Korupsi Keluarga Noerdin

Dodi Reza Alex Noerdin (kanan) dan ayahandanya Alex Noerdin. (FOTO: istimewa - infosumsel.id)

COWASJP.COMKomisi Pemberatasan Korupsi (KPK) punya tradisi ‘’Jumat Keramat’’, melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada hari Jumat, atau mengumumkan kasus-kasus besar pada hari Jumat. Tradisi ini sudah agak lama tidak berjalan, sampai Jumat (15/10) lalu ketika KPK melakukan OTT terhadap Bupati Musi Banyuasin (Muba), Dodi Reza Alex Noerdin.

***

Publik berharap tradisi Jumat Keramat ini tetap berjalan.

Penangkapan ini hanya berselang sekitar sebulan dari penangkapan Alex Noerdin, mantan gubernur Sumatera Selatan, bapak Dodi Reza. Bapak dan anak ini sama-sama tersangkut kasus korupsi. Alex dicokok oleh Kejaksaan Agung, dan Dodi Reza dicokok KPK.

Ini bukan kasus bapak-anak pertama yang sama-sama tersangkut kasus korupsi. April lalu bupati Bandung Barat, Umbara Sutisna, ditangkap KPK bersama anaknya, Andri Wibawa, karena dugaan korupsi pengadaan bantuan tanggap darurat Covid-19.

Kasus yang sama terjadi pada anggota DPR Zulkarnaen Jabbar dan anaknya, Dendy Prasetya, yang pada 2012 ditetapkan sebagai tersangka dan dihukum oleh KPK, karena melakukan korupsi pengadaan Alquran di Departemen Agama.

Beberapa pasang suami istri juga tertangkap tangan oleh KPK. Mantan gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti ditangkap dan dihukum KPK pada 2015. Kemudian, mantan gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya Lili Mardiani ditangkap KPK pada 2017. Dan yang terbaru bupati Probolinggo Puput Tanriana Sari ditangkap KPK bersama suaminya Hasan Aminuddin, anggota DPR RI dari Partai Nasdem.

Penangkapan anak-bapak Noerdin tidak terkait kasus yang sama. Sang bapak dituduh korupsi ketika masih menjabat gubernur pada kurun waktu 2008-2018. Setelah dua periode menjadi gubernur, Alex terpilih sebagai anggota DPR RI pada 2019 dari Partai Golkar.

Dodi ditangkap karena diduga melakukan korupsi proyek infrastruktur di Kabupaten Musi Banyuasin. Dodi menjabat bupati periode 2017 sampai 2022. Sebelum menjadi bupati Dodi adalah anggota DPR RI dari Partai Golkar. Kalau Alex ‘’naik kelas’’ dari provinsi ke pusat, Dodi ‘’turun kelas’’ dari pusat ke kabupaten.

abror-Korupsi-Keluarga-Noerdin-2.jpgAlex Noerdin dan puteranya Dodi Reza Alex Noerdin. (FOTO: Instagram/ @dodirezaalexnoerdin - klikanggaran.com)

Sebelum menjadi gubernur Sumatera Selatan, Alex menjadi bupati Muba dua periode. Alex kemudian naik kelas menjadi gubernur Sumatera Selatan dua periode. Setelah selesai dua periode sebagai gubernur, Alex mempersiapkan Dodi untuk menggantikannya pada pilkada 2019, tapi Dodi gagal.

Meskipun jalur karirnya agak beda, tapi terlihat bahwa Alex mempersiapkan Dodi untuk menjadi penerus dinasti politiknya di Sumatera Selatan. Sebagai politisi yang berpengalaman, bapak-anak itu tidak mudah menyerah. Hampir dipastikan Dodi akan ‘’balas dendam’’ merebut kembali kursi gubernur dari petahana Herman Deru pada pilgub mendatang.

Dodi mempersiapkan diri dengan serius. Ia sekarang menjabat sebagai ketua DPD Partai Golkar Sumatera Selatan. Pengalamannya sebagai anggota DPR RI dua periode dari Partai Golkar menjadi jaminan lobinya yang kuat di kalangan elite Golkar pusat. Ditambah dengan jaringan lawas yang sudah dibangun Alex, jaringan Dodi semakin kokoh.

Tapi, nasib politik tidak pernah bisa diduga. Alex Noerdin yang selama ini dianggap sebagai salah satu orang kuat Golkar di daerah, akhirnya ambruk ditebang kasus koropsi. Dodi, yang selama ini menjadi protege dan putra mahkota, ditangkap juga dalam selang waktu yang pendek.

Pepatah Cina mengatakan, pohon besar ditebang monyet-monyet berhamburan. Pohon besar Golkar kelihatannya sedang kena goyangan besar dan sedang terancam kena tebang. September lalu Aziz Syamsuddin, wakil ketua DPR yang juga wakil ketua umum Partai Golkar, ditangkap KPK. Dalam waktu tiga bulan Golkar kena hattrick tiga elite-nya ditangkap karena korupsi.

Hari-hari ini, Airlangga Hartarto ketua umum Golkar yang juga menteri koordinator ekonomi, menjadi sorotan publik, karena namanya muncul dalam laporan ‘’Pandora Papers’’ bersama menteri koordinator maritim dan investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Laporan itu berisi daftar kepala negara, elite politik, dan selebritas internasional, yang diduga melakukan penyelewengan dan penggelapan pajak, dengan membuat perusahaan cangkang di negara bebas pajak. Praktik haram ini dibongkar oleh tim jurnalis investigasi internasional yang berpusat di Washington.

Di antara nama-nama elite yang muncul terdapat Presiden Vladimir Putin dari Rusia, keluarga raja Abdullah dari Jordania, mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair, dan sejumlah selebritas internasional.

Laporan ini menimbulkan heboh internasional. Pemerintah Amerika Serikat bertindak cepat dengan memeriksa sejumlah orang yang termuat dalam daftar Pandora Papers. Di Indonesia muncul kehebohan sebentar, tapi kemudian sepi lagi. Tidak ada tindakan serius yang dilakukan oleh pemerintah terhadap laporan ini.

Sebelum heboh Pandora Papers sudah muncul laporan serupa yang disebut sebagai ‘’Panama Papers’’ pada 2019. Sama dengan Pandora Papers, laporan Panama memuat sejumlah elite global yang diduga menyimpan uang di luar negeri dan melakukan penyelewengan pajak. Dua nama elite Indonesia yang muncul dalam Panama Papers adalah Sandiaga Uno dan Erick Thohir. Dua-duanya sekarang menjadi anggota kabinet Jokowi.

Reaksi pemerintah sama saja terhadap dua laporan itu. Tidak ada tindak lanjut serius untuk menyelidiki kemungkinan tindak pidana keuangan seperti yang diungkap dalam laporan itu. Empat orang elite itu sekarang memegang jabatan penting dalam kabinet Jokowi. Keempat orang itu juga diperkirakan akan memainkan peran strategis dalam pilpres 2024 mendatang.

abror-Korupsi-Keluarga-Noerdin-3.jpgTerdakwa perkara dugaan korupsi pengadaan Alquran dan Laboratorium Komputer di Kementerian Agama (Kemenag) Zulkarnaen Djabar (kiri) divonis 15 tahun penjara, didampingi Dendy Prasetya (kanan) divonis 8 tahun penjara. (FOTO: beritasatu.com)

Airlangga Hartarto sudah terang-terangan menunjukkan ambisinya untuk maju dalam kontestasi 2024. Sandiaga Uno diperkirakan akan menjadi salah satu calon potensial untuk menjadi presiden atau wakil presiden. Uno diperkirakan akan meneruskan ambisi yang gagal pada pilpres 2019 yang lalu.

Erick Thohir belum berani terang-terang menunjukkan syhawat politiknya. Beda dengan Sandi yang menjadi dewan pembina Partai Gerindra dan Airlangga yang ketua umum Golkar, Erick Thohir belum punyai partai resmi. Tapi, jabatannya yang sangat strategis sebagai menteri BUMN membuat Erick mempunyai posisi tawar yang kuat. Erick pun sudah mulai membangun brand dengan memanfaatkan otoritas dan jaringannya di BUMN.

Luhut tidak akan maju langsung berkontestasi. Tapi, Luhut diprediksikan akan menjadi king maker yang punya pengaruh penting. Selama ini Luhut dikenal sebagai pendukung utama Jokowi dan berada di balik semua keputusan strategis Jokowi.

Posisinya yang sangat sentral dalam pemerintahan Jokowi membuat Luhut punya peran strategis dalam menentukan siapa yang bakal menjadi suksesor Jokowi. Luhut juga menjadi ketua dewan penasihat Golkar yang mempunyai pengaruh dan jaringan luas di partai itu.

Empat elite politik itu mempunyai logistik ekonomi yang kuat sebagai modal kontestasi 2014 mendatang. Politik Indonesia masih tetap diwarnai dengan ‘’high cost politics’’ politik biaya tinggi, karena selama ini parpol dianggap sebagai institusi politik yang tidak menyambung dengan aspirasi rakyat. Parpol hanya mendekat kepada rakyat lima tahun sekali. Karena pendekatan yang pragmatis ini maka praktik ‘’vote buying’’ dan ‘’money politics’’ menjadi praktik yang dianggap lumrah.

Politik biaya tinggi ini sangat rentan terhadap praktik korupsi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk mengumpulkan modal politik. Kasus keluarga Noerdin menjadi indikasi bahwa ongkos politik yang mahal membuat elite politik melakukan korupsi anggaran untuk menutupinya.

Definisi korupsi selama ini terasa terlalu sempit. Mereka yang melakukan korupsi anggaran saja yang dianggap sebagai koruptor. Mereka yang melakukan abuse of power dan terlibat dalam conflict of interest, tidak dianggap sebagai pelaku korupsi.

Elite politik yang terlibat dalam berbagai korporasi besar, elite politik yang diduga melakukan pelanggaran pajak, tidak termasuk dalam definisi korupsi. Kalau mereka tertangkap tangan menerima suap baru disebut koruptor.

Kata Cak Lontong, pelaku korupsi yang sudah tertangkap baru disebut koruptor. Sedangkan pelaku korupsi yang belum tertangkap tetap disebut sebagai bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, menteri…(*)

Oleh: Dr DHIMAM ABROR DJURAID, Mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : kempalan.com

Komentar Anda