Tret-tet-tet ke Sirkuit Mandalika (1)

Berkat Bantuan Karna Semua Urusan Lancar

Dari kiri: Slamet Oerip Prihadi (penulis, mantan wartawan Jawa Pos), Junaidi Achmad, Hasyim Afandie, Arifin Achmad, Bambang Setiawan. (FOTO: Dok. Tim Tropodo)

COWASJP.COMSAYA tak mengira akhirnya benar-benar bisa tret-tet-tet ke Sirkuit  Mandalika. Awalnya hanya omong-omong bareng dengan dua tetangga rumah: Pak Bambang Setiawan dan Pak Arifin Achmad. 

Hubungan kami sudah seperti saudara. Saking akrabnya. Kami ngopi bareng di rumah Pak Bambang Setiawan. Pak Arifin Achmad baru pulang dari nonton WSBK (World Super Bike) 19-21 November 2021 lalu. 

Pak Arifin tret tret tet ke Mandalika bersama lima teman gowesnya. Mereka bawa sepeda naik kapal ke Lombok. Asyik banget katanya. Sirkuitnya keren banget. Pantai dan lautnya indah.  Bukit di sekitar sirkuit juga asyik untuk tempat nonton. 

Pak Bambang Setiawan pun tertarik dengan kisah perjalanan istimewa Pak Arifin itu. Apalagi Pak Bambang selalu mengikuti perkembangan pembangunan Sirkuit Mandalika secara seksama lewat youtube. 

"Hebat, Indonesia sekarang bisa punya sirkuit balap sepeda motor paling top di dunia. Kita perlu ke sana! Kita pingin nonton langsung MotoGP kali pertama di Indonesia ini," kata Pak Bambang penuh semangat. 

"Gimana, Pak Slamet (penulis) ikut nggak?" tanya Pak Bambang. 

"La kalau Pak Bambang dan Pak Arifin ke sana, saya juga ikut lah. Kalau begitu saya harus menabung untuk biaya perjalanan ke sana," jawab saya. 

Untuk naik kapal ferry Ro-ro Kirana VII pergi-pulang Rp 300.000 per orang. 

mandalika.jpg3.jpgJalan by pass menuju Sirkuit Mandalika. (FOTO: Slamet Oerip Prihadi)

Untuk akomodasi ada sahabat kakaknya Pak Arifin yang berdiam di Mataram. Gratis. Paling perlu biaya makan sehari-hari saja. 

Kakak Pak Arifin namanya Junaidi Achmad. Nama kawannya di Mataram: Pak Hasyim Afandie. Nah, Pak Junaidi dan Pak Hasyim adalah sesama pensiunan PDAM Kota Surabaya. 

Sedangkan Pak Arifin Achmad dan Pak Junaidi Achmad adalah adik kandung Pak Yamin Achmad. Dan, Pak Yamin Achmad adalah sesama mantan wartawan Jawa Pos era Kantor Kembang Jepun dengan saya. Di sinilah mata rantai "persaudaraannya."

Sedangkan dengan Pak Bambang Setiawan, saya adalah sesama penghuni Perumahan Tropodo Indah, Waru, Sidoarjo, Jatim sejak 1986 silam. Pak Bambang pensiunan Polri, terakhir berpangkat AKBP. Beliau pensiun tahun 2008, saya pensiun dari Jawa Pos tahun 2006. 

mandalika5.jpgPak Arifin Achmad (kiri) dan Pak Bambang Setiawan di deck teratas kapal ferry Ro-ro Kirana VII. (FOTO: Slamet Oerip Prihadi)

Pak Bambang enam bulan lebih tua dari saya. Saya menganggap beliau seperti kakak sendiri. Kami sama-sama lahir tahun 1950. Beliau lahir 29 April, saya 8 Oktober. Entah kenapa hubungan kami sangat akrab bak bersaudara. 

Meskipun kesepakatan bareng ke Mandalika sudah ada, namun terus terang dalam hati saya belum terlalu yakin bisa ke sana. 

Tapi alhamdulillah kami semua sehat saat akan berangkat, dan bisa tret-tet-tet ke Mandalika. 

Keraguan itu ada karena saya dan Pak Bambang usianya sudah di atas 70 tahun. Dan Pak Bambang sempat disergap virus Omicron, Februari 2022 lalu. Cukup mendebarkan juga. Tiga hari badannya sakit luar biasa. Persendian sakit, tubuh lemas, makan pun sulit. "Jika saya duduk, untuk berdiri pun sulitnya minta ampun. Sakit semua rasanya tubuh ini. Belum pernah saya  sesakit ini. Untungnya saya sudah vaksin dua kali. Saya cukup isoman di rumah. Di lantai dua. Obat-obatan dibelikan  anak saya yang Polwan itu. Alhamdulillah bisa sembuh akhir Februari. Saya isoman selama 3 minggu," kata Pak Bambang. 

Selama isoman, beliau tidak bisa dikunjungi. Karena Omicron penularannya luar biasa cepatnya. 

Soal dana bagi Pak Bambang boleh dibilang no problem. Beliau punya pensiun. Anak sulungnya, Nina adalah Polwan berpangkat AKBP. Suaminya sebentar lagi juga AKBP dan menjabat Kasintel Polrestabes Surabaya. Anak keduanya (puteranya dua) Chalik Prajagupta adalah Hakim PTUN di Surabaya. 

Tapi bagi saya yang pensiunan Jawa Pos, terpaksa harus menabung beberapa bulan sejak Desember lalu. Sekadar untuk bisa mengumpulkan dana Rp 1,5 juta. 

mandalika.jpg4.jpgPrasasti jalan by pass Bandara Internasional Lombok. (FOTO: Slamet Oerip Prihadi)

Soalnya wartawan nggak dapat uang pensiun bulanan. Tapi alhamdulillah, Allah mengaruniakan pertolongan dengan cara tak terduga. 

Tiba-tiba saja bulan Februari 2022 lalu, sahabat saya mantan wartawan foto Jawa Pos di Jakarta, Mas Wahyudi njapri saya. 

Tumben

Ternyata beliau pingin berbagi rezeki. "Saya baru dapat rezeki Mas Slamet. Pingin bagi-bagilah. Sekadar untuk ngopi bareng dan ngrokok .Tolong dijapri nomor rekening sampean ya," tulisnya lewat japri WA. 

Tak lama kemudian bukti transfer saya terima. Ya Allah ditransfer Rp 1 juta. Alhamdulillah. Maturnuwun Mas Wahyudi. Semoga Allah mengaruniakan limpahan rahmat kepada Anda. 

Tekad saya pun makin kenceng untuk tret tet tet ke Mandalika. Wouww. 

**

Akhirnya, keputusan pun bulat pada 5 Maret 2022. Kita berempat go to Mandalika. Pak Bambang, Pak Arifin dan saya naik kapal Kirana VII Rabu sore 16 Maret. Tiba di Pelabuhan Lembar, Lombok, Kamis 17 Maret sore. Pulangnya Senin 21 Maret. Satu hari setelah hari balapan 20 Maret. 

Pak Junaidi nyusul naik pesawat Jumat 18  Maret. Kami pun - Pak Hasyim, Pak Bambang, Pak Arifin dan saya menjemput ke Bandara dengan mobil tuan rumah: Pak Hasyim. Dan dikemudikan Pak Hasyim yang menguasai wilayah. 

Nama Bandaranya: Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid, di Praya, Lombok Tengah. 

Mobil Pak Hasyim jeep Daihatsu Taft tahun 1991. Masih enak. Relatif irit bahan bakarnya. Perjalanan hari itu sekitar 250 km cukup dengan bahan bakar solar senilai Rp 100.000.

mandalika.jpg2.jpgMobil Daihatsu Taft milik Pak Hasyim Afandie yang sangat berjasa mengantar kami ke mana pun pergi di Lombok. (FOTO: Slamet Oerip Prihadi)

Setelah Pak Junaidi gabung, kami langsung ke Mandalika untuk mencari tiket masuk sirkuit. Terus terang kami semua masih galau karena belum pegang tiket masuk. Kalau sampai tidak mendapatkannya akan sia-sialah Mbonek kami ke Mandalika. 

Ya, kita memang pingin betul melihat Sirkuit Mandalika. Di usia kami yang sudah kepala 7, bangga rasanya kalau menyaksikan langsung perhelatan balap motor paling top di jagat raya ini. Ketika kali pertama Indonesia berhasil jadi tuan rumahnya. Dahsyat!! 

Terlepas dari masih adanya berbagai kekurangan, tapi sukses ini sangat bersejarah. Luar biasa!!! 

Betapa Indonesia akhirnya bisa membangun dan memiliki sirkuit balap sepeda motor paling bergengsi di planet bumi ini. 

Tiket via online sudah habis. Sudah tanggal 18 Maret, ketika free practice telah dilakukan oleh para pembalap di sirkuit anyar itu, kami belum mendapatkan tiket. 

Siapa yang bisa menolong kami? 

Sebenarnya, sejak Kamis 17 Maret lalu Pak Hasyim sudah berusaha mencarikan tiket. Beliau hubungi beberapa temannya di Mataram. Tapi harganya mahal. Tiket akhir pekan, tiket terusan Sabtu (pole position) dan Minggu (hari balapannya) seharga Rp 1,8 juta. Coba ditawar, tapi mentok di harga Rp 1,4 juta. Wah gak mampu kami membelinya. Aduuuh. 

mandalika.jpg6.jpgLive music di kapal Kirana VII, pukul 09.00 Kamis 17 Maret 2022. Menjelang tiba di Pelabuhan Lembar, Lombok. (FOTO: Slamet. Oerip Prihadi)

Akhirnya Pak Junaidi kenalannya via HP. Putra asli Mandalika. Ini teman yang dikenalnya saat nonton WSBK November tahun lalu. Namanya Karna. Usianya masih 22 tahun. Sudah punya seorang anak cewek usia 18 bulan. Karna menikah di usia 17 tahun. Warga Lombok memang banyak yang nikah muda. 

Karna inilah yang ketika WSBK banyak memberikan bantuan kepada rombongan Pak Junaidi dan Pak Arifin. 

Pak Junaidi minta Karna menemui kami di pasar Mandalika. Tak lama kemudian dengan sepeda motor bebek Suzuki nya yang sederhana Karna datang menemui kami. 

Anaknya ramah banget. Kulitnya hitam karena sering tersengat sinar matahari. Anaknya lugu, murah senyum, ringan tangan (suka membantu). Jaringan pertemanannya luas. 

Dia telepon temannya, Rijal, yang masih punya tiket. Akhirnya kami mendapatkan tiket gelang warna biru, general admissions, dengan harga Rp 750.000 per orang. Ini sesuai dengan harga resminya. Entah bagaimana Karna bisa mendapatkan harga tiket semurah itu. Di saat barang sudah tak beredar di tempat publik. 

Alhamdulillah. Kegalauan kami pun sirna. Tiket sudah ada di tangan. 

Bantuan Karna tak hanya itu. Dia akan memberi kejutan lainnya yang meringankan beban kami. Tunggu seri kedua tulisan kami. Besok. 

mandalika.jpg1.jpgKarna (kiri) dan penulis. (FOTO: Junaidi Achmad)

Oh ya. Rasanya kami perlu menjelaskan istilah tret tet terlebih dulu. Istilah Tret-tet-tet dulu tahun 1987 diviralkan oleh Harian Pagi Jawa Pos. Tret tet tet adalah gerakan besar para suporter rame-rame ke Stadion Gelora Bung Karno untuk mendukung Green Force Persebaya di babak Enam Besar Kompetisi Divisi Utama PSSI Perserikatan. 

Jawa Pos lah pioner pemberangkatan puluhan ribu suporter Persebaya dengan bus dan kereta api ke Jakarta. Nah, biasanya para suporter membawa terompet. Di stadion mereka meniupkan terompetnya: tret-tet-tet-tet. Untuk membangkitkan semangat Laskar Green Force Persebaya. Wouw. 

Nah, istilah tret tet tet inilah yang dipopulerkan Jawa Pos untuk gerakan besar suporter ke luar kota mendukung Persebaya. 

Baru kali itulah di Indonesia ada ribuan suporter klub tret tet tet dengan seragam kaos hijau yang sama. Dan slayer yang sama. Bertuliskan Green Force Kami Haus Gol Kamu! 

Kini, 16 Maret 2022 saya bersama dua tetangga yang bersahabat bak saudara sendiri tret-tet-tet ke Lombok. Naik kapal ferry ro-ro Kirana VII. 

Kapalnya masih anyar, diresmikan Desember 2021 oleh Menparekraf H Sandiaga Salahudin Uno. 

Walaupun murah dan kelas ekonomi, tapi bersih dan keren. Ada live music-nya dua kali dalam 22 jam pelayaran. Malam dan besok siangnya. 

Kalau kapal-kapal penumpang Indonesia seperti ini semua, kita sangat bangga. 

Lebih murah dari naik kereta api dan bus. Harga segelas kopi hanya Rp 6.000. Bandingkan dengan segelas kopi di kereta api yang Rp 10.000 sampai Rp 12.000. (BERSAMBUNG)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda