Sang Begawan Media

Gunung Kawi

Film Gunung Kawi produksi tahun 2017. (FOTO: jpnn.com)

COWASJP.COM – SAYA mampir ke Gunung Kawi Minggu sore lalu. Saya ingin tahu masihkah gunung itu identik dengan Tionghoa. Setidaknya begitu kesan saya sejak lama. Begitu populer gunung di perbatasan Malang-Blitar ini. Terutama bagi orang punya keinginan tertentu. Misalnya agar bisa kaya. Kelenteng Kwan Im itu dianggap tempat berdoa yang mabrura.

Mungkin sudah 20 tahun saya tidak ke Gunung Kawi. Sampai-sampai saya tidak tahu kalau sudah ada jalan tembus dari utara Kepanjen langsung ke Kawi. Saya masih menuruti ingatan lama: Malang-Kepanjen-Sumberpucung-Karangkates-Wlingi, baru naik ke utara. Praktis memutar dulu setengah lingkar Kawi. 

Ternyata sudah berubah banyak.

"Perubahan terbesar akibat pandemi," ujar Yana, pewaris juru kunci Gunung Kawi saat ini. "Saya sampai jual tanah dan kuras  tabungan," tambahnya.

Kini tidak ada lagi pemandangan kotor, semrawut, dan kumuh yang dulu mendominasi Kawi. Jalan dari tempat parkir menuju kelenteng memang masih harus lewat gang itu, tapi tidak ada lagi yang kaki lima di sepanjang lorong itu. Juga sudah terlihat tertata dan bersih.

Selama Kawi tutup akibat Covid-19, Yana melakukan pembenahan. Ia bangun toko-toko permanen di sepanjang jalan dekat gapura itu. Juga di gang itu. Semua pedagang kaki lima dimasukkan ke toko-toko baru itu. 

Itulah yang membuat Yana menguras tabungannya. Juga menjual 3,5 hektare tanahnya di luar kompleks kelenteng ini. Toko-toko itu boleh ditempati pedagang kaki lima secara gratis.

"Mereka kan penduduk asli di sini. Tidak mungkin kuat bayar sewa," ujar Yana. Hanya saja kemampuannya membangun toko permanen itu hanya sepertiga dari jumlah pedagang. Maka dilakukan musyawarah dengan seluruh pedagang kaki lima. "Akhirnya kami sepakati satu toko dipakai tiga orang," ujar Yana. Cara pakainya diserahkan ke masing-masing kelompok tiga orang itu. Ada yang gantian hari. Ada juga yang memajang dagangan secara bersama.

Kalau tidak ada pandemi, kesepakatan seperti itu mustahil dicapai. "Hari itu tidak ada pilihan lain bagi kami. Sepakat atau mati," ujar seorang pedagang di situ.

Hari itu saya menemui seorang suhu dari Jakarta yang sudah lebih dulu tiba di Kawi. Ia menunggu di lobi Hotel Gunung Kawi. Hotel ini sekelas bintang tiga. Yang membangun konglomerat Liem  Sioe Liong almarhum. Bukan sebagai investasi. Ia tidak memiliki hotel itu. Ia hanya ingin agar di Kawi ada fasilitas seperti itu.

Pemilik hotel tetap penduduk setempat. Pemilik lahan di situ. Ia orang Tionghoa. Sudah turun-temurun lahir di situ.

Kawi memang gabungan unik Islam, Tionghoa, dan Kejawen. Di depan hotel ini ada tempat semedi yang besar.

Suhu itu ternyata membawa rombongan. Termasuk orang dari Malaysia. Dari hotel kami pun menapaki jalan menanjak menuju gerbang Kawi. Saya berhenti sebentar untuk bertanya soal padepokan tempat semedi itu.

Dari gerbang itu kami terus menanjak. Melewati toko-toko baru yang dibangun Yana. Lalu di kanan jalan terlihat masjid Agung tadi. Di kiri jalan ada gedung hijau: tempat pergelaran wayang.

Di Kawi lah pertunjukan wayang terbanyak se Indonesia. Saking banyaknya, satu malam bisa ada dua pertunjukan. 

Di gedung itu sudah tersedia gamelan, pakeliran berikut penabuhnya. Dalangnya bisa dibawa dari luar tapi lebih banyak menggunakan dalang domestik.

Setelah masjid Agung itulah, juga di kanan jalan, kelenteng Dewi Kwan Im berada.

Baik masjid maupun kelenteng yang membiayai pembangunannya sama: Liem Sioe Liong.

Di seberang kelenteng itu, kata di kiri jalan ada bangunan sanggar pemujaan. Kelihatannya untuk aliran Kejawen.

Tentu saya juga masuk ke kelenteng Kwan Im. Meletakkan bunga di depan sang Dewi. Saya ikut saja apa yang dilakukan Suhu. Lalu pindah ke ruang ciamsi di sebelah Kwan Im. Untuk kali pertama saya melakukan ciamsi: melempar dua keping benda ke atas. Setelah keduanya jatuh ke lantai baru diketahui apakah saya boleh melakukan aktivitas berikutnya: mengocok ciamsi. Sampai salah satu benda mirip chop steak itu ada yang jatuh ke lantai. Ada nomor di benda itu: nomor saya 29. Saya harus bertanya apakah saya boleh menggunakan nomor itu. Caranya bertanya: saya harus menjatuhkan benda dua keping tadi. Kalau dua-duanya tengkurap di lantai berarti saya tidak boleh menggunakan nomor 29 itu. 

Saya harus mengocok ciamsi lagi. Kali ini yang jatuh nomor 22. Masih belum diizinkan. Saya kocok lagi: yang keluar nomor 19. Saya minta izin lagi. Benda dua keping yang saya lembar itu menghadap ke langit: berarti saya diizinkan menggunakan nomor 19 itu. 

Maka petugas jaga memberi saya selembar kertas bernomor 19. Di situ ada uraiannya: apa arti nomor 19 bagi saya. Anda sudah tahu: saya tidak percaya isi tulisan itu. Tapi aneh, isinya persis seperti prinsip hidup saya. 

Dari kelenteng kami menanjak lagi. Memasuki gerbang makam. Lalu menanjak lagi sampai bangun cungkup makam yang besarnya sekitar 8 x 8 meter. Makam lagi tutup. Makam ini memang tutup antara pukul 12.00 sampai 14.00. Lalu tutup lagi antara pukul 16.00 sampai 19.00. Malam hari ditutup antara pukul 22.00 sampai pukul 08.00. Itu adalah waktu-waktu umat Islam menjalankan salah duhur dan magrib.

Saya menuju samping makam itu. Ada masjid yang cukup untuk 200 orang. Terlihat banyak orang di dalam masjid: lagi tahlilan. Saya ikut tahlil bersama mereka. Mereka rombongan 60 orang. Satu bus besar. Semua warga NU. Mereka lagi tur ziarah: Makam Bung Karno, Makam Gunung Kawi, dan masjid 1000 pintu di Turen.

Tentu saya ingin ketemu pewaris juru kunci makam itu. Rumahnya di kiri jalan sebelum gerbang makam. Yakni rumah beton seperti rumah orang berada di kota.

Di ruang tamunya saya lihat ada simbol kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat. Lalu ada foto-foto tua.

"Benarkah itu simbol Keraton Yogyakarta?" tanya saya sambil menunjuk ke arah logo tersebut.

"Benar," jawab Yana. "Kami berasal dari Yogyakarta," ujarnya.

"Itu foto siapa?" tanya saya sambil menuju foto orang tua di dinding.

"Buyutnya ayah saya," katanya. "Beliau meninggal tahun 1871," tambahnya.

Mendengar tahun itu saya pun menebak: ini pasti ada hubungannya dengan Perang Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, pengikutnya lari ke segala arah. Termasuk ke Tegalsari di Ponorogo dan ternyata ada yang sampai ke Gunung Kawi ini.

"Benar sekali. Beliau salah satu panglima perang Diponegoro," ujar Yana.

"Berarti ada pohon sawo kecik di lingkungan ini?" tanya saya.

"Iya. Ada. Pohonnya di sana itu," jawabnya. "Juga ada pohon dewa ndaru," tambahnya.

Salah satu yang ikut lari ke Kawi ini adalah seorang Tionghoa. Namanya dikenal dengan Pek Yam (Tan Ki Yam). Ia orang kepercayaan Mbah R.M. Imam Soedjono. "Makam beliau di sana itu," ujar Yana.

Maka makam paling keramat di Gunung Kawi ini sebenarnya makam ulama tarekat. Para pejuang Perang  Diponegoro adalah para ulama tarekat.

Anda mungkin lebih tahu mengapa Gunung Kawi lantas bertransformasi menjadi lambang tempat berdoa untuk menjadi kaya.

Saya pun sering menjadikan Gunung Kawi sebagai contoh dalam ceramah tentang fokus: Gunung tidak perlu tinggi, yang penting ada Dewanya; sungai tidak perlu dalam yang penting ada naganya.

Ketinggian Gunung Kawi hanya 2.551 meter. Tapi mengapa yang datang ke sana lebih banyak dari Gunung lainnya yang lebih tinggi.

Orang tidak harus menjadi yang terkaya, terkuasa, terpandai, tercantik, dan seterusnya. Yang penting orang punya kehebatannya sendiri-sendiri. (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan

Edisi 9 Desember 2022: Tunggu Ahli

M.Zainal Arifin

KORBAN. Berasal dari bahasa Arab. Qurbaan. Satu akar kata dg karib, akrab, dekat. Qoroba, yaqrobu. Menyerahkan sesuatu untuk mendekatkan diri pd Tuhan, dg sengaja atau tidak. Hewan kurban: kambing, sapi di 'Iidu lAdhcha. Semoga yg berkorban nyawa, rumah, dll bisa mendekatkan diri pd Tuhan, dibalas dg sorga bagi yg wafat, dibalas dg rizqi yg banyak bagi berkorban harta benda. Kebetulan kami sekeluarga pernah mampir juga di Asstro, Assep Stroberi Lembang. Anak saya yg milih rumah makan terdekat. Milih duduk yg dekat halaman taman nyaman. Pulang dari Bandung ta'ziyah adik yg wafat karena kopid, setelah operasi tumor otak. Adik saya yg dosen matematika ITB, Dr nya bidang ekonomi. Perut saya masih mual, selera makan masih rendah, saat itu, effek samping obat batuk. Semoga kita semua selalu baik2 saja, berbarokah.

Leong putu

@yea .. Kalau menurut komentator "vokal" tsb. Jangankan cerita makan di tempat yang waaah, menceritakan kunjungan ke orang yang terkena musibah, apalagi mengeksposnya di media. Itu riya' kelas paraaah banget... Hehehe

musa st

Abah ngece.. Di Indonesia Mahasiswa akhir itu tahu teori perhitungan dan perencanaan struktur. Tapi untuk menilai bangunan layak atau tidak layak masih jauh. Bahkan Dosen pembimbingnya juga belum tentu tahu dan pengalaman tentang layak/tidak bangunan bekas gempa. Harus ada tim yang berisi akademisi dan praktisi yang berpengalaman. Karena menyangkut resiko tinggi Bah…

Pakdhe joyo Kertomas

Kali ini reportase abah bergaya sastrawi. Kalo tdk bisa mendekati prosa liris. Auranya sedih. Mungkin beliau melihat sudah berhari2 di tenda pengungsian tapi belum ada aksi nyata. Mereka mau diapakan. Belom ada progres aksi yg nyata. Nampak semua menunggu..Apa.yg ditunggu? Semua juga bingung. Yg nulis juga bingung. Maka abah menyindir kalo semua sibuk ahli bangunan sibuk. Baik dari bumn, Perguruan tinggi, atau swasta LSM. Datangkan saja mahasiswa akhir teknik sipil. Segera aksi. Layak atau tidak. Benar akhir tahun ini semua pada sibuk. Sibuk mikirin mau pake baju apa buat jagong alias kondanga. Biasa akhir tahun banyak undangan. Termasuk mega undangan utk acara megah. Maka abah terusik saat melihat warga terlelap di tenda2 terpal. Disisi lain beritanya heboh karena bakal ada acara 1001 malam. Ah peduli amat. Toh bencana di negri ini sesuatu yg rutin. Dan sudah ada team yg menangani. Minimal LSM. Dhog...dhog...dhog....aeng... aeng... Suk bakal nemoni jaman edan. Sing ora edan ora keduman. ...................,sabar rakyatku. Tetaplah hidup sederhana. Kalo ada pesta 1001 malam Lihatlah...jadikan sebagai bunga2 Saat kau tidur rakyatku. Biar dingin dan sepi terasa hangat dan gembira.

Jhelang Annovasho

BBC telah menurunkan laporan berupa infografis tentang penyebab banyaknya korban. Kalau kita fokus ke sebab alamnya, diketahui ada sesar yang baru dideteksi. Bukan sesar/patahan Cimandiri yang berada di bawah Kota Cianjur (jika memakai acuan ketinggian gn Gede Pangrango), namun sesar baru itu ada di atas kota Cianjur, tepatnya di kecamatan Cugenang. Di situ kerak bumi baru patah. Patah secara ekstrim dengan 5,6 SR. Patah yang tidak disangka-sangka. Kemudian masih bergerak secara terus menerus di angka 1,2 s.d. 2,5 SR. Patahan itu menuju stabil, namun belum stabil. Tepat di bawah patahan itu, tanah turun, sebagian longsong. Sementara di atas patahan, tanahnya naik. Yang longsor disebabkan kontur kemiringan. Juga kontur tanah yang merupakan endapan vulkanis memperkuat getaran gempa. Di situlah terdapat pemukiman. yang kondisinya kita semua sudah tahu. Satu sebab bisa menghasilkan banyak kejadian. Atau banyak sebab yg perlu menunggu satu agar "terjadi". Kita semua berdoa untuk pemulihan Cianjur.

yea aina

Amat pagi antri semua/ Semua kendaraan mengular juga/ Selamat hari antikorupsi sedunia/ Semoga bukan sekedar nama/ @pantunnebeng . Selamat pagi Bli Leong, Bung @AK juga semua komentator CHD.

Juve Zhang

Kalau lihat tahun pembuatan rumah ini 2017.mungkin ketularan"gaya membangun yg sok jagoan" yaitu tanpa pondasi batu kali, jadi beban rumah yg super berat 2 lantai cukup di tahan sloof beton saja. Ini "trend" yg di mulai dari ingin tak "ribet" menggali tanah dan membuat pondasi batu kali. Sebagai orang teknik sipil saya " kagum" pada keberanian para "insinyur" lulusan SMP,SMA, yg dengan bangga menyebutkan saya membangun rumah 2 lantai tanpa perlu menggali pondasi batu kali, itu pondasi batu kali sudah "kuno" katanya, memang orang awam gak ngerti seberapa berat bangunan 2 lantai ini, dipikir nya rumah kayu Meranti, wkwkwk. Kemarin pas jalan kaki saya lihat orang bangun rumah 2 lantai tanpa menggali tanah, rupanya inilah "trend" zaman now , beban semua puluhan ton langsung saja duduk di beton sloof, yg menempel di tanah, juga kolom serba kecil besinya dan cakar ayam yg di gali dangkal seadanya. Rupanya trend gak pake ribet sudah mewabah di seluruh pelosok negeri. Kompensasi 60 juta buat yg rusak berat, 30 juta sedang,15 juta ringan, kalau kredit 200 juta ,ehm , mungkin salah disain ,di kampung sebaiknya rumah 1 lantai, karena tanah luas,murah, dan resiko dari gempa lebih kecil dibandingkan 2 lantai.

Ibnu Shonnan

Rewelnya anak mas Fadil, jika dilihat dari sudut pandang keaktifan dalam belajar, tentunya kurang baik. Kan tempatnya belajar agama hanya beberap langkah saja dari rumahnya. Bahasa Abah DI, jaraknya selemparan batu. Tapi, dibalik rewelnya anak mas Fadil, ada skenario besar yang Tuhan rencanakan, yaitu keselamatan. Pun begitu juga, ada hikmah besar yang Tuhan belum tampakkan bagi korban lainnya. Meskipun itu sulit, tapi bagi orang yang beriman pasti akan meyakini. 

Leong putu

Kalau batuk makanlah kencur / Minum hangat ditambah madu / Teruntuk warga Cianjur / Tetap semangat melangkah maju / .... 365_mantun kencur

Liam Then

Aura kasih dulu termasuk salah satu opsi saya. Dalam upaya memperbaiki keturunan. Tapi berhubung yang bersangkutan tak kenal saya. Dan ditambah unsur pengenalan saya ke faktor pribadi yang berhubungan kapasitas personal saya, yang rendah dalam hal maintenance ciptaan indah seperti seorang Aura Kasih. Akhirnya saya pilih opsi lain. **Di atas frase panjangnya. Kalo pendeknya : Saya kere.

Juve Zhang

Kalau ingin lihat bangunan yg di disain tahan gempa skala 9 ,lihat saja konstruksi beton kereta cepat Jakarta Bandung di YouTube, itu di disain untuk tahan skala 9, Cianjur cukup dekat ke tiang beton kereta cepat, tapi tiang beton " santai santai " saja. Wkwk

Mirza Mirwan

Pernah terpikir di benak Dayi Mahmudin (40), bila uangnya sudah mencukupi, ia ingin membongkar rumah panggung yang dibangunnya 18 tahun yang lalu dan menggantinya dengan rumah benteng -- berdinding tembok. Sebab rumah panggung seperti miliknya, apalagi berdinding bambu, sering dilabeli sebagai rumah keluarga di bawah garis kemiskinan. Ia ingin membuat keluarganya bisa merasa bangga kalau tinggal di rumah benteng Siang itu Dayi berada di rumah karena isterinya, Neneh Suminar (40), sedang sakit. Si kembar dari 6 anaknya baru umur 7 bulan. Lalu terjadilah gempa itu. Jeritan dan teriakan panik yang terdengar dari segala arah tidak membuatnya berlari ke luar. Ia dekap si kembar sambil komat-kamit mohon perlindungan Tuhan, seraya matanya memandang dinding rumahnya yang bergoyang dan menjatuhkan piring dan gelas di meja. Pecah berantakan. Rumah panggung itu tetap berdiri tegak. Dayi dan keluarganya aman terlindung rumah yang terpikir olehnya untuk dibongkar itu.. Hanya gentengnya banyak yang melorot. Sementara ribuan rumah lain yang berdinding tembok, beberapa masih relatif baru, malah hancur berantakan. Pun membawa korban jiwa. Tak putus-putusnya Dayi bersyukur dengan airmata berderai. Cerita di atas bukan rekaan, tetapi cerita nyata. Terjadi di Kampung Sarampad, Desa Sarampad, Kec. Cugenang, Kab. Cianjur. Ternyata rumah panggung yang tradisional lebih tahan gempa ketimbang rumah benteng yang modern.

Fajar Kusumo

Ringan di angka, berat di perasaan. Itulah yang sebenar-benarnya terjadi kepada semua yang mengalami gempa besar. Termasuk saya dan keluarga ketika gempa besar Lombok 2018. Semua tidak lagi melihat berapa skalanya. Yang ada adalah bumi bergoyang dan disusul kepanikan. Bahkan getaran dari truk yang melintas terasa seperti gempa.

Juve Zhang

Ada 252000 rumah yg rusak. Secara bertahap sudah diberikan ,60 juta rusak berat,30 sedang ,15 ringan. Penilaian kelas berat dll oleh dinas PU. Info YT .

EVMF

baru sempat baca CHD hari ini. Tunggu Ahli ????? Dari hasil observasi di lapangan tim bermaksud untuk dapat sesegera mungkin membangun empat Hunian Sementara (Huntara) dengan metode Tunnel Shelter dari bambu berkolaborasi dengan tim aktivis Desa Binaan ITB di Ciranjang Eko Santoso. www.itb.ac.id itb-menggerakan-8-aksi-untuk-penanganan-gempa-cianjur

Haruntri Purnomo

Rumah panggung terbukti lebih tahan gempa. Juga lebih cocok untuk hunian di daerah yang sering terkena rob seperti dipesisir Pantura. Tapi saya belum pernah melihat rumah panggung di dekat saya tinggal.Di pesisir Pekalongan.Yang ada lantai rumah yang dinaikkan/diurug berkali-kali sementara tidak ada biaya untuk menaikkan plafon.Jarak lantai dan plafon semakin dekat. Hanya ikut prihatin.

Pryadi Satriana

Kamis kemarin jg sudah diserahkan sekitar 8.100 bantuan oleh Presiden Jokowi pun ndhak disinggung sama sekali, kok. Ndhak usahlah berharap berita dg standard jurnalisme. CHDI cuma sekadar corat-coret seorang pensiunan yg 'kengangguren' dan masih ingin cari 'followers' karena 'post power syndromes'. Jangan berharap membaca tulisan Dahlan Iskan seperti yg dulu. CHDI produk 'one-man show' shg kalau sering tidak akurat & ada kesalahan di sana-sini ya harap maklum. Sudah dikritik keras agar lebih hati2 ya masih "bandel" kok, serasa masih jadi menteri dan punya koneksi banyak orang penting 'kali? Apa benar begitu, Bah? Selamat menulis dg lebih hati2 dan 'bertanggung jawab' (baca: kalau ada isi tulisan yg salah ya harus diralat). Salam. Rahayu.

EVMF

sangat disayangkan wartawan-nya Abah DI koq bisa tidak tahu ya ????? Selengkapnya : Jumat, 2 - Desember - 2022, 09:26 BANDUNG, itb.ac.id Institut Teknologi Bandung (ITB) melaksanakan delapan aksi untuk penanganan Gempa Cianjur. Tepat pada Selasa, 22 November 2022, tim Prof. Dr.Sc. Ir. Andri Dian Nugraha, S.Si., M.Si., Dr. Zulfakriza, S.Si., M.T., dan Aditya Lesmana, MT, telah hadir di lokasi di Cianjur untuk meninjau lokasi dan memasang 6 Seismograf pemantauan gempa susulan (Aftershock). Di hari yang sama, Tim Dr. Ing. Andry Widyowijatnoko, S.T, M.T dari SAPPK yang diwakili oleh Ir. Mipi Ananta Kusuma dan Agis Nurholis, S.T dari Rumah Amal Salman pun turut meninjau ke lokasi di Cianjur. Dari hasil observasi di lapangan tim bermaksud untuk dapat sesegera mungkin membangun empat Hunian Sementara (Huntara) dengan metode Tunnel Shelter dari bambu berkolaborasi dengan tim aktivis Desa Binaan IT

Liam Then

Dari 270-an juta populasi di Indonesia , 50 persen posisi ada di Jawa yang rawan bencana alam, dari gempa sampai letusan gunung berapi. Beberapa kota terbesarnya, terancam oleh permukaan air laut yang naik terus saban tahun. Perlu di pikirkan, upaya untuk mengarahkan arus populasi dari Jawa ke Kalimantan. Kira-kira adakah ilmu pengetahuan yang bisa membuat populasi suatu negara bergeser alami secara berkala? Di buat 50-100 tahun ke depan. Kalimantan yang jadi penampung 50 persen populasi Indonesia. Sungguh paranoid membayangkan ,jika Pulau Jawa suatu saat harus mengalami ,misalnya ; (semoga tak pernah terjadi ) tsunami dengan skala seperti di Aceh tempo lalu. Kerusakannya dan jumlah korban akan jadi sangat mengerikan. Dengan konsentrasi penduduk yang jarang saja , korban di Aceh bisa ratusan ribu jiwa.

*) Dari komentar pembaca http://disway.id

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda