Peng Peng, Dah Gitu Aja!

Haris Azhar dan Luhut Binsar Panjaitan. (FOTO: ANTARA - tempo.co)

COWASJP.COM – INI SINGKATAN. Kepanjangannya adalah penguasa pengusaha. Atau dibalik, pengusaha yang juga penguasa. Pejabat pemerintah yang juga cawe-cawe berbisnis. Dengan memanfaatkan wewenang atau kuasa yang ada di tangannya. Atau kekuasaan yang ada di tangan keluarga maupun lingkaran terdekat dirinya di dalam pemerintahan. 

Ini sebuah diksi yang baru. Meski begitu, hampir semua orang faham soal ini. Karena sudah jadi buah bibir publik. Apalagi di kalangan civil society dan kaum pergerakan. 

Peng Peng, penguasa pengusaha. Untuk mengaitkannya dengan upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Yang dalam gerakan people power 1998 ingin ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tapi di era pemerintahan sekarang justru tumbuh subur, bak cendawan di musim hujan. 

Sejumlah kasus muncul ke permukaan. Beberapa di antaranya masih hangat dan santer dibicarakan. Misalnya, konflik antara Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) versus Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. Yang sudah memasuki babak baru. 

Karena Sabtu (19/3/2022), Polda Metro Jaya menetapkan Haris dan Fatia sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Atas laporan Luhut. Setelah mediasi keduanya gagal. Ini bermula dari perbincangan Haris dan Fatia lewat konten youtube milik Haris, pada 20 Agustus 2021. 

Judulnya, “Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”. Ringkasnya, Haris maupun Fatia menyebut Menko Luhut turut serta dalam bisnis tambang di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. 

Sebuah kasus lain yang juga mendapatkan sorotan publik adalah yang melibatkan kedua putera Presiden Joko Widodo. Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangareb. Yang dilaporkan ke KPK oleh dosen UNJ yang juga aktifis 98, Ubeidillah Badrun. Laporan tersebut terkait dengan relasi bisnis kedua putra Jokowi tersebut dengan PT SM. Persisnya atas dugaan kasus korupsi dan pencucian uang dua anak Presiden Jokowi itu. 

BACA JUGA: Kok Luhut Ngotot Amat?

Kedua kasus itu paling tidak memperlihatkan peran Peng Peng. Secara langsung maupun tidak. Yang melibatkan penguasa atau katakanlah pejabat itu sendiri, maupun orang lain yang dekat dengannya. 

Hemat kita, jika kasus-kasus seperti itu bisa dibongkar, berarti perjuangan untuk memberantas KKN sudah on the track. Kalau tidak, berarti perjuangan para aktifis yang berdarah-darah sejak reformasi 1998 sudah gagal mencapai tujuannya. Karena KKN justru tumbuh subur melebihi waktu-waktu terdahulu. Lebih dahsyat secara kualitas maupun kuantitas. Ketika KKN sudah dilakukan terang-terangan, dengan mengedepankan keangkuhan kekuasaan. 

Dan hukum tidak berguna untuk menghadapinya. Kita jengkel menyaksikan para koruptor tersenyum-senyum saja tanpa merasa bersalah di depan publik. Walaupun sudah mengenakan jaket oranye. 

Ketika mahasiswa dan para aktifis bergerak untuk melakukan penolakan atau perlawanan terhadap suatu kebijakan penguasa, mereka menuntut perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang mulai melenceng. Yaitu mensejahterakan kehidupan bangsa. Sesuai UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Yang merupakan landasan filosofi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

OLIGARKHI EKONOMI

Sekarang sudah bukan rahasia lagi, sejumlah besar kekayaan alam negeri ini dikuasai hanya oleh segelintir orang. Yang mampu berkolusi dengan jejaring kekuasaan. Melalui KKN yang tidak mampu dibuka oleh media. Karena sebagian besar media mainstream sudah dikangkangi oleh mereka. 

Mereka disebut “oligarkhi ekonomi”. Yang sangat berkuasa. Bahkan dipandang lebih berkuasa dari pada penguasa tertinggi di republik ini. Karena merekalah sejatinya yang mengendalikan kebijakan penguasa. 

Sehingga tujuan untuk mensejahterakan rakyat banyak terabaikan. Sehingga rakyat kian menjerit karena beban hidup yang terus membengkak. Sudah cukup rasanya penderitaan rakyat selama dua tahun dihantam pandemi Covid 19. Dengan segala dampaknya yang luar biasa terhadap kehidupan bangsa. Terutama sangat dirasakan oleh rakyat kecil jelata. 

BACA JUGA: Skenario-Skenario Politik Terbaru

Tapi derita itu tampaknya belum akan berakhir. Tetiba minyak goreng langka di pasaran. Kalau pun ada, harganya selangit. Pemerintah terkaing-kaing karena tak mampu menghadapi mafia minyak goreng. Sehingga antrian emak-emak untuk dapat membeli minyak goreng murah mengular di banyak tempat. Situasi yang sempat memakan korban jiwa, setelah kelelahan mengantri minyak goreng. Sesuatu yang amat sangat aneh bin ajaib, sekaligus memilukan, di negeri penghasil sawit terbesar di dunia. 

Lalu derita demi derita itu terus bertambah. Di antaranya, pemerintah mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Terbaru, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertamax menjadi Rp 12.500 - Rp 13.000 per liter. Sangat tinggi dibandingkan harga sebelumnya yang cuma Rp 9.000 per liter. 

Sebuah kebijakan yang dapat memicu kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang lain. Sebuah tulisan di Kompas.com diberi judul "Habis Pandemi, Terbitlah Kenaikan Harga Barang...". Yang membuat rakyat kian menjerit. Dan pemerintah tidak mampu memberi sinyal akan ada perbaikan. Sebaliknya yang ada adalah sinyal adanya kenaikan BBM jenis Pertalite dan elpiji 3 kilogram.

"Over all, yang akan terjadi itu Pertamax, Pertalite, Premium belum, gas yang 3 kilo itu (ada kenaikan) bertahap. Jadi 1 April, nanti Juli, nanti September itu bertahap (naiknya) dilakukan oleh pemerintah," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan, Jumat (1/4/2022). 

Lalu apa hubungannya dengan Peng Peng? Tentu saja, Peng Peng adalah sebuah masalah besar dalam rangka menumpas KKN. Salah satu persoalan laten yang menghambat upaya mensejahterakan kehidupan bangsa. Tapi persoalan yang lebih besar lagi adalah adanya oligarkhi ekonomi di belakang penguasa. 

Yang telah mengijon kekuasaan dengan kucuran dana yang luar biasa. Untuk para penguasa yang akan bertarung dalam pemilu. Dari tingkat presiden, gubernur, bupati dan walikota. Yang imbalannya adalah berupa proyek yang mereka tagih saat masing-masing sudah berkuasa. 

Akibatnya pemerintah tak mampu membuat kebijakan yang pro rakyat. Tidak mampu mengatasi kelangkaan dan kemahalan harga minyak goreng. Tidak mampu menghindari atau paling tidak menunda kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Yang semakin mencekik leher rakyat. 

Tidak mampu membatalkan proyek pembangunan infrastruktur yang terus ditagih para cukong dan konglomerat hitam. Yang sudah tidak tahan untuk segera mengerjakan aneka proyek pembangunan. Sehingga dapat mengeruk cuan dalam jumlah yang sangat besar.  

Kegagalan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa kini jadi trending topik di mana-mana. Sehingga banyak yang mengharapkan agar Presiden Joko Widodo alias Jokowi segera lengser keprabon. 

Persoalannya, apakah silang sengkarut kemelaratan hidup rakyat ini akan teratasi jika Jokowi tidak berkuasa lagi? 

Jawabannya: Janganlah terlalu berharap! Karena oligarkhi ekonomi itu adalah yang sesungguhnya jadi persoalan besar bangsa. Mereka sudah jadi penjajah baru yang mengangkangi negeri ini. 

Meskipun tuntutan mahasiswa dalam demo besar Senin, 11 April 2022 dikabulkan. Agar tidak ada lagi penundaan pemilu, perpanjangan jabatan presiden dan wacana presiden tiga periode. Namun jangan lupa, oligarkhi ekonomi itu akan mencari mangsa yang lain. Yaitu calon presiden baru yang dapat terus dikendalikan untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Lalu ditarik ke sana kemari.

Inilah yang mesti diatasi. Ketika mendiang Ayatullah Ruhollah Khomeini tampil jadi penguasa Republik Islam Iran, dalam revolusi 1978-1979, dia memerintahkan untuk mengeksekusi orang-orang yang dianggap musuh rakyat.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda