NIM Perbankan Tinggi, Bunga Kredit Bisa Diturunkan

Dr Imron Mawardi: NIM BRI 6,85 persen, NIM BCA 5,1 persen. NIM bank-bank di Malaysia hanya 2,3 persen, Thailand hanya 2,51 persen, Singapura hanya 1,54 persen. (FOTO: tangkapan layar YouTube)

COWASJP.COM – Ekonomi sudah pulih. Paling tidak, itulah yang tergambar dari laporan keuangan bank-bank di triwulan I ini. 

Lihat saja BRI. Dalam tiga bulan ini, BUMN ini sudah mencetak laba Rp 12,16 triliun. Itu meningkat 78,2% dibandingkan periode yang sama tahun 2021. Bahkan, capaian laba ini sudah melampaui masa awal-awal pandemi  Covid-19. Pada triwulan I 2020, laba BRI “hanya” Rp 8,17 triliun

Hal yang sama terjadi pada Bank BCA. Triwulan I ini, saham berkode BBCA ini mencatat laba Rp 8,06 triliun. Bank-bank yang lain tak jauh beda. Labanya sangat besar. Bahkan, sudah lebih banyak dibanding sebelum pandemi Covid-19.

Sebagai sebuah bisnis, laba besar tentu bagus. Tapi, bank adalah lembaga intermediary. Perantara antara surplus unit —para penabung-- dan deficit unit (para debitor). Artinya, laba bank diperoleh dari selisih antara pendapatan yang diperoleh dari kredit dan kompensasi terhadap depositor. Berarti, kalau labanya sangat besar, ada ketidak seimbangan antara pendapatan bank dan hasil yang dibagikan kepada depositor.  

Sebagai lembaga perantara, itu menandakan bank terlalu besar mengambil untung. Bunga kreditnya terlalu besar. Atau bunga simpanannya terlalu rendah. Dalam bahasa lain, spread —selisih bunga simpanan dan bunga kredit-- yang diambil bank terlalu besar.  

Secara toritis, bunga kredit ditentukan oleh bunga simpanan yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bunga simpanan dipengaruhi interest rate yang ditetapkan BI, yaitu 7 days repo rate. Bunga simpanan tertimbang ditambah overhead cost, premi risiko, dan marjin bank, jadilah bunga kredit. 
 
Betapa terlalu besarnya keuntungan bank ini bisa dilihat dari net interest margin (NIM). Pada BRI yang lebih banyak memberi kredit ke sektor UMKM, misalnya. NIM-nya mencapai 6,85 persen. BCA yang lebih banyak bermain pada kredit korporasi memiliki NIM 5,1 persen.

Melihat NIM perbankan yang tinggi, berarti bank terlalu banyak mengambil untung. NIM yang tinggi menunjukkan bahwa dasar penetapan SBDK over-estimated. Bank mengestimasi biaya terlampau tinggi. Jauh di atas realisasinya. Ini membuat bank memperoleh keuntungan terlalu besar.

Begitu juga, bank cenderung mengestimasi risiko berlebihan. Ini menyebabkan premi risiko yang ditetapkan bank terlalu tinggi. Akibatnya, bunga kredit perbankan jadi mahal. Jauh dibanding dengan bunga simpanannya. 

BISA TURUNKAN BUNGA KREDIT

Melihat NIM yang besar, maka sebenarnya terbuka ruang yang cukup lebar bagi perbankan untuk  menurunkan bunga kredit kepada para debitornya. Mestinya bank juga mempertimbangkan kondisi debitor yang rata-rata terganggu pandemi Covid-19 dalam dua tahun ini. Lebih-lebih UMKM yang mengalami penurunan kinerja cukup tajam.

Apa benar bank terlalu besar ambil untung? Ini bisa kita bandingkan dengan NIM perbankan di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Mengutip Malaymil.com, NIM bank-bank di Malaysia hanya berkisar antara 2,2 - 2,3 persen. Di Singapura, seperti dilaporkan reuters awal tahun,  rata-rata NIM perbankan hanya 1,5-1,54 persen. Begitu juga di Thailand. NIM perbankan hanya berkisar 2,51 persen. 

Jika kita perhatikan, bank-bank di Indonesia mengambil keuntungan jauh lebih besar dibanding di Malaysia, Thailand, atau Singapura. Bank di Indonesia memperoleh pendapatan bunga lebih dari dua kali lipat dari bank-bank di Malaysia dan Thailand. Bahkan lebih dari tiga kali lipat dari bank-bank di Singapura. 

Gambarannya, dari setiap kredit Rp 100 miliar, bank-bank di Indonesia bisa memperoleh bunga bersih lebih dari Rp 5 miliar. Sementara di Malaysia, bank hanya memperoleh Rp 2,2 miliar, di Thailand Rp 2,51 miliar dan di Singapura hanya Rp 1,5 miliar. 

imron1.jpgDr Imron Mawardi (penulis) ketika berkunjung ke Malaysia. (FOTO: Facebook - Imron Mawardi)

Terlalu tingginya NIM bank ini tentunya tidak bagus bagi iklim usaha. Ini menandakan bunga kredit perbankan di Indonesia relative jauh lebih tinggi dibanding negeri jiran. Data SBDK di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata di kisaran 8%. Tapi juga ada yang hingga 14 persen. 

Dengan SBDK sebesar itu, bunga kredit pasti double digit. Di atas 10 persen. Sebab, premi risiko rata-rata perbankan antara 3 hingga 3,5 persen. Itu berarti bunga kredit bisa mencapai 11-12 persen. Jauh dibanding bunga kredit di Malaysia, Thailand, dan Singapura. 

Sementara di sisi lain, karena ada standar bunga penjaminan, bunga simpanan bank, deposito dan tabungan-giro, cukup rendah. Di bawah 4 persen setahun. Bahkan, giro dan tabungan hanya diberi bunga 1-2 persen saja. Apalagi dalam nominal kecil. 

Tingginya bunga pinjaman ini  berdampak besar terhadap perekonomian. Dengan bunga kredit yang tinggi, pelaku usaha harus menanggung cost of fund yang tinggi. Biaya produksi pun menjadi mahal. Ini menyebabkan  sektor usaha dalam negeri kurang bisa bersaing dengan asing. 

Di tengah pemulihan akibat pandemi, seyogyanya perbankan bisa ikut berperan menumbuhkan sektor usaha dengan terus menurunkan bunga kredit. Melihat NIM yang tinggi, terbuka ruang yang cukup bagi mereka untuk menurunkan. Salah satu caranya dengan memangkas beberapa komponen yang menentukan bunga kredit, seperti SBDK dan premi risiko. 

Bagi sektor perbankan, ini jelas tidak sulit dilakukan. Pemerintah bisa mendorong bank-bank BUMN sebagai penggerak penurunan bunga kredit. Apalagi pemerintah “menguasai” bank-bank BUMN yang mendominasi industry perbankan di Indonesia. Ada BRI, Bank Mandiri, BNI, BTN, hingga Bank Syariah Indonesia (BSI). 

Jika bank-bank pemerintah bisa menurunkan bunga kredit, maka bank-bank swasta akan mengikuti. Sebab, mereka tidak mau ketinggalan  atau ditinggal nasabahnya. Mereka tidak mau melawan pasar. Yang bisa diciptakan oleh bank-bank BUMN. Tinggal bagaimana political will dari pemerintah untuk mendorong sektor usaha untuk pemulihan ekonomi.(*) 

Penulis: DR IMRON MAWARDI, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Wakil Dekan II Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga.

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda