Big Data, Kok Gak Dipercaya...

Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan. (FOTO: Antara - lombokpost.jawapos.com)

COWASJP.COM'Big Data' versi Luhut Binsar Pandjaitan menghebohkan. Celetukan di Youtube itu, ditanggapi serius. Para tokoh. Tujuh LSM bereaksi. Apalagi, para politisi, menghamburkan kritik. Seru. Asal, jangan ada yang berantem.

***

Data heboh itu diungkap Luhut (Menteri Koordinator Maritim dan Investasi) dalam kapasitas pribadi. Saat bincang santai di podcast Deddy Corbuzier, Jumat, 11 Maret 2022.

Kata Luhut, berdasarkan 'big data' ada 110 juta rakyat Indonesia menyatakan setuju, Pemilu 2024 ditunda.

Luhut: "Karena begini, kita kan punya big data. Saya ingin lihat. Kita punya big data. Dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta. Macam-macam, Facebook, segala macam-macam, juga Twitter. Kira-kira orang 110 jutalah." Yang setuju Pemilu 2024 ditunda.

Dilanjut: "Kalau kalangan menengah ke bawah, itu pokoknya pengin tenang. Pengin bicaranya ekonomi. Tidak mau lagi seperti kemarin. Kemarin kita kan sakit gigi dengan kampretlah, cebonglah, kadrunlah. Itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa, terus-terusan begitu?"

Tumben, Luhut bicara hal sensitif. Khususnya, buat para politikus. Topik ini sensitif bagi para politikus. Dan pengikutnya. 

Kalau rakyat, memang betul kata Luhut. Terpenting ekonomi. 

Jelasnya, rakyat bisa makan cukup, kebutuhan sandang-pangan cukup, sekolah dan pengobatan murah, yang nganggur bisa dapat kerjaan. Untuk itu butuh stabilitas keamanan. Menuju stabilitas ekonomi. Pasca pandemi yang sudah dua tahun ini.

Nah, politikus, 'Big Data' itulah menyinggung sandang-pangan mereka. Jika diusik, mereka bisa beraneka ragam. Bisa mengerahkan massa, protes, demo, minimal menggalang opini, menentang. 

Karena, Pemilu itu milik politikus. Kepentingan mereka. Bukan rakyat. Yang dibalut dalam kata "Pesta Demokrasi". Kata 'Pesta' artinya dapat kaos gambar orang, gambar partai. Dapat nasi bungkus sekali makan, waktu kampanye. Plus bekas uang, yang habis dibelanjakan dalam satu-dua hari.

Dalam perspektif rakyat, siapa pun presidennya, atau siapa pun anggota DPR-nya, ya tetap saja. Penganggur, tetap menganggur. Yang sulit beli makan, tetap kelaparan. Mustahil, seperti sulapan, mendadak jadi kaya. Kecuali dalam janji-janji (kosong) politikus.

Tapi, tunggu dulu. Kalau politikus dari partai-partai, pasti-lah menentang. Tapi, ada tujuh LSM menentang 'Big Data' Luhut. Meskipun, 'Big Data' bukan pernyataan resmi Luhut selaku pejabat tinggi negara.

Dikutip dari change.org, Minggu, 13 Maret 2022, ada petisi menentang penundaan Pemilu. Dibuat tujuh LSM, yang namanya seru-seru:

Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP). Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI). Komite Pemantau Legislatif (Kopel). Konstitusi Demokrasi (Kode). Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT). Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Nama-nama LSM itu serius semua. Sebelum mendirikan LSM, pastinya mereka sudah mikir. Bukan seperti WIB (Waktu Indonesia Bercanda) yang dibintangi pelawak Cak Lontong. Sama sekali, bukan.

Karena, mereka mengklaim, bahwa sudah 27.299 orang menandatangani petisi menolak penundaan pemilu 2024. Mereka beralasan perpanjangan pemilu hanya akan memperburuk demokrasi.

Diurai di situ. Jika Indonesia menunda Pemilu 2024, melanggar prinsip-prinsip universal negara demokrasi. Dicantumkan aneka pasal, hukum internasional:

Pasal 25 (b) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), bunyinya: To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors. 

Disebut pula, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dalam rumusan “International Obligations for Elections” sebagai panduan kerangka hukum pemilu bagi negara demokrasi.

Semua aturan itu buatan manusia. Bisa diubah manusia juga. Diamandemen.

Sedangkan, manusia di Partai Golkar, PKB, PAN, sudah memberi sinyal, bisa saja Pemilu ditunda. Mengapa tidak?

Dikutip dari Pasal 37 ayat (1) dan (3) UUD 1945, usul perubahan pasal-pasal UUD, bisa diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari anggota MPR. Sedangkan, untuk mengubah sekurang-kurangnya dua pertiga dari anggota MPR. 

Jika benar Golkar, PKB, PAN sepakat Pemilu ditunda, maka mereka membutuhkan satu atau dua dukungan partai lagi. Untuk bisa mengusulkan amandemen konstitusi, bersama DPD. 

Istilah Luhut 'Big Data', bisa benar-benar ada. Bisa juga ditafsirkan sebagai sinyal komando: Ayo maju...

Ada orang partai yang seolah-olah terkecoh. Meminta Luhut mengungkap 'Big Data'. Supaya terang-benderang di mata rakyat, katanya. 

Cak Mu'in. Tidak mungkin, Namanya 'Big Data' pastinya 'Top Secret'. Lagian, benarkah rakyat ingin baca 'Big Data'? Rakyat bagian mana?

Buat rakyat, yang penting wujudkanlah kemakmuran. Sebelum makmur, negara harus aman dulu. Bukan sekadar kaos dan nasi bungkus.

Kendati, pernyataan 'Big Data' menandakan ada tarik-ulur. Pertanda sangat jelas. Ada yang menarik, ada yang mengulur. Soal Pemilu. Yang kali ini bakal seru. 

Seseru Pilpres Amerika pada 2020. Yang, meskipun Donald Trump sudah kalah pun, ogah meninggalkan Istana Kepresidenan. Tapi, di Indonesia sangat beda bentuk.

Dikutip dari Crisis Group (lembaga internasional, fokus pencegah konflik Pemilu) pada September 2020, menganalisis, bahwa Pilpres Amerika, 3 November 2020 berpotensi konflik.

Indikatornya ada sebelas, yakni:

1) Item tertentu secara konsisten muncul sebagai tanda bahaya, termasuk: Pemilih yang terpolarisasi.
 
2) Taruhan tinggi yang digambarkan oleh kedua belah pihak (dalam hal ini, Trump dengan Joe Biden) sebagai eksistensial.
 
3) Maraknya ujaran kebencian dan misinformasi melalui media sosial dan media lainnya, termasuk media massa.
 
4) Ketegangan etno-sektarian atau rasial yang sudah ada sebelumnya. Antara lain, Black Lives Matter.
 
5) Tudingan saling menipu atau keinginan untuk menipu, antara kelompok berkompetisi. Plus kompor provokator.

6) Ketidakpercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemungutan suara, atau lembaga penyelesaian perselisihan.
 
7) Sumber informasi yang sangat terpisah dan tidak dapat dipercaya. Mirip nomor 3, tapi fokus info versi masing-masing kubu.
 
8) Keberadaan aktor atau milisi non-negara bersenjata, dengan akses mudah membawa senjata.
 
9) Prospek margin pemilu yang sempit dari hasil perolehan suara yang diperebutkan.
 
10) Petahana yang melihat kepentingan hukum, dipertaruhkan dalam pelestarian atau hilangnya kekuasaan.
 
11) Kepemimpinan politik yang memicu perpecahan, daripada meredakannya.

Itu di Amerika. Terbukti, disebutkan media massa sana, bahwa Pilpres 2020 paling rusuh dalam sejarah modern Amerika.

The Washington Post, menyebut tingkat kerusuhan Pilpres 2020 dibandingkan Pilpres 1876. Kontestasi antara Samuel Tilden, Partai Demokrat melawan Rutherford B. Hayes, Partai Republik.

Digambarkan, Pilpres 1876 membuat empat negara bagian mengirim daftar pemilih yang bersaing ke Electoral College, lembaga konstitusional pemilih presiden. Masih juga dead lock.

Akhirnya cair, setelah Tilden setuju mengalah. Dengan imbalan kesepakatan yang menentukan untuk menarik pasukan federal keluar dari Selatan. Juga mengabaikan perlindungan budak yang baru saja dibebaskan.

Indonesia bukan Amerika. Walaupun sebelas indikator versi Crisis Group itu, banyak yang mirip dengan kondisi Indonesia sekarang. Tanda-tanda bahaya.

Apa pun jalan yang bakal ditempuh pihak berwenang, harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Dalam arti yang sebenarnya. Aman dan makmur. 

Bukan 'kepentingan rakyat' yang sering diucapkan politikus. Yang hanya manis, dari bibir yang bau busuk. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda