Kenapa Ibnu Sina Dituding Sesat dan Kafir?

Cahaya Aurora di Fairbanks, Alaska, Amerika Serikat. Maha Besar Allah yang menciptakannya. (FOTO: huffingtonpost, wikipedia - beritasatu.com)

COWASJP.COM – Ibnu Sina adalah sosok yang unik dan kontroversial. 

Di satu sisi, ia dihormati dan dikagumi oleh sebagian umat Islam. Namanya diabadikan untuk nama sekolah, universitas, rumah sakit, dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan. 

Tetapi, dalam waktu yang bersamaan, ia juga dituding sesat dan kafir oleh sebagian yang lain.

Apakah yang menjadi masalah? 

Ternyata adalah pandangannya yang sangat rasional terhadap teologi Islam. Khususnya, yang terkait dengan eksistensi Tuhan, alam semesta, jiwa dan ruh. Sehingga, bertabrakan dengan ulama-ulama yang berpemikiran mistis dan sufistik. Seperti Al Ghazali, Ibnu Qayyim al Jauziyah, dan Ibnu Hajar al Asqalani.

Sebagai contoh, pandangannya tentang eksistensi Tuhan. Yang dikritik oleh Al Ghazali dalam buku “Tahafut al Falasifah”. Alias, “Kerancuan Filsafat”. 

Istilah Filsafat di zaman itu bermakna ilmu-ilmu yang berbasis pada logika, rasionalitas, dan empirisme. Seperti: Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Kedokteran, Astronomi, dan lain sebagainya. Alias, Sains.

Dalam pandangan al Ghazali dan ulama-ulama yang sepemikiran dengannya, suatu eksistensi bisa disebut Tuhan jika memenuhi dogma Sifat-20. Yang jika tidak terpenuhi salah satunya, maka eksistensi itu tidak pantas disebut sebagai Tuhan.

Keduapuluh sifat itu adalah: Wujud (Ada), Qidam (Paling Awal), Baqa’ (Abadi), Mukhalafatu lil hawadits (Tidak Sama dengan Makhluk), Qiyamuhu binafsihi (Berdiri Sendiri), Wahdaniyah (Esa), Qudrat (Berkuasa), Iradat (Berkehendak), Ilmun (Mengetahui), Hayyat (Hidup), Sama’ (Mendengar), Bashar (Melihat), Kalam (Berbicara).

Selain itu, juga bersifat Qadiran (Senantiasa Berkuasa), Muridan (Senantiasa Berkehendak), Aliman (Senantiasa Berilmu), Hayyan (Senantiasa Hidup), Sami’an (Senantiasa Mendengar), Bashiran (Senantiasa Melihat), dan Mutakaliman (Senantiasa Berbicara).

Dogma Sifat-20 itu ditetapkan berdasar sumber Al Qur’an secara tekstual. Dan, logika ilmu kalam. Alias filsafat Teologi Islam. Berdasar pemikiran internal di dalam jiwanya sendiri.

AGUS1.jpgAgus Mustofa. (FOTO: Facebook)

Ini berbeda dengan pandangan Ibnu Sina. Yang membangun kesimpulan berdasar pada pemikiran rasional dan empiris. Yakni, dengan mengamati realitas alam sekitarnya. Bukan sekadar dialektika pemikiran internal.

Bagi Ibnu Sina, Tuhan adalah “Sang Penyebab Utama” eksistensi alam semesta. Disebut juga Causa Prima. Karena, dalam pandangan sains, segala yang ada ini adalah hasil dari proses sebab-akibat.

Seorang manusia ada, disebabkan oleh keberadaan bapak-ibunya. Demikian pula, bapak-ibunya ada disebabkan oleh bapak-ibunya lagi. Kemudian, disebabkan oleh para orang tua di generasi-generasi sebelumnya. Dan seterusnya, sampai pada penyebab pertama. Yang menjadi sebab bagi adanya manusia.

Begitu pula benda-benda pengisi jagat raya. Segala benda di sekitar kita ini ada asal-usulnya. Ada penyebab yang menjadikannya ada. 

Misalnya, tanah yang kita pijak ini awalnya dari bebatuan yang melapuk. Sejak dari zaman planet Bumi ini masih muda. Miliaran tahun yang lalu. Sedangkan Bumi berasal dari matahari yang terbentuk saat terjadi tatasurya.

Dan matahari berasal dari gugusan bintang. Yang terbentuk dari gas Hidrogen yang bereaksi fusi menjadi Helium. Di mana gas Hidrogen terbentuk dari partikel-partikel sub atomik, dari quark, dari partikel-partikel quantum. Dan seterusnya, sampai pada cikal bakal alam semesta yang paling awal. Saat kemunculannya pertama kali.

Di awal eksistensi alam semesta itulah Tuhan berada. Sebagai Penyebab Pertama. Causa Prima. Yang memunculkan, atau menciptakan jagat raya dengan segala isinya. Mengikuti proses sebab akibat. Dalam ruang dan waktu. Berupa materi dan energi. Yang dikendalikan oleh sistem informasi: sunnatullah.

Maka, bagi Ibnu Sina, segala yang ada di jagat raya ini sesungguhnya adalah “akibat” dari adanya “penyebab”. Karena, yang “ada” tidak mungkin muncul dari yang “tidak ada”. Pastilah muncul dan disebabkan oleh yang “ada” pula. 

“Ketiadaan” tidak akan pernah memunculkan “keberadaan”. Karena, sesuatu yang “tidak ada”, selamanya ya akan tetap “tidak ada”.

Jadi, Anda bisa melihat perbedaan antara pemikiran Al Ghazali yang tekstual, mistis dan sufistik, dengan pemikiran Ibnu Sina yang kontekstual, analitis dan empiris. Saintifik.

Sesungguhnya, keduanya sama-sama hendak menjelaskan eksistensi Tuhan. Tetapi dengan cara yang berbeda. Sehingga memberikan perspektif yang berbeda pula.

Sebagai manusia dengan segala keterbatasan, sesungguhnyalah setiap kesimpulan kita terhadap eksistensi-Nya bakal menghasilkan perspektif yang berbeda. 

Ibarat ada tujuh orang buta yang mencoba memahami gajah dengan cara meraba. Ada yang mengatakan bentuk gajah seperti ular Piton, karena dia memegang belalainya. 

Ada yang mengatakan gajah seperti cambuk, karena dia memegang ekornya. Ada pula yang mengatakan gajah seperti kipas, atau batang pohon, atau luas seperti dinding, karena mereka ada yang memegang telinga, kaki, dan badannya. Walhasil, setiap orang hanya memahami sebagian saja dari wujud gajah itu.

Demikian pula pemahaman kita tentang Realitas Sejati. Keterbatasan pemahaman kitalah yang menyebabkan kita tidak akan pernah bisa memahami eksistensi Allah yang sesungguhnya. Persis seperti yang Dia firmankan di dalam kitab suci: Laisa kamitslihi syai’un wa huwas sami’ul bashir.

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. Asy Syura: 11]

Wallahu a’lam bissawab.(*

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda