Pengalaman Berobat ke RSUD Kuala Lumpur

Tofan Mahdi saat sedang berobat di Hospital Besar KL atau RSUD Kuala Lumpur, Malaysia. (Foto: Tofan Mahdi/CoWasJP.com)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Tofan Mahdi

-----------------------------------------

GARA-GARA  tangan terkilir dan salah refleksi, saya pun harus transit di sebuah RS di ibukota Malaysia ini. Agak kaget ketika driver rombongan membawa saya ke Hospital Besar KL atau RSUD Kuala Lumpur. Semacam RSUP Cipto Mangunkusumo di Jakarta atau RSUD Dr Soetomo di Surabaya.

"Ini hospital terbesar dan bagus di sini Pak Cik," kata driver yang keturunan India ini. Areal RS cukup luas, mungkin dua kali lebih luas dari areal RSCM. Namun, bangunan gedungnya cukup tua.

Saya langsung menuju ke Jabatan Kecemasan (Unit Gawat Darurat) RS milik Kerajaan Malaysia tersebut. "Passport please," petugas administrasi di UGD dengan cekatan melayani. Posisi ruang administrasi pendaftaran ini berada di luar gedung, persis di pinggir jalan tempat menurunkan penumpang.

Berobat ke RS di Malaysia wajib menunjukkan KTP bagi warga lokal dan passport bagi warga asing. Dengan sistem SIN (single identity number) akan diketahui fasilitas asuransi apa yang dimiliki warga yang bersangkutan. Jika berobat di RS milik kerajaan, seperti Hospital Besar KL ini, warga Malaysia tak perlu membayar seringgit pun. Proses pendaftaran ini hanya sekira tiga menit.

Usai mendaftar, langsung disambut satu orang perawat dan dokter. Prosedur biasa, tensi dll, dilakukan sembari menjawab pertanyaan dokter seputar kronologis kejadian. Tak sampai 10 menit, dokter langsung mengambil keputusan. "X-ray ya Pak. Tapi nanti Bapak kena bayar, tak apa-apa?".

"Ya tidak apa-apa dokter." Perawat lantas membawa surat rujukan x-ray dan mengantarkan saya ke ruang administrasi x-ray. Langsung didaftarkan, membayar 60 ringgit (sekitar Rp 180 ribu), dan mendapatkan no antrean. "Setelah x-ray Bapak ikuti jalur hijau ya, ikuti saja tapak kaki yang hijau sampai ke Klinik Ulangan," kata perawat tadi.

Oh ya, pelayanan dokter pemeriksa di UGD tadi tidak dipungut bayaran. Jalur dibagi tiga: merah, kuning, dan hijau sesuai tingkat kegawatdaruratan. Masuk ke areal x-ray, kaget juga karena di lorong penuh orang yang antre.

Sebagian masih terbaring di ranjang pasien (mungkin pasien rawat inap). Saya hitung ada 20an orang mengantre. Usai menyerahkan bukti bayar ke ruang administrasi x-ray, saya pun menunggu. Ada tiga ruang x-ray yang dipakai. Tempat duduk di lorong penuh, saya memilih berdiri dan ngobrol dengan pasien lain.

"Ini jari kaki saya ada semacam luka (seperti canthengen, Red.)," kata seorang pasien yang mengaku masih SMP. Pasien anak ini sepertinya datang sendiri. "Dari Jakarta ya?" sapa seorang ibu yang mengantarkan anaknya berobat karena patah tulang tangan.

"Di sini sekolah dan hospital tak ada bayar, semua free. Kecuali yang private hospital atau school, itu bayar," kata Ibu tadi. Sekira 15 menit kemudian, nama saya dipanggil, "Mr Tofan Mahdi, balik 3".

Masuk ruang x-ray cepat saja, tak ada 5 menit. Sangat cepat. Sekira 3 menit kemudian, hasil x-ray sudah selesai dan diserahkan kepada pasien. Saya pun melanjutkan ke proses berikutnya. Mengikuti tapak kaki di jalur hijau. Saya ikuti terus tapak kaki itu hingga masuk sebuah lorong besar:

Klinik Ulangan. Dokumen awal daftar diserahkan di konter pendaftaran, membayar biaya 100 ringgit (Rp 350 ribu), dan mendapatkan nomor antrean. Klinik Ulangan adalah klinik konsultasi ke dokter. Pasien tidak memilih sendiri ke dokter siapa, tetapi petugas RS yang menentukan.

"Antrean 448, bilik 27," seperti tertulis di secarik kertas yang diberikan petugas.

Antrean cukup ramai. Namun, yang mengejutkan jumlah bilik di Klinik Ulangan ini ada 31, meski yang tampak aktif sampai klinik 28. Setiap klinik diisi satu dokter dan satu perawat. Berarti ada 28 dokter di klinik yang waktu itu, sekitar jam 21.00 waktu Malaysia, sedang bertugas.

Pantas, meski ramai, tak sampai menunggu hingga berjam-jam. Saya sendiri menunggu sekitar 20 menit sebelum dipanggil masuk ke bilik 27. Seorang dokter muda, cantik, dan berhijab melayani, "Bapak nak dirawat di sini atau nak balik ke Jakarta?" kata dr Siti Rasithoh Jusof.

"Besok saya pulang ke Jakarta, Dok". "Baiklah saya buat rujukan saja ya buat dokter di Jakarta," katanya.

Sekitar 10 menit, selesai sudah proses berobat di RSUD Kuala Lumpur ini. Cukup cepat, efisien, dan petugasnya relatif ramah. Saat menunggu x-ray ataupun di Bilik Ulangan, semua pasien maupun keluarganya tenang dan sabar menunggu giliran.

Setiap hari di klinik rawat jalan ini, 31 dokter siap melayani masyarakat yang berobat. Ketika ganda campuran kita sukses meraih emas di Olimpiade mengalahkan Malaysia, kita juga berharap bisa menang di bidang kedokteran dan kesehatan. Selain Kuala Lumpur, Penang juga sudah jadi jujugan pelayanan kesehatan. Warga Indonesia banyak yang berobat ke sana.

Bagi yang berkantong tebal berobat ke Singapura, yang menengah memilih pergi ke Malaysia. Dengan segala hormat, pelayanan RS swasta pun dii Indonesia masih belum seramah, seefisien, dan mungkin semurah di Malaysia. Salam sehat.*

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda