Sang Begawan Media

Kanjuruhan Mangindaan

Kenangan Evert Erenst Mangindaan ketika masih menjadi Wakil Ketua MPR RI. Beliau disambut sangat meriah oleh sekitar 200 peserta Sosialisasi Empat MPR di Kota Manado Senin siang, 15 Juni 2013. (FOTO: mpr.go.id)

COWASJP.COM – SAYA selalu ingat Mangindaan. Khususnya terkait dengan tragedi stadion Kanjuruhan Malang. Yakni ketika pangkat E.E. Mangindaan masih kolonel. Jabatannya masih komandan Korem Surabaya. Ia tentara yang cinta sepakbola, luar dalam.

Ia tidak menggunakan sepakbola untuk pansos. Darah dagingnya memang sepakbola. Ia menghayati pemain bola itu kebanyakan dari keluarga miskin. Ia juga tahu persis bagaimana orang itu kalau sudah gila bola. Mereka bisa menggadaikan celana untuk menonton bola. Juga bisa mencegat truk untuk menuju stadion secara gratis. Kadang truk itu ternyata berbelok ke arah lain. Lalu cari truk berikutnya.

Hari itu Persebaya lawan PSM Makassar. Di Stadion 10 November Surabaya. Itu mirip Persebaya vs Arema sekarang. 

Pintu stadion jebol. Tempat duduk tidak cukup. Antara tribun dan pagar lapangan padat dengan penonton dadakan. Barisan paling depan menempel di pagar. Di sekeliling lapangan. Pagar pun doyong. Desakan dari penonton yang baru masuk membuat yang di depan terjepit antara pagar dan desakan dari belakang.

Gawat. 

Sebagai Danrem, Mangindaan harus bertanggung jawab soal keamanan. Waktu itu TNI AD masih saudara tua di jajaran keamanan. Tapi ia tenang saja. Ia tahu psikologi penonton bola: tidak bisa dilawan dengan kasar. Solidaritas mereka amat tinggi.

Mangindaan sangat tenang. Wajahnya tidak tegang. Saya di sampingnya. 

Ia pun melakukan apa yang tidak saya pikirkan sama sekali: ia ke tengah lapangan. Ia membawa mikrofon. Ia mulai bicara pakai bahasa Suroboyoan, lucu, dengan logat Manadonya.

"Saya senang melihat kalian sangat antusias hari ini. Tapi pagar keliling lapangan ini, kalau roboh, kalian bisa celaka. Maka dengarkan perintah saya ini: tolong, pagar itu pelan-pelan kalian robohkan. Pelan-pelan. Hati-hati. Lalu kalian yang di depan duduklah di atas pagar yang sudah kalian robohkan itu. Kalian duduk di situ. Jangan berdiri. Ikut komando saya. Pelan-pelan. Satu..... Dua.... Tigaaaa.... (ia mengucapkan komando dengan tersenyum dan nadanya lambat)".

Maka robohlah pagar itu. Roboh dengan tertib. Penonton pun bersorak gembira. Mereka duduk di atas robohan pagar jeruji besi itu. 

Pertandingan pun berlangsung dengan lancar. Tanpa insiden.

"Pak Mangindaan nanti pasti akan jadi jenderal. Kepemimpinannya kelihatan menonjol," kata saya berbisik pada pengurus Persebaya lainnya.

Kelak Mangindaan benar-benar jadi jenderal. Bintang satu, dua, dan rasanya sampai tiga. Lalu jadi gubernur Sulut. Sampai dua periode. Kalau keliling daerah di mobil dinasnya penuh bola. Tiap singgah di satu desa ia bagikan lima bola. Ke anak-anak di desa itu.

Belakangan Mangindaan jadi menteri. Menteri perhubungan. Kalau lagi menunggu sidang kabinet kami berdua sering bicara soal sepakbola.

Sepakbola itu pemersatu bangsa. Di situlah Muhammadiyah dan NU bisa benar-benar bersatu. Demikian juga pengikut Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Pun pendukung Anies Baswedan dan  pendukung Ahok.

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: bahasa bola.

Maka satu-satunya bahasa yang harus digunakan di lapangan bola adalah bahasa bola. Jangan bahasa yang lain. Apalagi bahasa gair mata. Tidak boleh ada yang sensi di situ. Pun ketika dicaci dan terkena ludah. Bahkan pecahan air kencing yang dibungkus plastik.

Kita harus ingat: saat mengheningkan cipta untuk menghormati Ratu Elizabeth yang meninggal dunia pun menggema teriakan booooo... dari tribun Anfield, stadion Liverpool. Ratu Elizabeth, pemilik Inggris, diejek di saat yang amat tidak tepat. Ratu tidak emosi. Yang waras mengalah.

aji-latihan.jpgKenangan ketika Aji Santoso memimpin latihan arek-arek Persebaya di persiapan Liga 1 2021 di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya, Selasa (28/04/2021) sore.(FOTO: Dokumentasi Persebaya Surabaya)

Semua kerusuhan di arena sepakbola selalu ada penyebabnya. Beda-beda. Ada yang karena timnya kalah tapi tidak seharusnya kalah. Wasit yang memihaklah yang menyebabkan kekalahan itu.

Ada juga kalah oleh penyebab lain: pemain bintang pujaan mereka diperlakukan kasar oleh pemain lawan. Sampai pemain itu dibawa ke luar lapangan.

Kekalahan Arema FC kemarin tanpa penyebab seperti itu. Memang penonton emosi. Gara-garanya: Arema menyerang terus tapi kok tidak bisa bikin gol –apalagi dua kali bola Arema membentur tiang gawang.

Emosi jenis ini akan reda sendiri. Asal tidak ada penyebab tambahan yang lain. Mereka hanya perlu waktu untuk meredakan emosi. Jangan sampai saat menunggu reda itu muncul kejadian lain. 

Penyebab lain itu misalnya: ada pemain lawan membalas lemparan dari tribun dengan mengembalikan benda yang dilempar itu ke tribun. Yang seperti itu sama sekali tidak boleh dilakukan.

Apalagi benda yang dilemparkan itu biasanya juga bukan yang membahayakan. Salah satunya berupa botol aqua yang isinya sudah diganti warna kuning. Cairan kuning-pesing itu biasanya sudah muncrat saat botol mengenai tanah.

Jangankan membalas lemparan, membalas cacian pun tidak boleh. Itu bisa menyulut emosi tuan rumah. Pokoknya lawan yang menang harus pandai-pandai membaca situasi stadion. Mereka tetap boleh selebrasi di tengah stadion. Asal sudah dilihat situasi memungkinkan.

Malam itu, di Kanjuruhan, tidak ada semua penyebab seperti itu. Tidak ada selebrasi di tengah lapangan. Pemain Persebaya juga langsung menuju lorong ruang ganti. Saya, malam itu, hanya melihat tidak digunakannya bahasa bola di sana.

Polrestabes Surabaya adalah salah satu yang terbaik dalam menggunakan bahasa bola. Perbaikan pelaksanaan pertandingan terus mereka dilakukan. Termasuk memanfaatkan teknologi.

Zaman teknologi ini harusnya lebih mudah. Tidak perlu lagi ada loket karcis di stadion. Pembelian tiket dilakukan pakai aplikasi. Jumlah penonton sudah diketahui sehari sebelum pertandingan. Bahkan tren ramai-tidaknya penjualan karcis sudah diketahui lima hari sebelumnya. Dengan demikian kirka (perkiraan keadaan) bisa dibaca lebih dini. 

Sistem gelang juga membantu banyak. Polisi sudah bisa tahu siapa yang pakai gelang dan tidak. Yang pakai gelang adalah yang berhak masuk kompleks stadion. Seleksi pertama bisa dilakukan jauh di luar stadion. Di jalan masuk menuju stadion. Polisi tidak perlu memeriksa. Cukup melirik lengan mereka: bergelang atau tidak. 

Dengan demikian tidak ada lagi penonton tanpa karcis yang bergerombol di luar stadion. Mereka ini yang berpotensi menjebol stadion dan juga menyumbat pintu keluar/masuk stadion.

Peristiwa Bonek tiga minggu lalu tidak akan terjadi kalau pertandingannya di Surabaya. Di Stadion Gelora Bung Tomo. Hari itu stadion lagi dipakai pertandingan tim nasional. Persebaya vs RANS Nusantara FC pun dipindah ke Sidoarjo. 

Penonton tak bergelang tidak bisa diseleksi jauh di luar stadion. Kalau dilakukan itu akan memacetkan jalan umum. Maka yang tidak bergelang pun bisa mendekat stadion. Mereka itulah yang akhirnya berhasil masuk stadion sebelum setengah main.

Teknologi bisa mengurangi banyak potensi rusuh. Penutupan penjualan tiket dua hari sebelum pertandingan adalah baik: perkiraan pengamanan bisa dibuat lebih tepat. Penggunaan gelang sebagai pengganti karcis mutlak. Polisi lebih mudah melakukan seleksi pertama jauh di luar stadion.

Tapi yang lebih penting lagi adalah: semua yang bertugas di stadion harus tahu bahasa bola. (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan

Edisi 3 Oktober 2022: Tragedi Prestasi

\Pryadi Satriana

Mari gunakan nalar & bicara FAKTA. 1. Polisi sdh minta diadakan sore. Ditolak. Dan mau (ditolak), padahal polisi yg menjaga keamanan. Artinya: polisi bisa tetap menolak dg alasan keamanan, dan tidak memberi izin. Kok mau? Apa dapat "amplop"? Yg jelas, dg memberi izin, POLISI HARUS BERTANGGUNG JAWAB KEAMANAN ACARA PERTANDINGAN TSB. HARUS!!! 2. Ada yg bilang penggunaan gas airmata itu sudah sesuai SOP. MANA SOP-nya? Robek & bakar! FIFA itu organisasi internasional, kalau mau tetap jadi anggota FIFA ya HARUS MENGIKUTI ATURAN FIFA. Ndhak bisa bilang "Polisi punya SOP sendiri." Geblek itu! Ke-geblek-an semacam itu yg membuat lebih seratus orang kehilangan nyawa! Jangan bilang itu 'takdir'. Kita punya 'pilihan bebas'. Polisi punya pilihan: menggunakan gas airmata atau tidak di stadion. Aturan FIFA jelas: pengamanan di stadion TIDAK BOLEH MENGGUNAKAN GAS AIRMATA! Ikuti itu! Jangan bilang punya SOP sendiri. Jangan arogan! 3. Tidak ada jatah utk supporter Persebaya. Tidak ada kerusuhan antar supporter! Seperti dikatakan seorang Aremania yg masuk lapangan, itu bentuk "protes": Kok kalah? Kami kecewa. Lain kali lebih baik ya? Itu bentuk kecintaan supporter. Malah ada yg merangkul kiper. Lha kok dipentung? Kok digebuk? Kok ditendang? Kejam ... 4. Ndhak usah cari2 alasan. Masalah utama pada pengamanan yg salah. Kapolri harus mengusut tuntas & memberi penyelesaian yang adil. Jangan remehkan nyawa Aremania saudara2 kami, mereka bagian dari Indonesia. Selamat bertugas, Pak Kapolri. Salam.

Fajar Priokusumo

Banyak ucapan dukacita. Banyak saran, banyak kritik. Tapi yang jelas, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada nonton bola di stadion. Stadion manapun. Pak Dahlan pernah kabur dari rawatan rumah sakit buat datang ke Tambaksari. Saya pernah hampir kena gigit Herder Polisi waktu turun ke lapangan saat Persebaya juara lawan Persija. Bodo, kurang kerjaan, fanatik sempit.....terserahlah. Yang jelas seperti itulah kecintaan terhadap bola dan tim kesayangan. Salam dukacita untuk semua korban Kanjuruhan. Semoga mendapat tempat terbaik disisiNya.

Komentator Spesialis

Dulu kami kalau nonton harus naik ke atas pohon. Itu waktu masih kecil. Nggak ada duit untuk beli tiket. Stadionpun tribun masih satu sisi saja. Sisi lainnya hanya pagar yang bebas dipandang dari luar (kalau naik pohon)

Kapten

Sepanjang tahun 2021-2022, nama kepolisian meningkat tajam karena beberapa rumor pembunuhan. Terakhir isu soal gas air mata, atau bom asap. Di Malang. Jika benar kepolisian mau melakukan hal seperti itu, siapa yang mampu memobilisasi. Apakah Jokowi, belum tentu. Apakah permasalahan dari Madiun, belum tentu. Tapi trafik kemanusiaan di Jawa timur memang rumit. Sampai satu Jawa mau di seret. Lord Luhut, Mentri segala jurusan harus menjelaskan ini. Karena lebih pengalaman. Saya tidak suka menebak. Apalagi menuduh. Atau mungkin Jendral Dudung yang menjelaskan, karena akhir-akhir ini menjadi trend di Google Analytics.

sinung nugroho

Saya merasakan tulisan kali ini seperti tulisannya Mas Ulik. Dan mengingatkan saya akan "legelisahan" Mas Ulik pada tulisan "Teknologi Sportivitas", 14 September 2022 dan "Sepak Bola Kamalaman", 3 Agustus 2022.

Lukman bin Saleh

Karena Abah menyebut tragedi ini hanya kalah jumlah korbannya dg tragedi di Peru th 64. Sy cari beritanya. Dan ternyata. Tragedi d Peru 58 tahun lalu itu memiliki kemiripan dg tragedi Kanjuruhan ini. Sama2 berawal dr aparat yg menghajar suporter yg masuk ke lapangan dg brutal. Kemudian penonton lain emosi. Aparat menembakkan gas air mata. Kacau balau. Mirip sekali. Tp harusnya yg d Kanjuruhan ini tdk perlu terjadi. Th. 64 itu begitu kuno d banding th. 2022. Masak iya kekonyolan sekuno itu masih d lakukan aparat semodern sekarang?

Liam Then

Ada adengan film scifi yang saya pernah tonton terkait "jika" atas pilihan manusia. Di dunia multiverse, yang dipercaya oleh satu cabang ilmu fisika. Jika cabang pemikiran ilmu fisika ini benar adanya. Akan ada bagian dunia, yang mana satu penonton itu yang memulai turun ke lapangan memilih untuk pulang bersama teman, mampir ke warung sate. Makan bersama kemudian pulang. Semuanya pulang, aman. Ada juga bagian multiverse, dimana penonton turun, dirangkul petugas, tidak dipukul dan di pentungi, tapi dibisiki. "Pulang,ditunggu bapak ibu dirumah, minggu depan bola ada lagi, kalah menang biasa.Liverpool saja bisa kalah sama Sotong ( Southhampton)" Akan ada banyak bagian multiverse, dimana semua terjadi oleh peluang yang di ciptakan oleh kehendak bebas manusia. 

yea aina

Mungkin saja multiverse yang sempat berlangsung: penonton yg sudah bisa menerobos pagar stadion ke lapangan hijau hanya ini merangkul penjaga gawang tim Arema, sambil berbisik "aksi penyelamatan gawangmu hebat, saya Arema belum men.....". Belum menyelesaikan ucapannya, dia mengalami pukulan benda keras entah di punggung ataupun kepala bagian belakang. Siapa yang tahu?

Tunk BM

POLRES Malang sudah meminta pertandingan itu digeser ke sore hari. Pukul 15.30. Jangan malam hari, pukul 20.00. Benar, namun akhirnya perhelatan tetap digelar, artinya tetap mendapatkan izin dari Polres, bahkan mendapatkan pengamanan resmi dari Polres. Bukankah tanpa izin Polres, pertandingan bola tersebut tidak bisa dilaksanakan?

Mirza Mirwan

Lepas Isya tadi malam saya sudah menulis di komentar CHD edisi Cari Cinta, bahwa dalam tragedi Kanjuruhan ini yang salah adalah PT LIB, Panpel, dan polisi. Kalau polisi tidak tahu Pedoman Pengamanan Stadion yang dikeluarkan oleh FIFA, bisa dimaklumi. Tetapi PT LIB dan Panpel (Arema FC) pastinya tahu, dan wajib memberitahukan kepada polisi bahwa senjata api dan semua jenis gas airmata dilarang digunakan untuk mengatasi kerusuhan penonton dalam stadion. Polisi tidak tahu aturan itu, wajar. Tetapi yang tidak wajar ialah kenapa polisi harus mengarahkan gas airmata ke arah penonton yang duduk manis di tribune? Justru karena efek gas airmata itulah yang menimbulkan kekacauan. Dan akibatnya korban berjatuhan. Jumlah korban tewas, versi resmi 125. Versi lain antara 130-182. Sangat disayangkan.

Mirza Mirwan

10 Kerusuhan di stadion yang paling banyak makan korban jiwa (belum termasuk di stadion Kanjuruhan) 10) Valley Parade, Bradford, UK, 1985, saat laga Bradgord City vs Leicester City. Korban tewas 56 jiwa. 9) Ibrox, Glasgow, UK, 1971, laga Rangers vs Celtic. Tewas 66 jiwa. 8) Luzhniki Moskow, Rusia, 1982, laga Spartak Moskow vs HFC Haarlem. Tewas 66 jiwa. 7) Estadio Monumental, Argentina, 1968, laga River Plate vs Boca Juniors. Tewas 71 jiwa. 6) Port Said, Mesir, 2012, laga Al-Masry vs Al-Ahly. Tewas 79. 5) Estadio Doroteo Guamuch Flores, Guatemala, 1996, laga Guatemsla vs Costa Rica. Tewas 80 jiwa. 4) Dasharath Stadium, Kathmandu, Nepal, 1988, laga Janakpur Cigarette Ltd vs Liberation Army. Tewas 93 jiwa. 3) Hillsborough Sheffield, 1989, laga Liverpool vs Nothingham Forest. Tewas 96 jiwa. 2) Accra Sports Stadium, Ghana, 2001, laga Heart of Oak vs Kotoko. Tewas 126 jiwa. 1) Estadio Nacional, Lima, Peru, 1964, laga Peru vs Argentina. Tewas 328 jiwa.

Juve Zhang

ada saran jitu yg bisa PSSI terapkan yaitu setiap bertanding di kandang lawan, gawang tim tamu kekiri dilebarkan 15,7 cm, ke kanan dilebarkan 14,6 cm, ke atas naikan 13,8 cm, itu aturan "subsidi" buat supporter yg sangat kecewa jika tuan rumah kalah. Jika sudah " disubsidi" masih juga kalah , ya supporter harus besar hati, bahwa lawan memang main bagus. Subsidi pembengkakan ukuran gawang semoga dapat "memuaskan" ingin menang terus. Gak mau kalah. 

arif surya

Kenapa semua ditimpakan ke petugas, petugas juga lebih lelah dari suporter, mereka dtg lebih dulu daei suporter, niat kerja pula bukan senang senang kyk suporter yg seharusnya. Kenapa pula yg katanya liga profesional tapi pengamanannya harus penegak hukum dgn segala sop penindakan massanya yg bisa berantakan saat lelah dan emosi berlebihan. Lihat liga inggris, atau eropa lainnya. Polisi cuma assesor, pengaman dari panpel. Aparat jelas salah. Tindakan pengamanan yg dilakukan malah menimbulkan korban, tapi yg paling bersalah itu panpel, lib dan pssi, bgakunya profesional, tapi tata kelola kompetisi kyk kaki lima

Kang Sabarikhlas

Alfateha untuk Almarhum+Almarhumah tragedi Kanjuruhan... Ternyata Abah juga nonton live pertandingannya, kalau saya nonton di warung giras bareng bonek aktif dan bonek dah pasif kayak saya. Awalnya saya siapkan mental untuk melihat Persebaya 'ancur' digilas Arema yang pasti main bagus kayak singo edan, lihat saja rekor Persebaya ndak pernah menang lawan Arema dikandangnya... Persebaya bisa memasukan 2 gol itu bikin heboh di warung giras, pemilik warung juga senang, semua jadi pesan kopi lagi, rokok lagi... Lalu kedudukan jadi imbang 2-2 dan Arema main bagus, menyerang terus, dua kali gagal gol, saya sudah ndak kuat, detak jantung sudah berdebar perdetik melebihi batas maksimal,..saya pulang, berharap hasil seri... tengah malam terbangun dari tidur, buka hp dan terkejut berita tragedi itu.. 'entah siapa yang salah'.. ndak usah ikut menghakimi, apalagi cuma melihat video yang beredar cuma sepotong-sepotong.. Biarlah jadi tugas pencari fakta penyebab kejadian tragedi itu... Innalillahi wa innaillaihi rojiun.

Tego Yuwono

membaca tulisan ini saya jadi kasihan sama petugas keamanan di lapangan ( polisi ), dengan data seadanya Abah langsung memojokan petugas keamanan di lapangan. Kerusuhan sudah terjadi, korban sudah banyak dan dari kejadian tersebut seharusnya kita semua belajar. Saya tidak punya kepentingan apa-apa terhadap polisi, tapi seringkali merasa kasihan saat mereka di tugaskan mengamankan keramaian. Mereka seringkali juga menjadi korban kekerasan.

Forsandy Kurniawan David

tentang gas air mata: saya sesal sedih mendengarnya bahwa kata Kapolda "itu seusai dengan SOP." WTF, saya kira ta perlu dijelaskan beda masa dalam stadion sama massa demo di jalanan, ga paham. kenapa jawabnya harus begitu ? biar ngga salah, biar ga dimutasi biar apa coba? sedih hati ini punya p-o-l-i-s-i kaya gitu. adalagi p-o-l-i-s-i :kami nda perlu baca aturan FIFA kami jalankan sesuai peraturan di indonesia , kami bukan bagian dari FIFA, Wong edan komentar2 dengan motif sama tidak mau disalahkan. ora eling setelha ini ada piala dunia, lha memang FIFA mau percaya sama p-o-l-i-s-i ? sama indonesia kal model kaya gitu. wes lah sedihhhhhhh hati ini susahhhhhhh . mari kita ikuti saja saran dari bu sri mulyani."meyerahkan kepada sang pencipta"

*) Dari komentar pembaca http:/disway.id

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda