Alamak... Modus Guru Minta Pijit Murid

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti. (FOTO: Tagar/Dok KPAI)

COWASJP.COMTiap 15 hari, seorang anak jadi korban kekerasan seks di sekolah sepanjang 2021. "Total 18 kasus, 2 Januari - 27 Desember 2021 yang terpublikasi," kata Komisioner KPAI, Retno Listyarti di laporan akhir tahun, Selasa (28/12/21).

***

"Sedangkan kekerasan seks bagai gunung es. Diduga, lebih banyak yang tidak terpublikasi," katanya.

Mengapa bagai gunung es? "Karena banyak keluarga korban tidak melapor polisi, menganggap itu sebagai aib," kata Retno. 

Kalau tidak melapor atau mencuat ke permukaan, pasti tidak diusut polisi. Kalau tidak diusut polisi, tidak terpublikasi media massa.

Dari 18 kasus, 4 (22,22 persen) terjadi di sekolah di bawah kewenangan KemendikbudRistek.

Sisanya, 14 (77,78 persen) terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama.

Dari 18 kasus, 12 (66,66 persen) di pendidikan berasrama. Dan, 6 (33,34 persen) di sekolah yang bukan asrama.

Pelaku kekerasan seksual: Guru sebanyak 10 orang (55.55 persen). Kepala Sekolah / Pimpinan Pondok Pesantren 4 orang (22,22 persen). Pengasuh (11,11 persen). Tokoh agama (5.56 persen). Pembina Asrama (5.56 persen).

Jumlah korban 207 anak. Rincian 126 anak perempuan 71 anak laki-laki. Usia rentang 3 – 17 tahun, dengan rincian: PAUD/TK (4 persen), SD/MI (32 persen); SMP/MTs (36 persen). SMA/MA (28 persen).

Jumlah pelaku 19 orang, meski 18 kasus. Karena, ada satu kasus yang pelakunya dua orang pria di Ponpes Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Kedua pelaku adalah guru agama.

Jumlah itu sudah termasuk kasus perkosaan 13 santriwati (bukan 12 seperti diberitakan sebelumnya) oleh Herry Wirawan di Bandung, yang kini diproses sidang.

Sidang kasus Herry  dikawal langsung Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N. Mulyana. Setiap perkembangan sidang tertutup itu, selalu dilaporkan Asep kepada pers. 

HERRY BIADAB

Di laporan terbaru, Selasa (28/12/21) diungkapkan lebih jelas, perilaku Herry terhadap 13 santriwati itu memang biadab. Para santriwati usia 13 sampai 15 itu saja jadi budak seks Herry sejak 2016, tapi juga dipaksa cari duit sumbangan.

Asep: "Anak-anak itu disuruh membuat proposal untuk minta bantuan PIP  (Program Indonesia Pintar). Sumbangan sudah cair. Duitnya diambil Herry untuk nyewa hotel dan apartemen."

Di beberapa hotel dan apartemen di Bandung itulah, antara lain, hubungan seks Herry dengan para santriwati berlangsung.

Asep: "Lebih menyakitkan, ada saksi menceritakan, para santriwati itu juga diberi tugas membangun Ponpes, untuk nembok bahasa Sunda nya, tukang aduk semen, pasir untuk membangun yang diperintahkan pelaku."

Ditutup: "Jadi, lengkaplah sudah penderitaan para korban. Eksploitasi seks, juga eksploitasi fisik."

Yang spesifik, modus awal. Seperti data KPAI yang diungkap Retno, modusnya ini:

Pelaku janjikan nilai tinggi. Dijanjikan jadi Polwan. Pelaku minta dipijit korban. "Lalu, korban diraba-raba di bagian intim. Sebelum diperkosa."

Paling banyak adalah modus pijit. Korban Herry Wirawan, awalnya juga diminta memijit Herry. Lalu, diperkosa. Dan, diteruskan berulang-ulang sepanjang lima tahun.

Modus pijit terbaru, yang belum masuk data KPAI, kasus di Ponpes Sentolo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pelaku pengasuh Ponpes inisial S. Korban, santriwati inisial M (14). 

Ayah korban M: "Anak saya (M) cerita, sering di-WA (oleh S) terus disuruh mijit. Sewaktu anak saya mijit, pelaku megang alat vital dan payudara," ungkap ayah M, ke wartawan usai melapor ke Polsek Sentolo, Kulon Progo, Senin (27/12/21).

Kajati-Jabar-Asep-N-Mulyana.jpgKajati Jabar Asep N Mulyana (FOTO: dok.Kejati Jabar - detik.com)

Kepala Seksi Humas Polres Kulon Progo, Iptu I Nengah Jeffry, kepada pers, Selasa (28/12/21) sudah menerima laporan kasus itu. Ia mengatakan:

"Kami sudah melakukan penyelidikan. Termasuk pemeriksaan para saksi. Antara lain, ibu korban, Bhabinkamtibmas setempat dan korban sendiri. Untuk alat bukti kami telah mendapatkan hasil berupa screenshoot chatting antara korban dan terlapor."

Kasus begini sulit dibuktikan, karena terjadi di dalam kamar. Hanya ada pelaku dan korban. Sedangkan isi chatting WA, hanya panggilan pelaku yang minta dipijit korban. 

Kasus-kasus pelecehan seks atau perkosaan di Ponpes mengkhawatirkan masyarakat, jika diberitakan, berdampak buruk terhadap orang tua santriwati di mana pun berada. Mereka jadi ketir-ketir, memikirkan anak-anak mereka di Ponpes.

Ada kritik, agar kasus begini jangan diberitakan media massa.

Padahal, pemberitaan media massa menimbulkan efek jera bagi pelaku. Menghambat. Agar kasus serupa tidak terulang di tempat lain. Agar tidak jatuh korban lagi.

Maka, KPAI meminta Kementerian Agama mengeluarkan peraturan yang mencegah predator seks di Ponpes. Di sekolah umum sudah ada. Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Di Satuan pendidikan.

Permendikbud itu merupakan sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk kekerasan seksual. Sedangkan, "Kementerian Agama belum punya peraturan seperti itu," kata Retno.

Bayangkan, perangkat aturannya saja tidak ada. Tanpa aturan. Sehingga sangat banyak kasus seks di sana.

Seumpama pers tidak memberitakan kasus-kasus begini, siapa lagi yang mengontrol para calon predator seks? (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda