Delegasi Forum R20 Dijamu Makan Malam di Kraton Yogjakarta

Para tokoh agama R20 foto bersama GKR Hayu (puteri ke-4 Sri Sultan Hamengkubuwono). (FOTO: istimewa)

COWASJP.COM – Setelah selesai acara di Pulau Dewata Bali acara R20 dilanjutkan di Kota Gudeg Yogjakarta.

 Para Tokoh Agama R20 dijamu makan malam di Keraton Yogyakarta, Jantung Kebudayaan Jawa.

Alunan gamelan terdengar menyambut kedatangan delegasi Forum Agama G20 (Forum R20) di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 

Kehadiran mereka memenuhi undangan makan malam dari Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf yang memimpin rombongan langsung disambut oleh Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, putri pertama dari Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Rombongan berangkat dari penginapan di Hotel Hyatt Regency di Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta sekitar pukul 18.30 WIB. Mereka berangkat usai menuntaskan sesi pleno pertama. Rombongan tiba di Keraton Yogyakarta sekitar pukul 19.00 WIB.

Para pemimpin agama dari berbagai negara itu langsung diarahkan untuk mengambil posisi di Bangsal Sri Manganti. Tampak di tengah GKR Mangkubumi diapit oleh Gus Yahya di sebelah kiri dan Syekh Abdurrahman al-Khayyat, Kepala Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) untuk Asia Tenggara dan Australia, di sebelah kanan.

Di samping kiri Gus Yahya, duduk GKR Hayu (putri keempat Sri Sultan Hamengkubuwono), Katib Aam PBNU KH A Said Asrori, dan Waketum PBNU Habib Hilal al-Aidid.

Di samping kanan Syekh al-Khayyat, duduk Katib PBNU H Aunullah A'la Habib dan Plt Bendahara Umum PBNU H Gudfan Arif. Sementara para delegasi duduk melingkar di meja bundar yang disediakan di dalam Bangsal Sri Manganti.

Mereka tampak asyik menikmati hidangan tradisional Yogyakarta sembari berbincang. Tidak hanya makanan dan minuman, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menyuguhkan alunan musik gamelan untuk mengiringi makan malam para tamu dari berbagai belahan dunia itu.

Gamelan merupakan instrumen musik yang sudah ditetapkan sebagai Intangible Cultural Heritage atau Warisan Budaya Takbenda (WBTB) oleh UNESCO pada 15 Desember 2021 di Paris, Prancis. Disebut dalam situs web Kemendikbud, bahwa alat musik ini diduga sudah ada di Jawa sejak tahun 404 Masehi. Hal tersebut tampak dari adanya relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang menggambarkannya.

Musik gamelan ini juga mengiringi Tari Bedaya Genjong Goling. Saat para penari mulai memasuki Bangsal Sri Manganti, sejumlah delegasi langsung mengambil ponsel dari saku atau tas mereka dan mengabadikannya. Beberapa juga tampak membawa kamera untuk merekam setiap gerak-gerik para penari dan memotretnya.

Tarian Bedaya Genjong Goling, sebagaimana ditulis Sayekti Nyantosani, merupakan salah satu bentuk tari putri istana yang berasal dari Kesultanan Yogyakarta. Tarian  diciptakan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.

Disebut bedaya genjong goling sebab gending pengiringnya adalah gending genjong goling. Sumber cerita bedaya ini berasal dari babad yang menceritakan percintaan Raden Bondan Kejawan dengan Dyah Retno Rara Kasihan.

Usai pentas tari rampung, para pemimpin agama itu langsung mengambil tempat di pintu gerbang Regol Danapratapa untuk sesi foto bersama. Tampak duduk di tengah GKR Mangkubumi. Di samping kanannya, ada Gus Yahya, GKR Hayu, dan Gudfan. Sedangkan di samping kirinya, duduk Syekh al-Khayyat, Kiai Said Asrori dan Habib Hilal. Sementara para pemimpin agama dunia berjajar di belakangnya.

Belajar Budaya dari Jantung Peradaban

Dalam sambutannya, Gus Yahya mengatakan, pihaknya membawa tokoh-tokoh agama dunia ini ke Yogyakarta untuk memberikan pemahaman, pengalaman, sekaligus perasaan secara langsung di jantung budaya dan peradaban Indonesia.

“Mereka di sini untuk merasakan dan mengerti inisiatif masyarakat negara mayoritas Muslim dan negara dengan budaya luar biasa di sini. Anda sekalian berada di jantung budaya dan peradaban di negara ini,” ujarnya.

Keraton Ngayogyakarta, lanjut Gus Yahya, menempati posisi unik di Indonesia, baik dilihat dari sisi sejarah, maupun dinamika masyarakat Indonesia. “(Keraton Yogyakarta) Mewarnai mentalitas karakter dan keseluruhan jalan hidup bangsa Indonesia untuk 300 tahun,” tuturnya.

Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Kerajaan ini masih efektif sebagai institusi politik. Kerajaan ini bergabung dengan negara-bangsa yang baru dideklarasikan, yaitu Indonesia.

Menurut Gus Yahya, hal itu merupakan pengorbanan dan kepercayaan luar biasa. “Republik Indonesia tidak pernah lupa Keraton Yogyakarta untuk kontribusi yang luar biasa untuk bangsa ini,” ujar Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.

R20-ok.jpgPara hadirin disambut tarian Genjong Goling. (FOTO: istimewa)

GKR Mangkubumi mewakili Sri Sultan Hamengkubuwono X mengucapkan selamat datang di pusat peradaban. “Selamat datang di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sejak Eyang Hamengkubuwono I jadi pusat budaya sebagaimana disebut Gus Yahya,” ujarnya.

Beberapa tahun ini, pihaknya belajar untuk membangun Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Warisan Dunia. “Kita tidak kalah dengan Edinburgh. Kita tidak kalah dengan Kyoto, dan kota lain,” ujarnya bangga.

GKR Mangkubumi menjelaskan, DI Yogyakarta ini adalah pusat budaya yang mencakup juga pusat pembelajaran agama. Ia berharap kehadiran pemuka agama pada kesempatan tersebut dapat menumbuhkan toleransi dan perdamaian.

“Mudah-mudahan ke depan agama semakin baik, toleransi semakin tinggi, dan selalu ada kedamaian di hati,” harapnya.

Sebelumnya, ia juga mengaturkan permohonan maaf dari Sri Sultan Hamengkubuwono X yang tidak dapat menghadiri acara jamuan makan malam tersebut.

Setelah dari Kraton
delegasi Forum R20 melanjutkan dialognya.

Bahas Minoritas: Utamakan Koneksi, Bukan Koreksi

Isu minoritas menjadi salah satu pembahasan di Forum Agama G20 atau Forum R20. Mereka membicarakan tentang aksi persekusi yang terjadi di berbagai belahan dunia, misalnya terhadap minoritas Katolik oleh mayoritas Muslim di Nigeria atau terhadap minoritas Muslim oleh mayoritas Hindu di India.

Di antara pembahasnya adalah Uskup Matthew Hassan Kukah dari Sokoto, Nigeria. Ia mengungkap bagaimana minoritas Katholik Sokoto yang mendapat persekusi dari mayoritas Islam di sana. Ia terang-terangan berbicara ketimpangan, pilih kasih, hingga pembunuhan yang dialami kelompoknya.

Di Yogyakarta dalam sesi pleno, Uskup Kukah kembali berbicara perihal perlunya menimbang istilah minoritas tidak dipandang dari sisi kuantitas saja. Minoritas perlu dilihat dari perspektif lain, yaitu penderitaan atas segala bentuk diskriminasi dan persekusi yang dialaminya. Hal itulah yang perlu diperhatikan oleh para tokoh pemimpin agama dunia, para akademisi, juga pengambil kebijakan. Itu ia sampaikan saat Sesi Pleno Forum R20 di Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta, Sabtu (5/11/2022).

Menanggapi hal itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla menyampaikan bahwa ia memang mempersoalkan istilah minoritas. Sebab, selama ini lebih didasarkan pada angka.

"Yang jarang dibicarakan ketika kita membicarakan soal minoritas ini adalah mengenai soal penderitaan yang mereka alami," katanya usai Sesi Pleno Forum R20 berakhir.

Mereka (minoritas) hanya dipandang secara numerik, tetapi jarang dilihat dalam kebijakan yang diambil oleh para tokoh-tokoh dunia, yaitu penderitaan yang dialami minoritas semua agama. Tidak hanya Kristen, Hindu, ataupun Budha, tetapi juga minoritas Muslim.
 
"Kemarin di dalam diskusi saya mengangkat masalah minoritas ini yang sering dipersekusi semua agama," ujarnya.

Di India, Muslim yang dipersekusi dan salah satu kelompok yang diundang dalam pertemuan Forum R20 sekarang adalah dari kelompok yang dikenal sebagai kelompok Hindu nasionalis di India. Yang selama ini melakukan persekusi kepada umat Islam.

"Setiap mayoritas melakukan persekusi, meskipun persekusi bukan satu-satunya gambaran. Ada juga mayoritas umat melakukan hal-hal yang baik. Mereka melindungi juga, tetapi ada juga elemen-elemen mayoritas yang melakukan persekusi," katanya.

"Nah ini yang harus diatasi dengan jujur. Itu salah satu tema sentral dalam konferensi sekarang, jujur mengakui bahwa ada kesalahan yang kita lakukan," imbuhnya.
 
Cendekiawan yang akrab disapa Gus Ulil ini menegaskan bahwa isu minoritas memang salah satu problem di dalam hubungan antaragama. Membicarakan kedudukan minoritas bukan hanya minoritas di dalam Islam tetapi juga minoritas di agama-agama lain.

Semua agama punya problem minoritas. Hal ini harus dibicarakan dengan jujur dan tidak selalu menggunakan pendekatan yang sekuler, yaitu pendekatan HAM. Pendekatan HAM ini penting, tapi tidak cukup.

"Pendekatan HAM ini penting tapi tidak memadai karena bahasa agama juga diperlukan untuk mengatasi masalah minoritas ini. Bagaimana pemahaman masing-masing kita terhadap tradisi kita masing-masing. Kita coba membangun suatu sebut saja teologi minoritas," terangnya.

Selain membicarakan minoritas, Sesi Pleno Forum R20 di Yogyakarta juga merumuskan nilai-nilai bersama yang mempertemukan semua agama. Rabbi Yakov Nagen menekankan agar mengutamakan koneksi ketimbang koreksi. Artinya penekanan hubungan antarumat agama lebih didahulukan daripada koreksi terhadap agama lain.

Menanggapi hal itu, Gus Ulil menyampaikan bahwa dengan adanya rumusan seperti ini, akan mudah melakukan kerja sama dan koneksi hubungan antar berbagai kelompok agama.

"(Tentang) bagaimana strategi untuk membuat keputusan-keputusan atau kesepakatan bersama dalam pertemuan ini bisa diterima oleh Pemimpin-pemimpin G20. Karena, tujuan dari konferensi ini adalah membuat nilai-nilai dan tradisi agama itu dipertimbangkan di dalam keputusan dan kebijakan yang diambil para pemimpin dunia," terang Gus Ulil.

Salah satu rumusan yang diusulkan adalah membuat deklarasi bersama tentang nilai-nilai yang sama di antara semua agama. Salah satu nilai yang mendapatkan tekanan dalam Forum R20 adalah nilai tentang martabat manusia. 

"Semua agama menekankan pentingnya manusia sebagai nilai dasar. Karena itu manusia perlu menjadi fokus dalam pembangunan. Pembangunan bukan hanya berpusat kepada kesejahteraan material, tetapi juga kesejahteraan manusia," terang Pengampu Ngaji Ihya Ulumiddin daring itu.(*)

Pewarta : Imam Kusnin Ahmad
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda