Sang Begawan Media

Partai Amplop

Suharso Monoarfa saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) IV dalam rangka pelaksanaan tahapan pemilu 2024, pada 9-10 Agustus 2022.(FOTO: tribunnews.com)

COWASJP.COM – "MASIH di Eropa?" tanya saya.

"Tanggal 5 September saya sudah pulang," jawab Suharso Monoarfa, menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas.

"Kok waktu Muskernas partai tidak hadir?" tanya saya lagi.

"Itu kudeta," jawabnya.

Suharso adalah juga ketua umum Partai Persatuan Pembangunan. Di musyawarah kerja nasional itu ia diberhentikan. Digantikan oleh Mardiono, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang juga ketua Majelis Pertimbangan Partai.

"Itu tidak sah. Sejak rapat DPP PPP sudah tidak sah," kata Suharso. "Untuk rapat DPP harusnya kan saya yang mengundang. Saya tidak tahu itu," tambahnya.

Waktu itu Suharso masih di Eropa. Yang mengundang rapat adalah Asrul Sani, wakil ketua partai yang juga wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Rapat DPP itulah yang memutuskan untuk menyelenggarakan Muskernas. Agar ketua umum bisa diberhentikan. 

Forum itu dinilai sah mengganti  ketua umum. Sejak itu terbentuklah DPP PPP yang baru, dengan Mardiono sebagai Pj ketua umum. Pengurus lain tetap. Kecuali kalau ada yang mengundurkan diri.

Kelihatannya ada.

Kini mereka masih saling tunggu: kubu mana yang lebih kuat. Kinilah tahap yang paling mendebarkan bagi para pengurus. Salah langkah bisa lenyap.

Suharso pun mengancam akan memecat para pengkhianat di partai. Mereka yang terlibat di Muskernas itu dianggap pengkhianat. "Mereka itu Brutus semua," kata Suharso. 

"Lho kalau mereka dipecat kan habis?" tanya saya. 

"Masih banyak yang ikut saya. Dari pengurus yang ada, lebih banyak yang memihak saya," ujar Suharso. "Termasuk sekjen partai," tambahnya. Dari 46 orang pengurus, kata Suharso, setidaknya 28 orang memihak dirinya. "Lebih separo," katanya. 

Pengurus baru itu sudah mengirim surat ke Kementerian Hukum dan HAM. Mereka minta pengesahan. Suharso juga sudah berkirim surat ke alamat yang sama: agar menolak permintaan mereka.

"Kan sesama menteri. Tinggal telepon...," tukas saya.

"Ya... saya sudah telepon. Saya bilang ke beliau kalau permintaan mereka dipenuhi kita tidak berteman lagi," ujar Suharso.

Maka kedudukan pemerintah kini jadi penentu. Sekaligus kita-kita bisa melihat: pihak mana yang sebenarnya mendapat restu.

Yang satu anggota kabinet presiden. Satunya lagi dewan pertimbangan presiden. Sama-sama bagian dari pemerintah. Sama-sama pengusaha. Sama-sama kaya. 

Restu –bukan nama bus antarkota– kelihatannya masih penting di zaman ini. Restu itu pula yang dimainkan agar Muskernas bisa  dilaksanakan. "Saya juga mendengar Muskernas itu dilakukan dengan cara menyebar isu sudah mendapat restu," ujar Suharso. "Kita lihat saja siapa yang benar," katanya.

Masih seru ternyata. 

Suharso pun siap berjuang sampai  ke arena hukum. "Saya sudah tunjuk Pak Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum," kata Suharso.

Suharso pun melakukan klarifikasi soal amplop kiai yang ia ucapkan. Yang kemudian diviralkan. Heboh. Yang membuat ia dianggap menghina kiai. 

KPK memang sering mengadakan acara pembekalan anti korupsi. Suharso sendiri salah satu ketua gugus tugas pemberantasan korupsi. KPK bertanya padanya pihak mana yang diutamakan untuk program pembekalan itu.

"Partai politik," jawab Suharso. Dasar pertimbangannya: presiden itu disiapkan dan dipilih oleh partai. Para anggota DPR disiapkan oleh partai. "Partai-partai harus benar dulu," katanya.

Karena itu KPK mengundang para pengurus partai. Secara bergelombang. Giliran gelombang PPP, Suharso ikut hadir. "Baru saya ketua umum partai yang ikut hadir di forum KPK seperti itu," kata Suharso.

Tiga pembicara tampil: ketua KPK, wakil ketua bidang pendidikan dan pencegahan, dan ketua umum partai.

"Ucapan saya itu sebenarnya untuk merespons pidato wakil ketua KPK Kiai Nurul Gufron," ujar Suharso. "Saya memang memanggil beliau kiai. Beliau itu anak kiai terkemuka dari Sumenep," tambahnya.

Gufronlah, kata Suharso, yang membakar semangat pengurus PPP untuk jangan menuhankan uang. "Yang percaya kekuasaan uang berarti tidak percaya kekuasaan Allah," ujar Gufron seperti ditirukan Suharso.

Gufron pun menceritakan ayahnya begitu konsisten di PPP. Sampai beliau meninggal. Tanpa pernah tergoda rayuan uang dari mana pun.

Sebagai pembicara terakhir Suharso menyinggung soal kebiasaan amplop untuk kiai. "Saya tidak pernah mempersoalkannya. I know that. Itu namanya bisyarah. Saya tidak persoalkan itu," katanya.

Yang penting, katanya, jangan sampai berubah menjadi keharusan. Ia pun menceritakan pengalamannya ke satu pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut sudah sangat maju. Tidak kekurangan apa pun. Ia merasa tidak perlu meninggalkan amplop di situ. Ternyata ia dibisiki seseorang di situ: kok tidak meninggalkan sesuatu.

"Apakah di forum tersebut Anda menyebut nama pondok dan kiainya?" tanya saya.

"Tentu tidak. Saya justru bangga dengan pondok besar itu karena kemandiriannya," ujarnya.

Ia pun membisiki saya. "tapi jangan ditulis ya," katanya.

Kenapa tidak minta maaf saja? Agar reda?

“Saya sudah minta pengurus  untuk memintakan maaf. Tapi malah salah. Malah dikira saya bersalah. Saya itu tidak merasa bersalah," tegasnya. "Risiko apa pun saya hadapi. Dicopot dari jabatan menteri pun saya tidak takut. Kebenaran harus ditegakkan," katanya.

Itulah Suharso Monoarfa. 

Meski orang Gorontalo, Suharso lahir di Mataram, Lombok. Waktu itu ayahnya, Adam Yunus Monoarfa, mendapat tugas dari Bung Karno. Adam bersama dua orang lainnya harus ke Nusa Kecil –kini disebut Bali, NTB, dan NTT. Mereka bertugas menerima penyerahan wilayah dari raja-raja kecil di Nusa Kecil untuk dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia.

Pertama kali ayahnya mendarat di pelabuhan Atapupu. Lalu ke So'e. "Kakak saya lahir di So'e, Timor," ujar Suharso.

Di setiap daerah mereka bertemu raja kecil. Menerima kekuasaan dari mereka. Lalu Sang ayah ke Lombok. Untuk menerima penyerahan dari raja Karangasam, Mataram. "Saat itulah saya lahir," katanya.

Dari Nusa Kecil sang ayah dipindah ke Malang. Lalu ke Blitar. Masa kecil Suharso di Blitar. Masa remajanya di Malang. 

"Di Blitar rumah kami di sebelah rumah Bung Karno. Saya sering digendong Bu Wardoyo, kakak Bung Karno. Sering disuapi kacang hijau," ujar Suharso. "Saya juga sering diberi bola kaki yang wujudnya jeruk bali," tambahnya.

Tapi kenapa orang Gorontalo bernama Suharso?

"Waktu ibu melahirkan saya, ayah lagi bertugas di pulau lain. Polisi yang membantu ibu melahirkan bernama Suharso," katanya. (*)

***

HASAN-OKRE.jpgHasan Aspahani (kiri). (FOTO: billyantoro.com)

Siapa Membunuh Putri (6)

Ajakan Bang Jon

BANG Jon menolak bertemu sehabis rapat itu. Ia bilang besok pagi saja. Saya lihat wajah putihnya – putih khas orang Manado yang rada mirip Tionghoa itu, juga sempit bukaan matanya itu – tak lagi memerah seperti di tengah rapat redaksi tadi. Saya agak tenang melihatnya.  ”Besok di Kedai Purnama, ya. Tahu kan?”

Aku langsung tancap gas di ruang redaksi.  Dua redaktur yang membantu tak perlu diragukan kerjanya.  Stok berita cukup. Bayangan headline halaman depan dan semua halaman dalam sudah ada juga.  Saya masih ada waktu mengetik beritaku sendiri. Lalu menyunting hasil wawancara wartawan kami dengan pejabat di Otoritas Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas. Atau OPKPB . Orang di kota ini bisa menyebut OP saja.  Metro Kriminal, seperti media lain, juga biasa menyebut dengan ringkasan OP saja.  Soal  investasi besar, Maestrochip Corp. yang akan menyerap sepuluh ribu pekerja. Angka yang luar biasa besar.

Saat aku mengedit berita itu, Bang Eel tiba di kantor. Dia langsung bertanya padaku. ”Dur, ada berita dari OP soal investasi Maestrochip Corp?”

"Ini sedang saya edit, Bang.”

Bang Eel, menggeser dudukku, mengambil alih komputer yang kupakai mengedit, mengecek judul, membaca lead, dan dengan cepat men-scroll layar sampai ke akhir berita. 

”Oke, ini nanti di halaman depan, ya,” katanya. 

”Cocok, Bang? Kita koran kriminal lo? Apa gak aneh?”

”HL kedua, bukan headline utama. Ini perusahaan besar, bakal menyerap sepuluh ribu operator, Dur. Nanti mereka pasang iklan loker tiap hari. Ini Bang Ameng yang pegang semacam humasnya atau penghubungnya di lokal. Ia yang pegang dan atur iklannya. Ia akan sering kontak kau nanti. Temui aja. Langsung. Tak usah sama-sama aku, tak apa. Kau kan sudah kukenalkan….”

Aku belum terlalu paham.

”Sudah, saving dulu. Nanti hilang. Belum ada kerjaan lain? Semua aman kan? Rapat tadi gimana?”

”Aman, Bang…”

”Bagus, kau tegas saja sama Jon itu. Tadi aku sudah tahu, kok. Mila  tadi telepon aku ke percetakan,” kata Bang Eel. 

Bang Eel ajak saya bicara di ruangannya. Dia mau sampaikan hasil rapat dengan orang percetakan.  Intinya, Surabaya akan kirim mesin cetak baru, lebih cepat, lebih bagus hasilnya, bisa maksimal enam belas halaman sekali jalan. Dua tower istilahnya. Tapi Metro Kriminal harus mencapai 30 ribu. ”Minimal 20 ribulah. Kalau lihat tren kenaikan beberapa bulan terakhir, kita bisa akhir bulan ini tembus 20 ribu,” kata Bang Eel.

Dia seperti menuntut, memicu, dan menyemangati saya.   ”Mesin yang sekarang akan dikirim ke Medan. Tadinya mesin baru itu untuk di Medan sana,” kata Bang Eel.  Saya mengiyakan saja.  Tampak berat tapi menantang.  Kalau harus tambah halaman, saya sudah menghitung tenaga redaksi pasti kurang. 

”Kalau tercapai 20 ribu kita boleh nambah wartawan,” kata Bang Eel. Dengan janji dukungan seperti itu rasanya saya bisa optimistis. Ia juga cerita tentang rencana grup kami bikin koran kedua.  Bahkan namanya pun sudah ada. ”Dinamika Kota”. Koran umum, bukan koran kriminal seperti Metro Kriminal. 

*

Kedai Kopi Purnama namanya. Nama yang melegenda.  Sudah beberapa kali aku ngopi dan, nah ini dia, menyantap hidangan khas mie lendir. Kalau dengar namanya rasanya agak jijik. Kata lendir itu konotasinya memang kotor, dan jorok. Kata itu merujuk ke kuah kacang yang dikentalkan dengan tapioka. Ya, memang seperti lendir jadinya. Tapi itulah nikmatnya.  Kuah dengan aroma ebi, dan gurih kaldu, melimpah di atas mie yang silindernya besar-besar. 

Bang Jon sudah menunggu ketika aku tiba di kedai itu. Dengan rokok putih mahal. Dua bungkus dia tumpuk di meja di hadapannya, di sebelah kunci Storm. Di tangannya Zippo perak yang ia  buka-tutup, ia nyala-hidupkan. 

”Minum apa, Dur? Kopi tarik? Atau teh tarik?” Aku memesan teh tarik. 

Tandas seporsi mie lendir. Bang Jon menawari pesan makanan lain. Saya bilang itu sudah cukup. ”Bungkus ya, buat anak-anak panti?” tanya Bang Jon. ”Koh, bungkus ya… Ke sinilah,  ini tanya kawan saya ini, berapa bungkus,” katanya memanggil koko kedai kopi.  

”Nggak ngerokok, Dur? Ini coba. Enak lo…,” kata Bang Jon. Saya coba sebatang. Saya tak tahu bagaimana rasa rokok enak dan tidak enak. Bagiku sama saja.  Bikin dinding mulut terasa tebal dan tenggorokan langsung gatal kayak mau batuk. Jon terkekeh-kekeh.

”Kamu masih di panti asuhan itu ya? Ambil rumahlah. Itu ada perumahan baru ke arah bandara,” kata Bang Jon.

”Belum punya uang mukanya, Bang,” kataku.

”Uang muka kok dipikir,” kata Bang Jon. ”Nah, gini. Mumpung kita lagi omongin uang. Aku ajak kamu ngomong ini.” Dia perbaiki posisi duduk. Menegakkan tubuh, menandai keseriusannya.  Agak heran juga saya dengan keramahannya, apalagi teringat kemarahannya kemarin sebelum dan pada saat rapat.   

Bang Jon lalu cerita soal rencana grup  Pedoman Rakyat. Saya tahu itu grup media besar, lebih besar, dan lebih tua dari grup koran kami. Grup itu akan buka koran di kota kami.  

”Aku sudah ketemu mereka, Dur,” kata Jon. ”Aku mau tahu sekarang berapa gaji barumu?” 

Saya bisa menebak ke mana arah pertanyaan Bang Jon, saya sebutkan saja angka di SK baru itu. 

”Kamu mau ikut aku nggak? Kita gabung ke koran Grup PR itu, namanya  bagus Podium Kota, bukan koran kriminal. Capek kita di kriminal terus. Itu koran sudah ada di beberapa kota. Bakal jadi pesaing grup kita. Di beberapa kota lain, grup kita goyang, Dur. Mereka serius. Dipersiapkan benar. Juga soal gaji wartawan. Jauh lebih baik.  Saya bisa pastikan gajimu di koran baru itu bisa dua kali lipat minimal. Terserah kami minta berapa, asal tak lebih dari tiga kali lipat gajimu sebagai asredpel yang kamu sebut tadi itu,” kata Jon. 

Saya sangat terkejut dengan tawaran Bang Jon ini. Begitu cepatnya sikap Bang Jon berubah. Ada apa? Apakah persaingan dengan Bang Eel kini juga bersaing memperebutkan aku agar ada di pihak mereka, bahkan kini tawarannya adalah berada di koran yang berbeda? Tapi rasanya aku tak sepenting itu untuk diperebutkan.  

Saya mematikan rokok. Menunduk. Tak tahu bagaimana hendak menolak. Juga sangat ragu untuk menerima.  Dalam banyak hal, grup PR di mata orang banyak, di negeri ini,  lebih baik dari grup koran kami. Grup kami memang lekas sekali berkembang. Seakan-akan tanpa perhitungan bisnis yang matang. Intuitif saja.  

Mitos yang dipercaya orang, katanya, Indroyono Idris, CEO grup kami itu, kalau mau bikin koran cukup lihat apakah di kota itu ada ATM BCA. Kalau ada berarti layak buka koran. Kelak saya bertemu dengannya, saya tanyakan mitos itu. Tapi logikanya mudah saja, BCA tentu tak sembarang buka cabang.  Pasti sudah dengan survei dan kajian perputaran uang yang cukup untuk sebuah cabang bank mereka.  

Grup PR sebaliknya amat berhati-hati mengembangkan koran-koran di daerah. Pakai survei dan riset yang makan waktu lama.

Bang Jon meletakkan dua pilihan di hadapanku:  bergabung di grup yang besar, mapan, dan legendaris itu, atau tetap di grup kami yang muda, agresif, dan baru saja memberiku sebuah kenaikan posisi karir yang amat lekas kuraih.

”Kau jawab besok saja, tak usah hari ini. Eh, tapi aku hari ini dan besok izin tak masuk ya. Sudah bertahun-tahun kayaknya aku ndak pernah cuti,… Bilang sama Eel ya, aku izin, malas aku hubungi dia,” kata Bang Jon.  

Seorang perempuan manis sekali, menghampiri kami setelah dilambai oleh Bang Jon. Dia diperkenalkan sebagai  Nenia.  ”Ini lho, Si Abdur yang sering kuceritakan kamu. Yang kode beritanya ‘dur’ itu,” kata Bang Jon.

Nenia datang, mendekat seperti cahaya terang dan mengubah aroma kopi dan teh dari uang air panas dari tempat penyeduhan itu jadi wangi.  Menyapa merdu, dan menjabat dengan lembut.  

Tapi gelombang menimbang hal-hal besar, pilihan-pilihan yang menentukan langkah dan masa depan menderu, menggempur dinding-dinding benakku.   Bertahan pada posisi bagus yang baru saja kuterima atau menerima tawaran posisi yang lebih baik dengan imbalan yang jauh lebih baik?  (bersambung

Komentar Pilihan Dahlan Iskan*

Edisi 8 September 2022: Beras Manja

Namu Fayad

Di Mandailing, porang artinya: perang!

Mbah Mars

Sudah baca cerbungnya Hasan pagi ini ? Tentang rapat redaksi yg panas. Yang aneh foto ilustrasinya dua pasang tangan, tangan laki-laki dan perempuan dan di bawahnya diberi keterangan:" Diolipa Yumara mengatakan bahwa Putri Candrawati making love dengan Om Kuat. Apa karena sama-sama panas ? Apa karena bagian ilustrasi ngelindur ?

Dacoll Bns

"Maka berhentilah memanjakan siapa pun dan apa pun." Ini mak jleb, sebagai rakyat kita harus berhenti memanjakan 'siapa' pun dan 'apa' pun, biarkan mandiri, rakyat kecil aja bisa hidup mandiri meski kadang dihalang-halangi berbagai regulasi yang tidak penting. 

Condro Mowo

'Dimanjakan' kurang lebih dalam bahasa Jawa : sering 'diporang-paringi' ,sering dimudahkan, digampangkan, dapat previlege,akses... dan sebagainya.... aku mau dong, porang.... 

dabaik kuy

pemerintah malah dimanja. KA janji tdk pakai subsidi akhirnya KA cepat pakai subaidi APBN ... triliunan pula... wkwkwk... koko2 pengusaha disubsidi juga dgn pajak ringan.... dgn harga lahan sangat murah...... wkwk koko2 pengusaha manja disubsidi pajak murah

A fa

Beuh...agree to disagree !, Nolak istri yang lagi mau bermanja manja akibatnya bisa lebih barbahaya daripada harga porang yang turun. Apalagi buat yang bukan petani porang.

Wawan Wibowo

Tentunya tanaman porang tidak pernah meminta untuk dimanjakan,jadi pokok masalahnya adalah pada penanam porangnya yang suka memanjakan, mungkin penanam porangnya berharap besok ada balas budi dari tanaman porang saat masa pemilu,eh salah,masa panen maksutnya

am dki9

Dimanjakan harapannya agar produksi meningkat, panen lebih banyak lebuh baik, untung lebih tinggi. Padahal hukum ekonomi berlaku. Fitrah manusia ingin mendapat lebih atau dinilai lebih baik sehingga memanjakan apapun dan siapapun.

Damar Marzuki

Akhirnya kota Juwono pati masuk juga ke "peta"nya disway, makasih bah, udah 3 tahun baca disway hari ini jadi tambah"love".. 

Arala Ziko

betul pak, apa dan siapapun jangan terlalu dimanja. Termasuk BUMN jangan dimanja.

Er Gham

Porang jangan dimanja. Rakyat kecil juga jangan dimanja. Jangan diberikan subsidi lagi. Harus ikut urunan bayar cicilan utang 800 triliun. Harus ikut suntik BUMN yang mau kolaps. Tambal kereta cepat. Jangan dimanja seperti porang.

Ibnu Shonnan

Pesan Prof. Dr. Edi, "Untuk mengurangi resiko rugi bertani Porang seperti saat ini, maka jangan manjakan Porang dalam perawatan atau dalam pemupukan". Filosofi ini ternyata tidak berlaku untuk umat manusia saja. Porang pun menjadikan petaninya remuk ditengah perjalanannya...hehe

Jimmy Marta

Sependek yg kutahu, umbi dipanen, jadikan cip, kering digiling jadi tepung. Gk tahu lagi setelah jadi tepung bgmn bisa jadi beras. Entahlah bgmn juga mahal prosesnya dari umbi 3000/kg menjadi beras 185.000/kg. Seringnya kita lihat, harga2 yg mahal dipasar itu bukan petani yg menikmati. Bukan mereka yg memainkan. Padahal merekalah hulunya. Jangan sampai petaninya hanya begitu2 saja. Pengusahanya yg justru sejahtera.

Kang Sabarikhlas

Baru sejenak baca CHD..eh muncul Cak Dadi'nDukun langsung ngomel : "Kang, aku ngopi digiras ada anak ojol bilang di disway Abah nulis jangan jadi Orang Manja, Abah kok nyindir² kita ya?"... "Lho, tulisan Abah itu kritik membongkar..eh anu membangun, dan itu bukan Orang Manja tapi tanaman Porang Manja". Cak Di tetep ngomel : "padahal meski aku, sampean terdaftar MBR tapi th '21 cuma dapat 2x dan th '22 gak dapat blas, kok gak semua MBR dapat?". "sudahlah Cak Di, disyukuri saja dan berdoa semoga Cak Di ndukun pijet laris ada yang bayar 60, 100, 200rb. itu kan cukup buat sehari-hari, coba bandingkan saya yang gak punya penghasilan"... Cak Di ngeyel : "tapi saya kan tetep orang kampung, sampean meski sekarang ngontrak tapi pernah punya rumah diperumahan dan punya mobil² cuma jadi habis karna ulah anak, untung saya gakpunya anak, gak ngalami yang ruwet²". "itulah, semua disyukuri juga berusaha bangkit, saya sudah cari pinjaman modal tapi gak dipercaya sebab gak punya jaminan, jadi ya alon-alon asal kelakon sambil menunggu batu loncatan". "Kang, singkatan MBR apa benar kata anak ojol itu Masyarakat Berbantuan Rencana? aku kok bingung"... "ya Alloh Cak Di, sudah jangan su'udzon, ini saya matikan hp trus mau cari sarapan ya".. gegara Cak Di baca jadi ndak mood. duh..no deal no done!

Fenny Wiyono

akhirnya saya tau kenapa BBM naik, karena kita terlalu memanjakan motor2 kita.. kl tidak di manja mungkin pertalite 7000 itu sdh untung. mulai besok motor saya harus belajar pakai BBm terbarukan = Bahan Bakar Menyan

Agung Wiratno

Ahh..,....kl p Dahlan Iskan gembira bkn main, saya tdk. Mendengar kata porang bagi sebagian orang adalah trauma. Alhamdulillah saya tdk ikut euforia tanam porang. Tp ribuan orang 'nyungsep' gara2 porang ini. Tetangga2 saya banyak yang "gila" gara2 porang. Betapa tdk, utk budidaya gak bisa asal asalan, shg hrs disiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin, tentu saja biaya juga pasti banyak. Spt biasa, stlh panen ... Buushhh Orang2 yg menganjurkan, mengajak, ngumpet entah kmn. Di daerah Ngawi selatan bahkan sdh terbentuk semacam rantai produksi, ada yg fokus sebagai penjual bibit saja, ada yg jadi tukang semai saja, ada menjajakan bibit yg dari katak itu, ada yg jadi tengkulaknya. Sekarang tinggal cerita saja. Semacam kena prank. Semoga kedepan, baik pemerintah ataupun para pengusaha top kita kl ajak2, menyarankan, ataupun menyuruh menyiapkan dulu pengolahan hilirnya, dan tdk melulu "njagakne' orang luar negeri. Org2 kecil lagi yg kena PHP 

yea aina

Barang siapa memanjakan porang, akan kecewa kala memanennya. Terkadang manis manjanya janji, tak seindah harga jualnya Sudahlah pahit galak pula.

yea aina

Berbisnis barang komoditas, ada dua alternatif untuk dapat cuan, menambah atau mengurangi nilai tambah. Leny melalui kiatnyi, memproduksi beras porang berbahan baku campuran beras padi dan tepung porang. Ia memberikan nilai tambah atas beras padi ataupun tepung porang. Sewajarnya jika Vivo menjual RON 89 dengan harga jual "dibawah" harga RON 90, tidak aturan bisnis yang dilanggar. Vivo pasti masih cuan, karena menjual komoditas BBM dengan RON 89, dijual sesuai harga keekonomiannya.

fajar rokhman

Jangan manjakan siapapun, subsidi bikin manja. Masyarakat manja minta gonta-ganti presiden, gak sabaran. Jangan dimanjakan 

yea aina

Penanam porang terlalu memanjakannya, demikian tanggapan Prof Edi S dari IPB. Porang seliar Vivo: sempat menjual RON 89 dibawah harga jual RON 90, anda sudah tahu. Tentu saja Vivo menjual apa adanya, baik penyebutan RONnya maupun harga jualnya. Meskipun, hanya sempat beberapa hari saja dijual dengan harga dibawah normal baru. Bisa disimpulkan, ada "pemanjaan" dari atasan penjual RON 90, hingga tak ada cuan tanpa penyesuaian harga. Harga jual berdasarkan keekonomian ataukah belas manjaan atasan?

Abi Kusno

Sempat tergiur dengan porang. Diingatkan teman untungnya. Beberapa teman yang lanjut investasi porang, kini menunggu kenaikan harga jual. Yang modal cumpen, apa boleh buat. Dijual senyampang ada pembeli. Rugi? Pasti. Petani pinggiran tak mungkin menunda jualan sementara perut keroncongan. Kita tunggu kabar baik tentang si porang.

Damblebee

Kalau beras porang yg dicampur dgn beras padi sudah ada dari awal tahun ini Pak DI, merk nya Fukumi (disc : bukan iklan, bukan endorse), yg dari bbrp bulan lalu sudah dijual di bbrp supermarket2 besar Jabodetabek dan marketplace (rata2 dijual di harga 195-205 ribu). Bahkan saya pernah lihat di berita Pak Menko Airlangga mengunjungi pabriknya (saya tidak tahu apakah levelnya masih UMKM atau sudah di atasnya). Kemasannya ada yg pouch 1 kg, dan sachet untuk porsi sekali makan sehingga bisa dibawa untuk berpergian. Proses pengolahannya pun mudah karena tidak perlu pakai rice cooker, tinggal tuangkan air mendidih ke dalam beras yg ada di mangkok, lalu tutup dan diamkan selama 15 menit (seperti bikin pop mie). Teksturnya sudah 80% mirip nasi putih biasa, kalau nasi shirataki kan teksturnya crunchy seperti agar2, dan ada sedikit aroma daun pandan. Beras yg sangat cocok untuk penderita diabetes dan yg mau diet, tapi tidak suka dengan tekstur beras shirataki (terutama manula), hanya harganya saja yg masih kurang cocok di kantong :) Saya juga mau coba beras Mamagu dan Dapur Porang, lalu membandingkan rasa dan teksturnya dengan Fukumi. Semoga permintaan akan beras campuran porang seperti ini semakin banyak sehingga harganya bisa turun cukup banyak.

Johan

Beras porang oplosan yang punel (atau pulen), dijual dengan harga Rp 185.000/kg. Mahal sekali? Tergantung mengukur dengan standar apa. Jika diukur dari price for healthy lifestyle, jelas uang Rp 185.000 bisa dipakai untuk membeli makanan lebih sehat dari sekilo beras porang yang berkandungan glukomanan tinggi itu. Tapi jangan lupa disitu memiliki kandungan halal 100%. Kandungan tak kasat mata yang bisa menjauhkan diri dari pintu neraka. Tentang hal ini tentu susah dicari patokan harganya. Beras porang sebagai pengganti beras biasa di masa depan, untuk hidup yang lebih sehat. Ini jelas ide menarik dan bisa dipertimbangkan, yang penting harganya terjangkau oleh semua kalangan. Tidak ada nasi, bubur pun jadi, apalagi bahan bakunya dari porang. Tentu tidak ada masalah, yang penting bisa mengganjal perut yang lapar. Plus menyehatkan. Asal bukan salah paham seperti yang terjadi di Tiongkok pada zaman dinasti Jin (suksesornya era Tiga Negara). Kaisar Sima Zhong, entah saking bodohnya, atau ingin bercanda di momen yang tidak tepat. Membuat komentar yang mencatatkan dirinya sebagai kaisar terbodoh sepanjang sejarah Tiongkok. Alkisah pada masa itu, Tiongkok dilanda bencana kelaparan. Penjabat yang menghadap kaisar melaporkan hal itu. Sang kaisar mendengar dengan seksama dan nampak berpikir keras. Kemudian melontarkan jawaban yang tak terpikirkan oleh orang normal. “百姓无粟米充饥,何不食肉糜?" (Jika orang-orang lapar tidak punya nasi untuk dimakan, mengapa tidak makan bubur daging saja?)

Mirza Mirwan

Sayang sekali, Pak DI tidak menanyakan kepada Ny Lenny berapa persen komposisi beras padi dan tepung glukomanan dalam beras porang produksinya. Taruhlah beras padinya 25%, misalnya, dan tepung glukomanan 75%, harga Rp185.000/kg itu benar-benar ajubile! Saya pernah nyobain Shirataki Konyake yang Rp210.000/kg. Rasanya kalah jauh dari Rojolele yang Rp99.000/5kg. Ya cuma sekali itu beli Shirataki. Tentang cerbung si Dur (Hasan Aspahani /HA), saya hanya membaca bagian pertama. Itupun hanya beberapa paragraf, tidak sampai selesai. Saya belum pernah membaca buku tentang Chairil Anwar yang ditulis HA. Tetapi dari beberapa paragraf cerbung HA itu saya tidak yakin isinya selengkap pujian Pak DI. Boleh jadi HA hanya membuat kompilasi dari beberapa buku tentang Chairil Anwar dari HB Yassin, Boen S. Oemaryati, Pamusuk Eneste dan sebagainya. Bagi saya, buku tentang Chairil ysng memuat lengkap perjalanan hidup Chairil, dari berbagai sisi, adalah karya Syumandjaya (almarhum). Meskipun usianya 11 tahun lebih muda dari Chairil, Syumandjaya pernah berinteraksi dengan Chairil bahkan menyaksikan detik-detik saat Chairil mengembuskan napas terakhirnya pada 28 April 1949 di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (dulu CBZ). Buku itu terbit setelah Syumandjaya meninggal, dengan kata pengantar dari Si Burung Merak, WS Rendra.

Er Gham

Orang kaya berburu beras shiratake mahal karena kalori 0%. Ingin makan nasi tapi yang kalorinya 0 persen. Atau yang diet, malah menjauhi nasi. Nasi dianggap makanan 'kotor' bagi yang sedang diet keras atau bagi binaragawan. Padahal tanaman padi tercipta di dunia ini untuk pangan. Buat yang suka menjelek jelekkan nasi, makanlah hanya daun dan rumput. Lihatlah gajah, badak, kuda, mereka tetap sehat. 

*) Dari komentar pembaca http://disway.id

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda