''Langkah Kecil” Menghadapi Indonesia Darurat Sampah

COWASJP.COM – ockquote>

CaTaTan: Erwan Widyarto

------------------------------------------


SIANG itu saya ternganga melihat tayangan di sebuah stasiun teve swasta. Reporter berita televisi tersebut menyebutkan volume sampah yang setiap hari dihasilkan oleh Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebanyak 1.600 ton. Tayangan memperlihatkan truk-truk pengangkut sampah membawa sampah menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Bantar Gebang.

Tayangan tersebut menggambarkan kondisi Jakarta. Namun, ingatan saya langsung menuju ke TPA yang dipakai untuk menampung sampah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tepatnya, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang berada di daerah Piyungan, Bantul. Tempat ini pada awalnya adalah berupa lembah yang berada di bawah perbukitan.

Tapi, saat saya datang untuk membuat satu liputan mengenai sampah yang akan ditayangkan televisi lokal di Yogya, lembah itu telah berubah menjadi bukit. Pepatah mengatakan ‘’sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.’’ Lha kalau ini, banyak-banyak maka ya lebih cepat menjadi bukitnya…☺

Kok banyak? Ya, banyak, karena setiap hari sampah yang dibawa ke Piyungan ini mencapai 400-500 ton. Jumlah sebesar ini menyebabkan pengelola sampah di wilayah Yogyakarta, Sleman dan Bantul yakni  Sekber Kartamantul (Sekretariat Bersama Yogyakarta, Sleman dan Bantul) angkat tangan! Sekber Kartamantul mengaku tidak mampu lagi mengelola sampah sebesar itu setiap harinya dengan pendanaan yang selama ini dianggarkan.

‘’Selama ini kami mendapatkan anggaran sebesar Rp 3 miliar per tahun untuk mengelola sampah di wilayah Yogyakarta, Sleman dan Bantul. Dalam hitungan kami, pengelolaan sampah di Piyungan tersebut membutuhkan Rp 10-12 miliar per tahun. Oleh karena ketiadaan anggaran itulah, pengelolaan sampah yang selama ini kami tangani, kami serahkan kembali ke provinsi,’’ ujar Manager Kantor Sekber Kartamantul Nasa Ujianto Aji.

pak-arifMbvNS.jpg

Bersama Ketua CoWas JP Arif Afandi (paling kiri), Mendikbud Anis Baswedan dan penulis (paling kanan). (Foto: CoWasJP.Com)

Wawancara ini saya lakukan pada akhir tahun 2014. Dan sejak 2015, pengelolaan sampah DIY ditangani provinsi. Begitu dikembalikan ke provinsi, urusan sampah pun ditangani oleh Dinas Pekerjaan Umum Energi Sumber Daya Mineral (DPU ESDM). Pengelolaan sampah di tingkat provinsi ini, sudah pasti, tidak langsung menuntaskan persoalan yang ada. Masalah sampah tidak bisa sim salabim, selesai, meski dana tersedia. Penanganan sampah, tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu instansi. Pengelolaan sampah, perlu melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat.

Jika di DIY dengan sampah 400-500 ton/hari saja pengelola sampah kewalahan, sudah bisa dibayangkan di daerah lain dengan jumlah sampah yang lebih besar pasti akan lebih kerepotan. Di DKI Jakarta dengan jumlah sampah 1.600 ton/hari, bisa dibayangkan “bukit” yang tercipta pasti lebih cepat dan lebih besar. Dan pasti pula, kerepotan yang menyelimutinya lebih banyak dan rumit. Hal tersebut bisa kita simak dari berbagai pemberitaan yang muncul di media.

Kota-kota besar lainnya –Medan, Surabaya, Makassar, Bandung, Semarang, Pontianak, Balikpapan, Manado, Denpasar – pasti menghadapi persoalan serupa. Volume sampah di kota-kota besar yang terus bertumbuh tersebut, pasti juga makin membengkak. Hitungannya bisa di atas volume sampah Yogyakarta. Begitu pula kota-kota menengah yang juga terus tumbuh. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, jika tanpa ada kesadaran mengenai pengelolaan sampah yang baik, produksi sampah pasti ikut bertumbuh. Dan sampah pun memunculkan masalah.

Satu televisi pernah menayangkan reportase dari sejumlah daerah mengenai persoalan sampah ini. Mereka meminta para reporter di daerah membuat laporan bagaimana kondisi persampahan di wilayah mereka. Hasilnya? Jika dikatakan dengan sebutan yang populer saat ini, maka bisa dikatakan bahwa Indonesia (sudah) Darurat Sampah. Ya, persoalan sampah telah menjadi masalah yang menimpa seluruh kota atau wilayah di Indonesia. Tidak hanya di kota-kota. Di tempat-tempat wisata, seperti pantai, sampah sering menjadi masalah yang menyesakkan dada. Lokasi yang semestinya bersih dari sampah, justeru terlihat kotor, kumuh karena sampah yang berserakan. Ironis.

ilustrasiZFpu.jpg

Desain grafis Nulis Sampek Tuwek Seduluran Sampek Matek iku (Gedhebug/ cowasjp.com)

Melihat kondisi darurat sampah ini, tentu, tidak bisa kita hanya mengandalkan pemerintah untuk mengatasinya. Masyarakat tidak bisa hanya berpangku tangan menanti upaya pemerintah menyelesaikan urusan sampah. Masyarakat haruslah ikut peduli, ikut beraksi, bergerak dengan kemampuannya mengatasi persoalan sampah. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk berpartisipasi mencegah sampah menjadi musibah. Ada banyak jalan untuk beraksi agar sampah tak melembung menjadi masalah.

Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan berusaha keras untuk mengurangi produksi sampah. Di antaranya dengan membawa kantong (tas) sendiri saat berbelanja dan menolak tas plastik (kresek) saat berbelanja di supermarket atau toko. Kemudian, menggunakan atau memanfaatkan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai. Gerakan individual ini akan memberi dampak signifikan jika kemudian bisa menjadi gerakan komunal. Bisa memberi dampak yang berarti jika sudah menjadi aksi bersama.

Langkah lain yang bisa dilakukan di tingkatan komunitas adalah gerakan memilah sampah. Memilah sampah sesuai dengan jenis dan sifatnya. Yang paling mudah, memilah sampah organik dan anorganik. Memisahkan sampah basah dengan sampah kering. Sampah basah seperti sisa-sisa makanan, sayuran, daun-daun bisa disatukan dan diolah menjadi pupuk organik. Sedangkan sampah kering bisa dipilah-pilah menjadi sampah kertas, sampah plastik, logam, kaca dan seterusnya.

errwan-angkut-sampah2hQRC.jpg

 Griyo Sapu Lidi mengumpulkan sampah. (Foto: CoWasJP.Com)

Gerakan pemilahan ini bisa dilakukan dengan berbasis RT (Rukun Tetangga), Dasa Wisma, RW (Rukun Warga), Desa/Kelurahan atau komunitas tertentu. Gerakan ini menjadi lebih berdampak karena dilakukan secara bersama-sama dalam satu komunitas. Agar lebih terstruktur polanya dan sistematis gerakannya, gerakan pemilahan sampah ini bisa dikerangkai dalam satu bentuk organisasi seperti Bank Sampah, koperasi sampah, sedekah sampah dan lainnya.

Dalam beberapa waktu terakhir, setelah mengajukan pensiun dari Jawa Pos tahun 2010, saya memang “mengabdikan diri” ke lingkungan sekitar rumah. Satu hal yang tidak bisa saya lakukan secara lebih intens saat masih berkhidmat di Jawa Pos. Kebetulan, di wilayah tempat tinggal saya, persoalan lingkungan ini mendapat perhatian serius. Ya soal penghijauan, soal sampah maupun soal air.

Melalui musyawarah warga, kami pun sepakat untuk mengelola sampah lingkungan dengan sistem bank sampah. Dan Bank Sampah kami, Bank Sampah Griya Sapu Lidi, pernah menjadi yang terbaik se-provinsi DIY tahun 2011. Saya pun kemudian sering menjadi fasilitator pendirian Bank Sampah di sejumlah daerah. Diundang untuk berbicara, berbagi ilmu ke berbagai daerah. Tidak hanya di provinsi DIY tapi juga ke Jawa Tengah.

Karena aktivitas saya itulah, saya dikenal sebagai seorang banker hehehe. Menggerakkan orang untuk mengelola sampah sejak dari awal timbulan sampah menjadi passion saya yang baru. Di luar kesibukan saya menulis buku biografi –individu maupun institusi—serta usaha distro kaos dan membantu usaha istri saya menjadi distributor alat suling air sehat.

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin berbagi sedikit mengenai langkah kecil kami dalam ikut mengelola sampah. Sebagaimana tujuan awal kami terlibat dalam pengelolaan sampah adalah mengurangi volume sampah yang dibawa ke TPA, lewat tulisan ini pun kami mengajak pembaca untuk bisa bergerak melakukan hal yang sama. Sebab, seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini, persoalan sampah tidak hanya menjadi masalah Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat penulis tinggal.

angkut-tongHNDSi.jpg

Mengumpulkan sampah yang telah dipilah. (Foto: CoWasJP.Com)

Melainkan, telah menjadi persoalan di wilayah-wilayah lain di Indonesia ini. Maka, jika para pembaca tergerak melakukan hal yang sama dengan kami, saya yakin kontribusi tersebut akan bisa dirasakan oleh lingkungan kita. Semakin banyak yang bergerak, semakin besar dampak yang akan dirasakan.

Saatnya kita peduli dengan sampah yang kita “produksi” sendiri. Mari ubah mindset kita terhadap sampah. Jika selama ini mindset kita tentang sampah: kumpul-angkut-buang, kita ganti dengan pilah-olah-jual. Karena, sampah kita investasi kita. Investasi nyata yang bisa mendatangkan uang dan investasi energi positif berupa lingkungan yang bersih dan nyaman. Salam Green and Clean! (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda