Takluk Lawan Mafia?

Pakar telematika Roy Suryo. (FOTO: Sufri Yuliardi - populis.id)

COWASJP.COM – PEMERINTAH tampaknya sudah menyerah kalah. Mengangkat bendera putih. Karena tak sanggup lagi melawan kekuatan mafia minyak goreng. Sehingga harus memilih jalan yang tidak semestinya. Yaitu mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Untuk 20,5 juta penerima. Dengan anggaran sebesar Rp 6,9 triliun. 

Kebijakan ini membuat banyak kalangan terheran-heran. Soal ini, mantan Menpora di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Roy Suryo, bahkan sempat menyentil presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam unggahannya melalui media twitter beberapa waktu lalu, mantan Menpora yang juga pakar multi media  itu mempertanyakan kebijakan pengucuran BLT ini. 

Karena, menurut dia, Jokowi tidak suka BLT. Tapi kenapa sekarang justru mengucurkan BLT Minyak Goreng? Terkait hal ini, Roy Suryo mengunggah sebuah video lawas Jokowi sewaktu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Jokowi menyebut bahwa dirinya tidak menyukai BLT, BSLM dan sebagainya. 

Barangkali agar tidak dianggap hoax, pakar multimedia dan telematika ini menyebut bahwa video lawas Jokowi itu asli. Bukan editan. “Itulah JEJAK DIGITAL. Jadi memang Video tsb ASLI, sesuai METADATA hari Senin 17 Juni 2013 di Balaikota DKI Jkt. AMBYAR,” sentil Roy Suryo.

Sejumlah kalangan juga mempertanyakan kebijakan BLT ini. Banyak yang tidak habis pikir dengan langkah pemerintah menyelesaikan persoalan kelangkaan dan kemahalan harga minyak goreng ini. Setelah beberapa kebijakan yang tidak efektif sebelumnya.  

Seperti diketahui, guna mengatasi gejolak harga minyak goreng yang menggila, Kementerian Perdagangan sempat menetapkan dua kebijakan tegas. Pertama, menerapkan Domestic Market Obligation (DMO). Yaitu ketentuan untuk para produsen minyak goreng dalam memasarkan minyak goreng ke dalam maupun ke luar negeri. 

Kedua, Domestic Price Obligation (DPO), yang merupakan kebijakan pematokan harga penjualan minyak goreng.  Kebijakan ini berlaku mulai 27 Januari 2022. 

Lalu, sejak 1 Februari 2022, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) baru minyak goreng. Sesuai HET, harga jual minyak goreng curah di pasaran seharusnya sebesar Rp 11.500 per liter. Minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter. Sedangkan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. HET ini berlaku sejak 1 Februari 2022.

Sepertinya pemerintah tidak membayangkan bahwa pemberlakuan HET minyak goreng justru membuat minyak goreng menghilang di pasaran. Secara mendadak. Begitu ditetapkan HET, tidak sampai 1 kali 24 jam, minyak goreng langsung raib. Tidak ditemukan lagi di kios-kios yang biasa menjual minyak goreng. Bahkan juga di jejaring toko swalayan modern. Yang besar maupun sedang. 

Sewaktu blusukan ke Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (9/3/2022), Mendag menyaksikan langsung kondisi yang ada. Bahwa tidak ada satu pun kios yang menjual minyak goreng sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. 

Menghilangnya minyak goreng di pasaran pernah diungkapkan Mendag sebagai ulah para mafia minyak goreng. Saat Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (17/3/2022), Mendag Luthfi menyampaikan permohonan maaf. Karena tidak mampu menormalisasi harga minyak goreng. Ia menyebut ada mafia yang mengambil keuntungan pribadi. Sehingga berbagai kebijakan yang dilakukan Kementerian Perdagangan tidak bisa menurunkan harga minyak goreng. 

Pernyataan Mendag di depan para anggota dewan itu secara telak memperlihatkan bahwa pemerintah memang kalah melawan mafia minyak goreng. Meskipun dia sempat mengemukakan akan mengungkapkan pihak-pihak “yang bermain” dalam kasus kelangkaan minyak goreng, tapi sampai sekarang dia tidak pernah mengungkapkannya. 

Meskipun banyak kalangan yang menagih janji itu, Mendag ternyata tetap bungkam. Alias tidak berani memaparkan siapa saja yang dia maksud sebagai mafia minyak goreng. Apalagi untuk menangkap dan menyeretnya ke meja hijau. Meskipun sudah bekerjasama dengan Polri.

Menteri-Perdagangan.jpgMenteri Perdagangan Muhammad Lutfi. (FOTO: ANTARA/HO - Biro Humas Kemendag/aa. Handout Kementerian Perdagangan - indonesiainside.id)

Kekalahan pemerintah menghadapi ulah mereka yang disebut “mafia minyak goreng” semakin terang benderang dengan dicabutnya ketentuan DMO, DPO dan HET minyak goreng. Keputusan yang membuat para produsen minyak goreng girang bukan kepalang. Karena mereka tetap dapat mengendalikan harga yang tinggi, dengan meraup cuan yang tidak sedikit. Sementara rakyat banyak yang mestinya disejahterakan pemerintah justru kian sengsara. 

Kini, banyak yang menilai bahwa kebijakan BLT tidak menyelesaikan masalah yang ada. Karena BLT hanya akan diterima beberapa kelompok masyarakat tertentu. Yang memang semakin sulit hidupnya disebabkan berbagai kondisi ekonomi yang carut-marut. Tapi persoalan minyak goreng saat ini adalah persoalan seluruh rakyat. Mulai dari mereka yang tinggal di gedung-gedung mewah dan megah. Sampai masyarakat kelas bawah yang menempati gubuk-gubuk reot. Lebih-lebih bagi umat Islam. Karena persoalan ini terjadi menjelang dan di saat Ramadhan. Ketika mereka sangat membutuhkan minyak goreng.  

Saat ini, tidak sedikit masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng. Sehingga antrian untuk membeli minyak goreng mengular di mana-mana. Beratus meter bahkan ada yang sampai lebih dari satu kilometer panjangnya. Di tempat-tempat berlangsungnya operasi pasar minyak goreng. Bahkan di berbagai kios pendistribusian minyak goreng di berbagai pelosok nusantara. 

Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri saja sempat mengaku mengelus dada menyaksikan antrian itu. Padahal mereka beli. Bukan minta. Bukan pembagian sembako. Kondisi ini bahkan sempat memakan korban jiwa. Karena kelelahan. Saking lamanya mengantri di bawah terik matahari. 

Karena itu, semakin banyak yang mempertanyakan, apakah pengucuran BLT itu tepat untuk dilakukan? Apalagi BLT sebesar Rp 300.000,- per kepala keluarga (KK) selama tiga bulan – dengan perhitungan Rp 100.000,- per bulan – sangat tidak berarti apa-apa, dalam mengatasi persoalan hidup masyarakat miskin. 

Karenanya tidak sedikit di antara mereka yang menganggap hal itu tidak berguna. Ketika diwawancara awak media, mereka mengatakan: “Mendingan minyak goreng tersedia dengan harga murah. Dari pada BLT yang akan dikucurkan pemerintah.”

IRONI PRODUSEN SAWIT TERBESAR

Meski sudah berlangsung berbulan-bulan lamanya, masalah tingginya harga dan kelangkaan minyak goreng belum juga terselesaikan hingga saat ini. Hal ini jadi ironi, mengingat Indonesia adalah negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Di era disrupsi informasi seperti sekarang, hal ini juga memalukan. Karena dunia luar dengan mudah menyaksikan bagaimana pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi kepentingan rakyatnya. Apalagi sampai mensejahterakan.

Kelangkaan dan kemahalan harga minyak goreng mestinya jangan dipandang enteng. Karena dari persoalan-persoalan yang dianggap sepele ini justru kelihatan bahwa pemerintah tidak kompeten. Karenanya banyak yang mendesak agar menteri-menteri yang tak berkinerja baik seperti Mendag itu dicopot saja. 

Sayangnya, apakah memang itu persoalan utamanya?

Bagi rumah tangga biasa, kelangkaan minyak goreng mungkin tak jadi soal.  Karena kebutuhannya tak banyak. Namun bagi pelaku usaha, terutama kuliner, kelangkaan minyak goreng jadi pukulan berat di saat ekonomi sulit. 

Pertanyaan lanjutannya: Apakah mereka ini akan ikut mendapatkan jatah BLT? Sangat menggelikan untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Karena jawabannya: Bisa saja iya, bisa juga tidak. Tergantung volume bisnis mereka. 

Persoalannya lagi, apakah BLT yang diterima hanya Rp 100.000,- sebulan mampu mengatasi persoalan mereka?

Kita tahu, ketika dipanggil rapat kerja di Komisi VI DPR RI, Mendag Lutfi beberapa kali mangkir alias tidak datang. Sampai-sampai DPR mengancam akan memanggil paksa Mendag Lutfi. 

Tapi kita juga maklum mengapa Mendag tidak hadir. Begitu rumit persoalan yang dihadapinya ketika mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan para anggota dewan. 

Dalam beberapa kesempatan, dia mengatakan bahwa ada terjadi kemacetan di jalur distribusi. Dia bahkan juga mencurigai ada tindakan melawan hukum. Misalnya, dengan menjual minyak goreng secara ilegal.  Banyak yang mengakui, mungkin saja banyak yang menimbun. Oleh sebab itu, pihaknya sudah berkoordinasi dengan tim Mabes Polri untuk melakukan penyelidikan. 

“Kita sudah tahu dimana tangki, jalur distribusi dan alamatnya. Akan kami berikan ke Mabes Polri untuk dicek agar distribusinya berjalan baik,” beber Lutfi. 

Dengan begitu, apakah persoalan ini akan segera terselesaikan dalam waktu dekat? Nyatanya, itulah persoalan paling pelik yang dihadapi bangsa ini ke depan. Karena pemerintah yang telah diamanahi kekuasaan yang sangat besar oleh rakyat ternyata tidak mampu gunakan kekuasaannya. Kalah kuasa menghadapi mafia. 

Kita kuatir, pihak Polri juga menghadapi kendala yang sama seperti dihadapi Kementerian Perdagangan. Karena bukan mustahil mafia itu lebih kuat. 

Sekarang bukan rahasia lagi bahwa hanya ada lima produsen minyak goreng yang paling besar. Apakah kelima perusahaan itu dapat dikatakan sebagai penguasa dan pengendali harga sekaligus distribusi minyak goreng sesuka hati mereka, tanpa peduli pada kepentingan rakyat banyak? 

Pertama, Wilmar Grup, yang berbasis di Singapura.Yaitu konglomerasi dengan jumlah produksi minyak goreng terbesar di Indonesia saat ini.  Konglomerat Martua Sitorus adalah sosok di balik gurita bisnis Wilmar. Di Indonesia, merek minyak goreng dari Wilmar adalah Fortune dan Sania. Majalah Forbes bahkan menjulukinya sebagai Raja Minyak Sawit Indonesia.

Kedua, Musim Mas Grup, yang dimiliki oleh Bachtiar Karim bersama dengan saudaranya, Burhan dan Bahari. Produk minyak goreng terkenal dari Musim Mas adalah Sanco, Amago, dan Voila. 

Ketiga, Smart Grup. PT Smart Tbk adalah perusahaan produsen minyak yang berada di bawah bendera Grup Sinar Mas. Pemiliknya adalah keluarga Ekatjipta Widjaya. Produk minyak goreng terkenalnya adalah Filma. 

Keempat, Asian Agri Grup. Yang dimiliki Royal Golden Eagle International (RGEI). Yang dulu dikenal sebagai Raja Garuda Mas. Pemiliknya adalah taipan Sukanto Tanoto. Orang Indonesia, tapi perusahaannya didaftarkan di Singapura. 

Kelima, Permata Hijau Grup. Pemiliknya adalah Robert Wijaya. Selain minyak goreng, perusahaan ini juga memproduksi bidodiesel. 

Dengan data yang ada, mengapa pemerintah begitu sulit mengatasi persoalan kelangkaan dan kemahalan harga minyak goreng di negeri ini? Merujuk kepada pernyataan Mendag Lutfi bahwa pemerintah sudah mengetahui dimana tangki, jalur distribusi dan alamat distributornya, tentu menimbulkan pertanyaan: Mengapa sampai saat ini  pemerintah tidak mampu menindak tegas para mafia tersebut? 

Kalau yang kecil-kecil di jalur distribusi saja tidak mampu ditangani pemerintah, bagaimana mungkin mampu menghadapi kelima perusahaan konglomerat di atas? 

Jangan-jangan bukan hanya di level kementerian dan aparat keamanan saja yang menghadapi kendala besar. Tapi juga di jajaran kepresidenan Jokowi sendiri, yang memang tidak lebih kuasa dibanding para pelaku kebijakan produksi, distribusi dan harga minyak goreng. Sungguh ironi!(*) 

Bandung, 5 April 2022.-

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda