesai pelatihan, kami diminta langsung bergabung dengan para wartawan ’’asli’’ di Jawa Pos. Waktu itu, kultur kerja Jawa Pos sangat keras. Keras dalam arti positif. Mental kami benar-benar digembleng untuk menjadi wartawan yang disiplin dan pantang menyerah. Beberapa dari kami sempat oleng. Namun, Suhu dengan penampilannya yang kalem bisa meyakinkan kami untuk bertahan. Meski akhirnya beberapa dari kami memutuskan mundur dan memilih profesi lain. Ada juga yang tetap jadi wartawan, tapi di media lain. Tidak ada yang salah dengan itu. Semua punya pilihan hidup masing-masing.

Saya sendiri termasuk yang bertahan di Jawa Pos sampai sekarang. Sudah 21 tahun. Dan akan tetap di sini sampai tenaga tidak lagi dibutuhkan. Didikan Suhu lah yang membuat saya bertahan dengan profesi ini. Profesi yang telah menjadi bagian dari jati diri saya. Profesi yang membuat saya mampu menghidupi anak-istri. Profesi yang selalu saya banggakan, apapun kondisinya. Setiap ada orang bertanya tentang pekerjaan saya, dengan segala kebanggaan dan tanpa kesombongan saya akan menjawab: "Saya wartawan Jawa Pos..!"
Terima kasih, Suhu. (*)

Penulis: Ony Rony(nama asli Firzan Syahroni ST), Front Page Editor Jawa Pos

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda