Sang Begawan Media

Desi Armando

GRAFIS: Twitter - @sumtoday

COWASJP.COM – SAYA harus memuat naskah ini: sebagai imbangan tulisan saya soal Ade Armando. Saya tidak kenal nama penulis itu: Desi Suyamto. 

Dari jejak digitalnya terlihat Desi, laki-laki, adalah ilmuwan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia aktif di Pusat Ilmu Lingkungan. Salah satu artikel yang dipublikasikannya berjudul Measuring Similarity of Deforestation Patterns in Time and Space across Differences in Resolution.

Pusat studi IPB itu banyak meneliti tentang orang utan —yang akan punah tahun 2050.

Berikut tulisannya yang ditujukan kepada saya:

Abah Dahlan Iskan,

Sebagai seorang akademisi, prestasi Ade Armando, tak seharusnya melulu diukur hanya berdasarkan popularitas di mata mahasiswa dan pendapat dosen koleganya saja.  Bias!

Prestasi seorang akademisi seperti Ade Armando juga harus diukur berdasarkan capaian publikasi ilmiahnya.  

Salah satunya, untuk skala nasional, capaian publikasi ilmiah para dosen diukur menggunakan SINTA INDEX, sebuah metrik capaian publikasi ilmiah yang dibuat oleh Kemdikbud. 

Mari kita lihat posisi Ade Armando berdasarkan SINTA INDEX (lihat screenshot)!

Di antara sesama dosen di dalam Kampus UI, capaian publikasi Ade Armando berdasarkan SINTA INDEX hanya menduduki peringkat ke-1500 lebih! Di antara seluruh dosen di Indonesia, capaian publikasi Ade Armando berdasarkan SINTA INDEX lebih buruk lagi, hanya menduduki peringkat ke-53.000 lebih!

Itu baru menggunakan metrik capaian publikasi ilmiah yang skalanya nasional, Abah!

Untuk skala internasional, umumnya digunakan metrik capaian publikasi ilmiah SCOPUS INDEX.  

Mari kita lihat capaian publikasi ilmiah dari Ade Armando berdasarkan metrik SCOPUS INDEX yang berskala internasional:

https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorId=56158137900

H-INDEX SCOPUS dari Ade Armando hanya bernilai 1.  

Usia Ade Armando sudah 60 tahun, menjadi dosen di UI sejak tahun 1990. Berarti Ade Armando telah menjadi dosen di UI selama umur rezim Orde Baru. Tapi capaian publikasi ilmiah internasionalnya masih kalah dengan seorang mahasiswa pascasarjana yang baru lulus!  

Ade Armando hanya memiliki nilai H-INDEX SCOPUS = 1.  

Ke mana saja Ade Armando selama ini?  Sibuk berpolitik? Jadi, Ade Armando itu memilih jalan hidup sebagai akademisi atau sebagai politisi? Jika Ade Armando memang merupakan sosok akademisi kredibel kaliber internasional, dengan lama karirnya sebagai dosen sudah 32 tahun, capaian H-INDEX SCOPUS-nya ya  seharusnya minimal telah mencapai nilai lebih dari 10. Untuk para akademisi negara-negara maju, bahkan dengan usia yang masih di bawah Ade Armando sekalipun, H-INDEX SCOPUS-nya rata-rata bernilai lebih dari 20.  

Kenapa metrik capaian publikasi ilmiah seorang akademisi penting? 

Karena hal itu bisa mengindikasikan keseriusan seorang akademisi dalam menghasilkan gagasan-gagasan ilmiah atau hasil-hasil riset ilmiah yang kredibel, berkualitas dan inovatif!  

Abah! Jika seorang akademisi tak mampu menghasilkan gagasan-gagasan ilmiah atau hasil-hasil riset ilmiah yang kredibel, berkualitas dan inovatif, yang bisa menembus publikasi ilmiah internasional yang proses reviewnya sangat ketat, lalu apa yang mau disampaikan ke para mahasiswanya?  Hasil riset orang lain? Gagasan ilmiah orang lain?

Sama sekali tak ada docere, delectare, movere kalau dalam mengajar tak ing ngarso sung tuladha.   

*

Selanjutnya, kenapa saya sebut di atas, Ade Armando harus memutuskan untuk memilih salah satu, apakah mau menjadi seorang akademisi ataukah menjadi seorang politisi. Berlaku juga untuk yang lainnya!

Mengapa?

Karena sebagai seorang akademisi itu ya seharusnya madeg pandita, jadi seorang 'wiku sejati.  "Lurus, siap menempuh jalan sunyi", kata salah seorang saintis dan dosen terbaik yang masih dimiliki negeri ini: Prof Daniel Murdiyarso.

Kenapa?

Karena, jika para aktor sains sudah terjun ikut memasuki arena  perseteruan politik, siapa yang akan menjadi mediator untuk membawa peradaban bangsa ini menuju ke zona rasional, sebagai syarat mutlak untuk mencapai kemajuan? 

Lalu, kenapa sains harus menjadi mediator di saat situasi bangsa sedang terjebak dalam arena perseteruan politik?

Karena hanya sains dan para aktor sains lah yang terbiasa dengan objektivitas dan norma-norma saintifik mertonian lainnya.  

Jika para aktor sains malah ikut terlibat di dalam arena perseteruan politik, apalagi sampai menjadi buzzer politik, maka sudah pasti bangsa ini akan semakin terseret menuju chaos dan akhirnya kolaps.  

Na'udzubillahi min dzalik.  Hasbunallah wa nikmal wakiil.

*

Kemudian, kapan peradaban bangsa ini bisa menjadi maju, jika nyatanya, masih ada yang mewarisi dendam politik dari orang tuanya?  Ini Indonesia atau Singosari?

*

Terkait pengeroyokan itu, menurut saya, definisi rasa kemanusiaan itu sudah sangat bias akibat adanya ingroup favoritism dan outgroup derogation.

Abah Dahlan Iskan. Di saat banyak yang sedang berkabung atas terjadinya krisis kemanusiaan di negeri ini, di mana 6 warga sipil tewas ditembak aparat di KM 50, para teman sepermainan Ade Armando malah merayakannya dalam euforia, bersuka-cita menari-nari di atas mayat saudara sebangsanya sendiri, seolah-olah para korban yang telah gugur dalam tragedi itu adalah para pembunuh keji berdarah dingin yang pernah menghabisi anggota keluarga mereka di jalanan.  

des1.jpgDesi Suyamto, Bachelor of Science on Forestry, graduated from Bogor Agricultural University in 1995. (FOTO: forests2020.ipb.ac.id)

Hey Abah! Teman sepermainan Ade Armando: Denny Setiawan, bahkan sampai mengirimkan bunga suka cita atas tewasnya anak-anak muda di KM50 itu! Tak ada lagi rasa empati sama sekali.

Pernahkan dipikirkan, andai anak-anak muda yang gugur di KM 50 itu dididik dengan baik, siapa tahu di masa mendatang, mereka akan menjadi jenderal yang jauh lebih baik dan bermanfaat daripada para penembaknya itu?  

Sementara itu, ketika Ade Armando babak belur, tiba-tiba panggilan akan pentingnya rasa kemanusiaan itu muncul.  

Hey! Kemanusiaan itu universal dan berkeadilan.  Empati itu tak seharusnya hanya berlaku untuk kelompok sendiri, tapi tak berlaku untuk kelompok lain.  

Penyakit ingroup favoritism dan outgroup derogation ini sama bahayanya dengan penyakit Islamofobia dan penyakit rasialisme lainnya.  

Semoga peradaban bangsa ini tidak kolaps seperti Anasazi! (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul PPKM Gedor

Azza Lutfi

Selamat, tebakan kosong anda telah mengantarkan anda pada tahta singgasana yg unik ini, tersenyumlah dan nikmati hari dgn bahagia, tunggu Otole, semoga dia segera hadir untuk mengesahkannya...

Lukman bin Saleh

Saya keliru untuk 2 hal ini. Saya kira fikiran saya benar, ternyata salah besar. Pertama tentang Rusia. Saya kira mereka canggih dalam berperang. Ternyata begitu kolot dan ketinggalan zaman. Bayangkan saja, komunikasi militer yang seharusnya sangat rahasia dilakukan melalui jalur yang tidak terenkripsi. Hanya melalui saluran komersial. Mudah disadap. Tentara Ukraina dan intelejen asing bisa mendengar komando2 mereka sambil ngopi2. Tentara kehabisan makanan. Kendaraan tempur kehabisan BBM. Dan macam-macam fakta yang membuat kita hampir tidak percaya. Terdengar seperti lelucon di zaman modern ini, tapi benar2 terjadi untuk keadaan yang sangat serius. Kedua tentang lockdown ini. Dulu saya menyalahkan pemerintah yang mengambil kebijakan setengah2. Lockdown tidak, tidak lockdownpun tidak. Ternyata inilah yang tepat untuk mengahadapi Covid 19 untuk negara kita. Lockdown total seperti Tiongkok kita tidak mampu. Terlalu bebas seperti negara barat pun akan menimbulkan terlalu banyak korban. Jadi untuk urusan Covid ini, harusnya sejak awal saya percaya saja apa katanya Faul Ivan...

herry isnurdono

Sekali lagi pak DI salah menilai penanganan Covid-19. Ternyata negara kita Indonesia lebih baik daripada China. Andapun sudah tahu, tidak ada lockdown di Indonesia. Dan tidak akan pernah he....he........Pasti rakyat akan senang, dapat mudik lebaran lagi setelah 2 (tahun) libur mudik. Apalagi pemerintah melaksanakan libur bersama dari tanggal 29 April 2022 s/d 9 Mei 2022. Nikmat mana lagi, yang dialami rakyat Indonesia. Untuk sementara Covid-19 ikut libur dulu. Entah setelah lebaran, mudah2 an tidak ada ledakan penderita Covid-19. Atau rakyat sudah tidak takut lagi sakit Covid-19, karena penderitanya seperti sakit flu biasa.

Ahmad Zuhri

Lock down itu hanya cocok untuk negara otoriter seperti China, Myanmar, dll.. Kalau untuk negara demokrasi yg masih berkembang, lebih cocok ya seperti kita ini.. PSBB/PPKM karena ekonomi harus tetap jalan disamping kesehatan yg tetap harus diperhatikan. 

Agus Suryono

JADI INGAT CERITA CALON ARANG Kata cerita.. Pada jaman itu, isuk lara - sore mati. Sakit pagi, sorenya mati.. Lebih dari separo penduduk mati. Saat itu kita masih terbelakang. Jadi penanganannya ya sesuai jamannya. Empu Barada adalah orang paling intelek pada jamannya. Kalau soal cara ya udah pas. Untuk ukuran saat itu.. Indonesia dibandingkan China. Itupun ya udah pas. Sudah sesuai dengan kompetensi dan keperluan lokal. Harus diakui China bukan bandingan kita. Khususnya pemimpin China vs pemimpin Indonesia. Sama-sama kena musibah. China sukses dengan penanganan bagi warganya. Dan sukses pula, jualan vaksinnya. Ke seluruh dunia, termasuk Indonesia..

DeniK

Kita sudah berpengalaman mengadakan ivent Akbar Yang. Dihadiri puluhan ribu orang di Lombok ,tidak ada tuh berita lonjakan kasus baru.

Wakit Sanjaya

Kalimat terakhir abah DI...mungkin maksutnya kalo kita lebaran bersenang2 dan melupakan prokes maka berpotensi kembali berakit2 ke hulu lagi.

Budi Mulyono Gunawan

Naik speed boat lebih cepat apalagi naik Ferry asal jangan naik ferry irawan itu sdh dibooking full venna

Budi Mulyono Gunawan

Naik speed boat lebih cepat apalagi naik Ferry asal jangan naik ferry irawan itu sdh dibooking full venna

Mirza Mirwan

Shanghai sudah terkenal sejak sebelum Majapahit berdiri. Kota itu luasnya memang "ora umum". Wajar bila penduduknya, untuk ukuran sebuah kota, juga "ora umum": 25 juta jiwa. Pasti kota itu padat banget, begitu mungkin pikiran anda. Tapi, eh, masih lebih padat DKI Jakarta yang populasinya 10,5 juta jiwa, lho. Kok bisa? Ya bisa, DKI Jakarta memang luasnya 7.600-an km², tetapi luas daratannya kurang dari 1/10-nya. Sementara Shanghai dari 6.300-an km² luas daratannya 9/10-nya, sekitar 5.680-an km². DKI Jakarta terbagi dalam lima kota administratif dan satu kabupaten, sementara Shanghai terbagi menjadi 16 distrik -- ya semacam kota administratif. Dari 16 distrik itu ada lima distrik yang penduduknya kurang dari saru juta, tetapi di atas 600-an ribu, yaitu : Huangpu, Changning, Hongkou, Jinshan dan Changming. Selebihnya di atas satu juta, bahkan Distrik Pudong populasinya 5,5 juta jiwa. Bagi anda yang sering menengok portal Xinhuanet pasti tahu bahwa problem paling berat selama lockdown Shanghai adalah pasokan makanan. Apalagi di awal-awal toko-toko juga tutup, tetapi belakangan sudah banyak yang buka. Sampai empat hari yang lalu, ada 11 propinsi yang menyuplai sayuran dan bahan makanan lainnya dengan total berat 18.000 ton, di samping roti dan makanan lain seberat 5.400 ton. Eh, tahu nggak, GDP Shanghai itu hampir setengahnya GDP Indonesia, lho. Itu saja, ntar mentok di batasan karakter. Selamat pagi Jumat.

donwori

teringat dulu ketika awal pandemi, ada dokter yg begitu getolnya ingin jakarta di-lockdown. argumennya sekali lockdown selama sebulan masalah akan selesai dan pandemi cepet berlalu. sekarang ketika melihat yg terjadi di Tiongkok, kita harus bersyukur. lockdown berkali-kali itu butuh waktu, tenaga, uang yg tidak sedikit. beruntung rakyat Tiongkok sudah sejahtera sehingga disuruh ini itu ya nurut saja ga pake drama atau demo. kebayang jika hal serupa terjadi disini. pemerintah RI telah mengambil kebijakan yg tepat. ya meskipun dibayar dengan menempati peringkat ke-18. tapi resiko yang lebih besar akan terjadi jika meniru apa yg dilakukan Tiongkok.

kusiwan pion

Lokdon pertama di dunia yaitu di bahtera Nuh selama setahun, persediaan makanan begitu luar biasa dan cukup banyak jenisnya sehingga bisa bertahan selama itu. Bisa jadi ditanam secara hidroponik untuk sayur mayur, kalau lauknya sambil mancing. Oh iya, hewan haram yg dibawa Nuh masuk ke bahtera dipastikan adalah babi. 

Windarto Windarto

Bila herd immunity belum terbentuk, kasus Covid-19 di Tiongkok berisiko naik-turun, naik-turun, naik-turun secara berulang. Ini karena Covid-19 relatif mudah menyebar (menular).

Antonio Samaran

Dunia seperti sdh terbalik. Negara-negara yg paling sukses mengatasi covid pada awal pandemi sekarang malah jadi yang paling parah. Ambil contoh selain China, ada Aussie, Singapura, Vietnam dan Korea Selatan. Indonesia yg di awal pandemi banyak dicibir terutama oleh warga sendiri malah menjadi salah satu yg cukup berhasil mengatasi covid. Tidak ada yang pinter atau bodoh, semua ada sisi positif dan negatifnya. 

Pryadi Satriana

Indonesia ga perlu lockdowm. Yg perlu di-"lock" adalah Si Ucup, yg saat ini banyak digugat sebagai penipu berkedok investasi syariah, "sedekah", dsb. Mestinya harus cepet ditangani tuh spy tidak makin banyak korban. Sudah dua kali dipenjara nggak kapok2 malah makin pinter cara menipunya. Kasihan korbannya. Dengerin ceramahnya malah buntung. Berangkat naik motor, pulang naik angkot. Yang pake mobil diminta sedekahkan mobilnya, dijanjikan Pajero. Haalaah ..., orang kayak gini dibilang Pak DI ustad paling sabar, nggak salah Booosss? Semoga umat mau gunakan akal sehat supaya nggak bisa ditipu. Aamiin.

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda