Gula Cair Gula Perjuangan

Gula cair kulit singkong rendah kalori. Cocok untuk penderita diabetes. (FOTO: Shopee)

COWASJP.COM – Biasanya diberi gula pasir. Meski pernah juga diberi gula cair. Tidak tentu. Bergantung stok. Mungkin.

Sore tadi saya kembali menerima gula cair saat membeli segelas es kopi susu jadoel di Loko Mart, minimarket anak usaha PT KAI di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Satu saset mungil. 

Merknya Alfamart. Pasti bukan Alfamart yang memproduksi. Alfamart hanya membungkus produk gula cair itu. Pihak lainnyalah yang memproduksi. 

Pada era perdagangan modern, produksi dan pemasaran memang susah dipisahkan. Yang produksi ya produksi saja. Yang memasarkan ya memasarkan saja. 

Jadi dalam bisnis ada dua pihak yang saling bekerjasama: Produsen dan pemasar. Dua-duanya bisa dari satu grup usaha. Bisa juga berbeda grup yang saling mengikat kontrak sinergi.

Gula cair cap Alfamart itu masuk kelompok kedua: Lahir dari kerjasama.

Pemisahan jasa produksi dan pemasaran itu sangat menarik. Sebab masing-masing akan fokus pada kekuatannya. Produsen kuat dalam produksi barang dengan semua resource-nya. Pemasar kuat dalam penjualan dengan semua outlet dan pelanggannya.

Produsen yang tidak memiliki akses pasar yang luas akan sangat terbantu dengan kerjasama seperti itu. Begitu pun sebaliknya. Pemasar terjamin suplai barangnya dari produsen dengan harga yang stabil.

Saya pun menerapkan konsep ini di Jagaters Studio. Biro iklan dan event organizer yang menjual dan menyusun konsep kreatifnya. Jagaters Studio eksekutor produksinya.

Berjalan baik di Jagaters Studio, saya adopsi konsep tersebut di Tempe Mbah Bayan. Lik Purjio sebagai penanggung jawab pabrik tempe. Mas Cuplis yang memasarkan. Sejauh ini hasilnya cukup memuaskan.

Kembali ke laptop. Gula cair sebenarnya sudah dikenal cukup lama. Saya membeli gula cair pertama dalam pameran UMKM di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, sekitar 10 tahun lalu. Gula cair dalam kemasan botol itu berbahan baku singkong.

Gula cair bisa diproduksi dengan mesin sederhana sehingga perusahaan kelas mikro pun sanggup mengerjakannya. Berbeda dengan gula pasir yang menggunakan mesin produksi raksasa dan padat modal.

Bila pasar diedukasi dengan serius, gula cair ini bisa menjadi senjata agar masyarakat bisa memenuhi kebutuhan gula sendiri. Memang bukan gula pasir. Tapi manisnya sama. Konon kandungan gizinya malah lebih baik. 

caffe.jpgLoko Coffee Shop anak usaha PT KAI. (FOTO: reska.co.id - kompas.com)

Saya membayangkan suatu saat masyarakat mau berhenti mengonsumsi gula pasir yang bahannya tebu. Gantinya ini: Mengonsumsi gula cair dari singkong.
 
Dengan mengonsumsi gula cair, masyarakat tidak akan dipusingkan lagi oleh ulah para mafia kartel gula. Yang gemar mengimpor gula menjelang musim giling tebu itu. Yang suka menaikkan harga gula setiap Ramadan dan menjelang Lebaran dengan alasan stok langka itu.

Bulan Januari lalu, saya mengikuti presentasi Mas Tritiyanto dari Lazismu Banjar Negara, Jawa Tengah, dalam rapat kerja Lazismu Pusat, di Banten. Lazismu Banjar Negara berhasil menginisiasi industri  tepung non gluten dari singkong yang dinamakan mocaf. 

Tepung non gluten merupakan tepung yang sehat. Banyak penelitian ilmiah yang telah merilis manfaatnya dibanding tepung terigu. Antara lain: Tidak menjadi pemicu perkembangan kanker dan sangat dianjurkan untuk penderita autis.

Selain tepung mocaf yang sudah diekspor ke Eropa sejak tahun lalu, masyarakat petani di Banjar Negara sekarang mulai membuat produk lain: Gula cair itu.

Seandainya gula cair itu makin memasyarakat, bukan tidak mungkin umat Islam akan melalui Ramadan dan Lebaran dengan tenang. Tanpa gejolak harga gula. Karena bisa membuat gula perjuangan sendiri.(*

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda