'Tafsir Baru' Borobudur Seorang Apoteker

Handaka Vijjananda dalam workshop Relief Borobudur di Hotel Manohara Yogya, Minggu (16/10).

COWASJP.COM – Arkeolog Willem Frederick Stutterheim (1892-1942) menggagas konsep Tridhatu untuk menjelaskan Borobudur. Konsep ini bertahun-tahun diajarkan dan menjadi rujukan untuk memahami Candi Borobudur. Sampai sekarang.

Orang pun lantas mengenal tiga level pembagian Borobudur. Kamadhatu (alam hawa nafsu; kaki candi). Rupadhatu (alam berwujud; teras-teras di atasnya). Dan Arupadhatu (alam tidak berwujud; puncak candi). Tridhatu itu hingga kini juga masih dipakai sebagai penjelasan resmi oleh pihak pengelola candi tersebut.

Konsep ini ternyata banyak yang menyangkal. Tidak sepaham. Alias banyak yang tidak sepakat dengan konsep Tridhatu dari Stutterheim. Salah satunya Drs Handaka Vijjananda Apt. Seperti yang dia kemukakan saat menjadi narasumber pada workshop “Cerita Relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan“ di The Manohara Hotel Yogyakarta pada Minggu (16/10/2022).

“Lantai 7-9 yang diklaim sebagai Arupadhatu, alam tidak berwujud itu, justru makin memperlihatkan hal yang kasat rupa. Wujud yang nyata. Dengan adanya arca dan stupa tiga dimensi. Sedangkan di teras bawahnya hanya dua setengah dimensi dalam bentuk relief,“ jelas Handaka.

Lulusan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menambahkan. Dalam konsep Tridhatu juga tidak menyebutkan adanya nirvana. Padahal menurutnya, Borobudur merupakan peta karir spiritual. Yang menggambarkan perjalanan spiritual manusia dari Samsara, Nirvana (upadisesa) dan Parinirvana (anupadisesa).

Dia ceritakan perjalanan manusia dari “leisure seeker,“ pencari kesenangan. “Dari orang yang sukanya makan-makan, pigi-pigi, atau berada di dalam tingkatan Adhama purusa, kemudian meningkat pada tingkatan medium. Yakni Madhyama purusa. Orang mulai menjaga moral, terus berusaha mencari jalan ke surga.“ 

arkeolog10b87e.jpgPeta Karir Spiritual: paparan Handaka soal tingkatan/lantai yang ada di Candi Borobudur.

Hingga akhirnya, lanjut Handaka, sampai pada tingkatan Utama purusa. “Tidak lagi mementingkan pribadi melainkan berpikir bagaimana bermanfaat bagi orang lain,“ paparnya. Prinsip ini sepertinya diresapi betul oleh Handaka. Seperti yang terlihat pada tulisan di rompinya: Cinta Kasih Tanpa Pilih Kasih.

Apakah Handaka kemudian meminta orang menolak Tridhatu? Tidak. Menurutnya, biar saja ada konsep lain yang berbeda. Karena itu memperkaya khasanah pemikiran. “Dibikin asyik-asyik saja, “ selorohnya.

Kendati lulusan fakultas farmasi dengan gelar apoteker, Handaka ternyata mampu menjelaskan “jerohan“ Borobudur dengan narasi berbasis data yang kuat. Paparannya pun menjadi story telling yang menarik dan enak didengar. Tak pelak, 320-an peserta workshop pun berkali-kali terbahak dan bertepuk tangan menimpali paparannya.

Handaka adalah Presdir PT Indomedica, dan eksportir obat ke Myanmar. Tapi ia adalah penulis 37 buku Cerita Relief Borobudur. Handaka juga penulis dan penyunting 300 buku Dharma, pemandu ziarah dharma 10 negara, dan pemandu meditasi mandiri. Pria kelahiran Temanggung ini juga Penerjemah Kitab Tipitaka Bahasa Pali dan Sanskerta.

Handaka juga Pendiri Ehipassiko Foundation. Yayasan yang bergerak di dalam Gerakan kemanusiaan. Memiliki 450-an relawan pejuang kanker yang dia santuni serta 3.000 orang penerima beasiswa. Yayasan ini juga menerbitkan banyak buku seputar Borobudur dan Prambanan yang royalti-nya dipakai untuk santunan dan beasiswa.

arkeolog.jpg1.jpg3.jpgKompas Pradaksina: petunjuk memahami relief Borobudur. Naik dari sisi Timur memutar searah jarum jam.

Dia bukan arkeolog. Tetapi, riset yang dia lakukan karena hobi, berkait erat dengan candi dan peninggalan masa lalu yang terhubung dengan arkeologi. Tidak hanya di Indonesia. Bahkan sampai Myanmar, Thailand dan India.

Dikatakannya, tidak setiap hasil riset yang dilakukan merupakan hal yang bermanfaat atau memiliki nilai. Seringkali hanya iseng saja. Misalnya, saat dia menyampaikan hasil risetnya mengenai flora dan fauna yang ada di relief Candi Borobudur. “Saya iseng menghitung kalpataru. Tenyata ada sebanyak 31 di Borobudur. Pentingkah jumlah itu? Enggak. Tapi saya seneng saja,“ kilahnya.

Dengan paparan berupa foto-foto, infografis yang menarik, serta story telling yang kuat, workshop sesi pertama selama 2,5 jam yang dipandu Handaka terasa singkat. Informasi yang edukatif bagi peserta yang terdiri dari pemandu wisata, pelukis, pemahat, dan budayawan di DIY dan Jawa Tengah. Acara juga dimeriahkan peragaan Wayang Jataka oleh Bambang Eka Prasetya.

Workshop yang digelar PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko bersama Ehipassiko Foundation ini dimaksudkan sebagai penguatan konten story telling. Sehingga bisa dipakai untuk mempromosikan destinasi wisata candi dengan lebih menarik.

arkeolog.jpg1.jpg5.jpg

“Lokakarya ini merupakan upaya penguatan konten edukasi yang dikemas dalam story telling tentang Candi Borobudur dan Prambanan. Wisatawan akan mendapatkan nilai pengalaman lebih saat berkunjung sehingga penting memberikan bekal pengetahuan mengenai cerita relief candi seperti ini,” kata VP Marketing PT TWC, Pujo Suwarno saat acara.

Antusiasme peserta workshop luar biasa. Dari jatah 300 peserta yang dijaring lewat media sosial, ternyata yang mendaftar lebih dari 500 orang. Akhirnya panitia membatasi 320 orang peserta. Karena kapasitas ruangan di hotel milik PT TWC hanya 300 tempat duduk, ada beberapa peserta yang terpaksa berdiri.

Semua peserta mendapatkan buku Legacy of Love: Warisan Cinta Cerita Relief Borobudur karya Yin Natadhita dan buku Avatara: Dua Titisan Dewata, Cerita Relief Prambanan karya Bhikku Anandajoti. Semua buku bersampul tebal (hard cover) dengan halaman isi semuanya full colour.

ARKEOLOG4.jpgDua buku yang berisi Cerita Relief Borobudur dan Prambanan.

Buku Legacy of Love Cerita Cinta Relief Borobudur, berisi 38 cerita bertema cinta kasih di relief Candi Borobudur, ditulis berdasarkan kitab Tripitaka, berhiaskan lukisan dan foto, serta dilengkapi infografik ikonografi candi. “Buku ini sangat anggun untuk cinderamata budaya kebajikan. Juga buku satunya,” tandas Handaka.

Bagi yang ingin memiliki bukunya bisa menghubungi Ehipassiko Foundation. Yayasan ini bisa diakses lewat web, media sosial maupun di sejumlah market place. 

Dari workshop ini terlihat betapa relief Candi Borobudur dan Prambanan menyimpan banyak narasi edukatif. Ladang ilmu pengetahuan yang perlu dipelajari untuk memperluas wawasan serta mendukung sustainability tourism ataupun regenerative tourism. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda