Pengusaha Sawit versus Pemerintah, Siapa Pemenangnya?

Penulis, Mochamad Makruf

COWASJP.COM – Dok! Pemerintah akhirnya  resmi melarang ekspor produk turunan kelapa sawit, yaitu refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein mulai Kamis (28/4/2022) pukul 00.00 WIB. 

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pelarangan ekspor RBD palm olein akan terus diberlakukan hingga harga minyak goreng curah menyentuh Rp14.000 per liter di seluruh Indonesia.

"Kebijakan larangan ini berlaku untuk semua produk, baik itu CPO, RPO, RBD palm oil, POME, dan used cooking oil. Ini seluruhnya sudah tercakup dalam Permendag diberlakukan mulai pukul 00.00 WIB tanggal 28 April 2022 sesuai kata presiden," ujar Airlangga Hartarto secara virtual di Jakarta, Rabu (27/4/22).

Itu karena presiden geram. Indonesia penghasil CPO terbesar di dunia, kok minyak goreng langka dan rakyat mengantre untuk membelinya. Ya... mengantre seperti era tempo doloe ketika  dijajah Jepang dan Belanda. Tapi pada 2022 ini beda.  Rakyat Indonesia dijajah para pengusaha sawit.

Mengapa? Ya... selama satu dekade Indonesia masih mencatatkan diri sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia. Posisi itu tentu saja tak lepas dari luas perkebunan sawit di Indonesia.

Berdasarkan laporan Statistik Kelapa Sawit Indonesia tahun 2012 luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 9,23 juta hektare, dengan jumlah produksi CPO lebih dari 24 juta ton.

Didasarkan data Indexmundi.com, Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbanyak di dunia. Pada 2020, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 44,5 juta ton. 

Jika milihat data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) angkanya lebih besar lagi. Tahun 2021 produksi CPO Indonesia menembus 46,8 juta ton. Produksi minyak sawit sebesar itu dihasilkan dari perkebunan yang luasnya mencapai 15,1 juta hektare (jangka estimasi).

 Kementerian Pertanian mencatat, luas areal kebun sawit itu meningkat jika dibandingkan pada 2020 yang seluas 14,9 juta hektare (jangka sementara). 

Sebelumnya, pada 2018 luas kebun sawit Indonesia 14,3 juta hektare. Lalu bertambah di tahun 2019 mencapai 14,5 juta hektare, atau meningkat seluas 0,2 juta hektare. 

BPS juga mencatat ada penambahan luas perkebunan sawit di tahun 2019 menjadi 14,4 juta hekatre. Tahun 2020 luasnya mencapai 14,8 juta hektare.

Selain Indonesia, ada dua negara ASEAN pengekspor CPO terbesar, yakni Malaysia dan Thailand.  Ditambah satu negara di Amerika Selatan, dan satu negara di Afrika. Itu the big five produsen sawit.

KESAKTIAN PENGUSAHA SAWIT?

Bila melihat data, baik Kementan maupun BPS, dari 2019 sampai 2020 ada penambahan luas lahan kebun sawit. Padahal, sejak September 2018 pemerintah telah mengeluarkan aturan berupa Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. 

Inpres tersebut memerintahkan kepada instansi pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kembali izin pelepasan kawasan, serta menunda pembukaan kebun sawit selama masa tiga tahun. 

Artinya, jika mengacu pada beleid itu seharusnya perkebunan sawit tak boleh mengalami penambahan luas. Inpres itu sendiri berlaku hingga 19 September 2021. Janggal kan? 

Kejanggalan itu belum berhenti. Sebagai produsen CPO paling melimpah di dunia, Indonesia justru dihajar kelangkaan minyak goreng yang terjadi di rentang akhir 2021 hingga awal 2022, ketika kebijakan harga eceran tertinggi minyak goreng dan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) dirilis oleh Kementerian Perdagangan.

Ketika masih duduk di SD, guru mengatakan bahwa Indonesia produsen sawit terbesar di dunia, kita merasa bangga. Namun kini kebanggaan itu menyesakkan dada. Ternyata kekayaan melimpah sawit Indonesia hanya masuk perut pengusahanya sendiri. 

Minyak goreng langka dan masyarakat antre masa bodoh. Yang terpenting bagi mereka profit. 

Kelangkaan minyak goreng terjadi sejak November 2021. Harga minyak goreng kemasan bermerek sempat naik hingga Rp 24.000 per liter dan sampai hari ini pun di saat Lebaran,  harga masih segitu.  

makruf-baruu.jpg1.jpgPerkebunan kelapa sawit. (FOTO: depositohotos)

Pemerintah pun turun tangan dengan mematok kebijakan satu harga untuk minyak goreng, yakni Rp 14.000 per liter. Dikutip dari Kontan.co.id (31/12/22), Kementerian Perdagangan juga menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic  Price Obligation (DPO).

Kemendag menerapkan kebijakan DMO dan DPO minyak goreng mulai 27 Januari  2022. Dengan kebijakan DMO dan DPO tersebut, Menteri Perdagangan M. Lutfi menyatakan Harga  Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng berlaku baru. 

HET minyak goreng menyebabkan harga turun dan berlaku mulai 1 Februari 2022. Harga minyak goreng curah sebesar Rp 11.500/liter, kemasan sederhana sebesar Rp 13.500/liter, kemasan premium sebesar Rp 14.000/liter. 

Namun, setelah harga minyak goreng ditetapkan di angka Rp 11.500 hingga Rp 14.000 per liter saat ini ketersediaan minyak goreng di toko ritel, supermarket, pasar tradisional justru langka. Lantas, kenapa minyak goreng mahal dan langka? 

Untuk mengatasi bencana ini, pemerintah mencabut harga eceran tertinggi (HET) migor, sejak Rabu (16/3/22). Lalu menyusul adanya kelangkaan yang terjadi belakangan ini. Migor pun bermunculan dari persembunyiannya dan harganya 24 ribu per liter. 

MENGAPA MIGOR MAHAL?

Dikutip dari Kompas.com (26/11/2021) Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam.

Selain itu, faktor yang menyebabkan harga minyak di Indonesia mahal adalah turunnya panen sawit pada semester kedua. Sehingga, kata dia, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng. 

Penyebab lain yang menyebabkan naiknya harga minyak goreng yakni adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. 

Faktor lainnya, yaitu gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.

Harga CPO dunia juga naik tajam. Larangan ekspor bikin harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menembus level 6.700 ringgit per ton atau setara Rp22,40 juta. 

makruf-baruu.jpg2.jpgMinyak goreng sawit. (FOTO: Shopee)

Hal itu seiring dengan langkah Indonesia melarang ekspor minyak goreng yang dapat memperburuk inflasi bahan pangan global. 

Berdasarkan data dari Bursa Malaysia pada Senin (25/4/2022), harga CPO untuk kontrak Juli 2022 naik hingga 6 persen ke level 6.738 ringgit per ton atau US$1.550 per ton. Harga ini merupakan level tertinggi sejak perdagangan 11 Maret 2022 lalu. Padahal informasinya pengusaha sawit bisa BEP di angka hanya USD 500 per ton.

PROFIT TINGGI ATAU NASIONALISME TINGGI?

Harga CPO dunia yang meroket ini menjadikan pengusaha sawit gelap mata. Mereka tetap menimbun produk minyak goreng (migor) --sampai pemerintah mencabut HET Migor, 14.000 per liter (kemasan premium).  

Para pengusaha pun melawan pemerintah. Mereka lebih baik memperoleh profit tinggi dibanding memperoleh gelar nasionalisme tinggi.

Antre minyak goreng terjadi di mana-mana. Bahkan antrean ini menimbulkan korban jiwa. Para pemangku industri kelapa sawit diam semua. Tidak ada yang bersuara. Diam seribu bahasa. Sunyi senyap. Bahkan keberkahan sawit Indonesia mengantarkan para pengusahanya bisa menempati urutan orang terkaya di dunia.

Ini berbeda dengan kondisi pada 6 Februari 2021. Pemerintah aktif memerangi black campaign sawit Indonesia yang dilakukan Uni Eropa. Semua pemangku sawit aktif dan banyak bicara. Ketika menikmati keuntungan luar biasa justru diam seribu bahasa. Ooo. 

Kampanye hitam sebagai dampak dari kompetisi negara penghasil minyak nabati. Beberapa isu yang sering dijadikan bahan kampanye hitam di antaranya isu kesehatan dan kolesterol, degradasi lingkungan dan polusi, orang utan dan biodiversity, isu gambut dan kebakaran hutan, deforestasi dan pekerja di bawah umur.

Bagaimana pemerintah getol melawan black campaign. Ini terlihat dari komentar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Dia mengatakan, tantangan yang dihadapi dalam kompetisi perdagangan minyak nabati saat ini bukan hanya berusaha untuk meningkatkan diterimanya sertifikat perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO) di negara konsumen. Namun juga harus melakukan kampanye balasan (counter campaign) yang dilakukan oleh negara – negara yang tidak suka atau sebagai pesaing palm oil secara masif yang dimotori oleh beberapa negara di Uni Eropa.

makruf-baruu.jpg1.jpg3.jpgFOTO: Canal Berita.

“Pemerintah dan berbagai stakeholder kelapa sawit telah melakukan berbagai upaya (seperti) diplomasi, advokasi, positif campaign atau counter (campaign) terhadap berbagai negative campaign yang ditujukan kelapa sawit dimana Indonesia pada dasarnya menyatakan counter campaign terhadap posisi Indonesia tersebut tidak berdasar sama sekali,” kata Airlangga seperti dikutip Kontan.co.id.

Tapi kini pemerintah ditinggal para pengusaha sawit. Mereka lebih baik memburu profit tinggi dibanding nasionalisme tinggi. Pemerintah pun geram. Maka, Presiden memerintahkan untuk mengusut mafia minyak goreng.

THE WAR WITHIN, LAGI KORUPSI

Buntut migor langka, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat tersangka dalam kasus mafia minyak goreng. Yakni dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022. Salah satunya adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan atau Dirjen PLN Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana. Ternyata pemainnya ada orang dalam.

"Tersangka ditetapkan empat orang. Yang pertama pejabat eselon I pada Kementerian Perdagangan bernama IWW, Direkrut Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan," tutur Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (19/4/2022) dikutip dari merdeka.com.

Secara rinci, keempat tersangka adalah Indrasari Wisnu Wardhana selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup, Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia dan, Pierre Togar Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.

Kejagung menyatakan pengusutan kasus mafia migor tidak akan berhenti usai penetapan empat tersangka. Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, menyampaikan, penyidik tentu menelusuri dan memeriksa seluruh perusahaan ekspor CPO.

"Ada 88 perusahaan yang ekspor, semua itu kita cek benar enggak ekspor, tapi telah memenuhi DMO di pasaran. Kalau enggak, bisa tersangka lah," ujar Febrie di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (20/4/2022).

Febrie menyebut, pemeriksaan terkait penanganan kasus mafia migor tentu juga akan menyasar kepada pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan izin Persetujuan Ekspor (PE).

"Jadi intinya itu ketentuan ekspor, Persetujuan Ekspor, diberikan apabila terpenuhi DMO. Itu secara mutlak sehingga tidak kosong," ujar Febrie.

"Nah ini terjawab nih, kenapa kosong, karena ternyata di atas kertas dia mengakui sudah memenuhi DMO nya sehingga diekspor. Tapi di lapangan dia enggak keluarkan ke masyarakat sehingga kosong lah. Sehingga bisa terang lah dengan perbuatan ini, makanya langka," imbuhnya.

Berapa jumlah perusahaan perkebunan sawit di Indonesia? Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perusahaan perkebunan besar sawit pada 2016 sebanyak 1.592 perusahaan. Di urutan kedua perusahaan perkebunan karet sebanyak 315, dan ketiga adalah perusahaan perkebunan kelapa yang berjumlah 107.

Yang menarik, terdapat 163 perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara pada 2020. Ini menurut catatan BPS. Jumlah ini tersebar di 15 provinsi Indonesia. Persebaran perusahaan kelapa sawit negara terbanyak terdapat di Sumatera Utara. Tapi mengapa kehadiran perusahaan sawit negara tidak bisa menetralisir harga migor?

PETANI SAWIT JADI KORBAN LAGI

Ter-update, larangan untuk eskpor Crude Palm Oil (CPO) ternyata dampaknya balik kepada petani sawit. Karena,  harga Tandan Buah Sawit(TBS) yang semula mencapai Rp4 ribu per kilogram kini terjun bebas Rp1.100 per kilogram untuk petani swadaya. 

Ini membuat petani sawit kelimpungan.  "Hari ini sawit saya hanya dibayar Rp1.100 per kilogram. Kemarin Rp2.500. Kita pusing dibuatnya," kata Raja Siregar petani Pekanbaru, Selasa (26/4/2022).

 Hal senada diucapkan petani di Kabupaten Pelalawan, Suprianto. Dia mengatakan sebelumnya, harga sawit Rp3.700 per kilogram. Kini hanya Rp2000. "Saya kemarin jual ke pabrik kelapa sawit (PKS), harga Rp2.300. Sekarang Rp2.150 per kilogram. Kami jual di PT PSJ (Peputra Supra Jaya) selaku ayah angkat petani. Kami keberatan dengan anjloknya harga di tingkat PKS," kata Suprianto dari Kelompok Koperasi Berkah Tani Sawit di Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Pelalawan. 

Yang jelas sampai hari ini, "perang" antara pemerintah dengan pengusaha sawit terus berlanjut. Entah nanti menang siapa? Bila larangan ekspor CPO menjadikan harga migor turun menjadi 14.000 per liter, maka pemerintah menang. Tapi bila harga migor tetap di angka 24.000 per liter, berarti pengusaha yang menang. Semoga kondisi ini segera berakhir dan normal kembali.(*)

Penulis adalah Wartawan Madya PWI, Dewan Pers

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda